POTPOURRI

Mengingat Kembali Pocut Baren,”Harimau Betina” Penerus Perang Aceh

Belasan perwira militer Belanda, yang sebelumnya dianggap hebat karena berhasil menangkap para pejuang Aceh era Cut Nyak Dhien yang dulu dipimpin van Heutz, didatangkan untuk bergantian memimpin operasi pengejaran Pocut Baren,

JERNIH—Pemerintah Kolonial Belanda salah besar saat mengira Perang Aceh telah berakhir dengan tertangkapnya Cut Nyak Dhien pada 1905. Penangkapan itu justru tak lebih dari membangunkan seekor harimau betina dari sikap jinak sebelumnya.   

Masyarakat Aceh tak pernah bangkit melawan penjajah karena seruan seorang pemimpin. Sikap perlawanan mereka akan kezaliman, tumbuh sebagai respons dari pengamalan nilai-nilai Islam yang hidup dan kehidupan mereka. Hilang Cut Nyak Dhien dan Cut Meuthia, lahir seorang pemimpin perempuan yang terus menggelorakan semangat melawan penjajah Belanda bernama Pocut Baren.

Lahir pada 1880 dari keluarga bangsawan lokal di Aceh Barat, ayah Pocut Baren, Teuku Cut Anmat Tungkop, merupakan seorang uleebalang yang sangat disegani. Ia juga bukanlah bangsawan pengecut yang memilih berkolaborasi dengan penjajah, seperti banyak bangsawan di seluruh Nusantara, melainkan seorang pemimpin rakyat melawan penjajah.

Entah mengapa, nasib Pocut Baren seolah meneruskan takdir Cut Nyak Dhien, orang yang juga ia kagumi.

Sebagaimana Cut Nyak Dhien yang kehilangan orang-orang yang dicintainya, demikian pula Pocut Baren. Kita tahu, suami pertama Nyak Dhien, Ibrahim Lamnga, gugur dalam pertempuran melawan Belanda pada 29 Juni 1878. Demikian pula suami keduanya, Teuku Umar yang gugur pada 11 Februari 1899.

Suami Pocut Baren adalah seorang tokoh adat dan pemimpin rakyat di Aceh Barat yang menghembuskan nafas terakhir di medan pertempuran. Sama seperti Nyak Dhien, setelah kematian suaminya, semangat Pocut Baren pun terpantik untuk memimpin langsung perlawanan terhadap penjajah.

H. C. Zentgraaff dalam ‘Atjeh’, menulis, ciri khas harimau betina Aceh itu selalu membawa-bawa pedang (peudeueng)-nya yang tajam berbentuk vengkok, khas scimitar, pedang Turki. Ia pun selalu diiringi para pengawalnya yang setia, berjumlah sekitar 30 orang pria.

Tegarnya mental dan kokohnya kepribadian Pocut Baren terbentuk sejak kecil. Ia bukanlah putri bangsawan manja yang harus selalu dilayani, bahkan hinga hal-hal kecil seperti bersisir. Aih-alih demikian, Pocut Baren besar seiring perang, yang membentuk karakternya sebagai sosok perempuan tangguh dan pemberani.

Pocut dan suaminya awalnya berjuang bersama Cut Nyak Dhien sejak tahun-tahun terakhir abad 19. Pocut, sebagaimana ditulis Teungku Ibrahim Alfian dalam “Prominent Women in the Glimpse of History”, selalu menunjukkan komitmen perjuangan dan kesetiaan tinggi kepada Nyak Dhien. Ia rela bergerilya, mengembara dari satu ke wilayah lain, dari satu ngarai ke gunung lainnya dengan sekian banyak penderitaan, semata untuk tujuan mulia mengusir penjajah dan kezaliman yang mereka tegakkan.

Segenap pengalaman itu membuat Pocut Baren kian tegar. Perlawanan rakyat Aceh memang sempat tercerai-berai setelah ditangkapnya Cut Nyak Dhien. Itulah yang membuat Pocut berniat mempersatukan seluruh kekuatan. Itu ia mulai dengan menyelamatkan Cut Gambang, putri Cut Nyak Dhien, yang juga seorang srikandi perang.

Berbulan-bulan Pocut Baren memimpin pasukannya masuk keluar hutan, berjuang sambil menghindari kejaran tentara Belanda. Pada 1906, pada pelariannya ia menemukan sebuah gua tersembunyi di lereng Gunung Mancang, Aceh Selatan. Pocut Baren kemudian menjadikan gua tersebut sebagai markas pasukannya.

Pocut Baren

Dari situ, Pocut Baren mengkonsolidasi pasukannya yang sempat tercerai-berai selama pelarian. Setelah kekuatannya dirasa cukup membaik, Pocut mulai merancang strategi untuk kembali menghajar kekuatan Belanda, melalui siasat gerilya.

Selain berfungsi sebagai markas, gua di Gunung Mancang juga digunakan sebagai benteng pertahanan bagi pasukan Pocut Baren. Setiap usai menyerang pos-pos militer, tangsi-tangsi, menyergap patroli Belanda, atau menemukan tentara musuh dan lantas menggempurnya, orang-orang Pocut Baren langsung masuk ke dalam hutan, lantas berkumpul lagi di markas sebelum bergerak kembali.

Gaya gerilya ala Pocut benar-benar membuat Belanda kerepotan. Sisi lainnya, dengan gaya seperti itu, perjuangan pun menjadi lebih menyenangkan karena Pocut bisa mengatur kapan ia bertempur, kapan beristirahat di markas.

Perlawanan gerilya yang dilakukan Pocut membuat Belanda benar-benar pusing dan terpaksa harus mendatangkan balabantuan dari Batavia untuk mengejar pejuang-pejuang Aceh. Belasan perwira militer Belanda, yang sebelumnya dianggap hebat karena berhasil menangkap para pejuang Aceh era Cut Nyak Dhien yang dulu dipimpin van Heutz, didatangkan untuk bergantian memimpin operasi pengejaran Pocut Baren, tetapi tidak tidak pernah berhasil menangkap Sang Harimau Betina Aceh penerus Cut Nyak Dhien tersebut.

Salah seorang tentara Belanda yang turut dalam operasi penangkapan Pocut Baren, Doup, mengakui kehebatan Pocut. “Para pemimpin patroli pemburu Pocut Baren adalah tokoh-tokoh Belanda terkemuka dan terkenal berpengalaman dalam peperangan. Ini menunjukkan wanita itu memang lawan tangguh bagi Belanda,” kata dia, menulis dalam “Gedenkboek van het Korps Marechaussee van Atjeh”, yang terbit pada 1940.

Namun, pada akhirnya perjuangan Pocut Baren di medan perang harus berakhir. Pada sebuah penyerangan besar-besaran, sekitar lima tahun setelah penangkapan Cut Nyak Dhien, Pocut pun tertangkap. Itu dimungkinkan karena semakin sempitnya wilayah perjuangan Pocut di pegunungan, karena pengepungan yang kian merangsek. Belanda kemudian menyirami daerah sekeliling area yang diperkirakan ditempati Pocut Baren dan para pengikutnya dengan minyak dan membakarnya. Panas, asap, dan abu pembakaran, membuat orang-orang Pocut Baren kelimpungan dan sulit membalas serangan.

Saat itulah Letnan W. Hoogers memimpin operasi penyergapan. Pocut Baren, yang masih berusaha melawan akhirnya bisa ditangkap karena luka di kakinya, akibat pertempuran sebelumnya.

Pocut Baren dibawa ke markas Belanda di Kutaraja, Banda Aceh. Di dalam tahanan, kondisi luka di kakinya makin memburuk karena mulai busuk. Dokter Belanda kemudian memutuskan untuk mengamputasi kakinya.

Timbul perdebatan di kalangan para petinggi Belanda di Hindia saat itu. Ada yang mengusulkan agar Pocut Baren diasingkan ke luar Aceh, seperti halnya Cut Nyak Dhien. Ada pula yang merasa simpatik dan menyarankan supaya Pocut Baren diampuni, mengingat kondisinya yang tidak memungkinkan untuk terus melawan setelah kakinya diamputasi.

Entah mengapa, pilihan kedua yang akhirnya dipilih. Orang-orang Belanda merasa patut menghormati Pocut Baren sebagai sosok perempuan tangguh yang pantang menyerah. Belanda kemudian memulangkan Pocut Baren ke kampung halamannya, dengan dihadiahi kaki palsu yang khusus didatangkan dari negeri Belanda, untuk sedikit membantunya berjalan.

Pocut Baren menerima pemberian itu dan pulang. Namun perjuangannya tidaklah berakhir, meski tidak melalui upaya mengangkat senjata lagi. Pocut Baren menciptakan puisi dan syair untuk memompa semangat perjuangan rakyat Aceh hingga wafatnya pada 1933. [  ]

Back to top button