LIDAH-LIDAH YANG TAK DIAM: PETUALANGAN RASA DI JANTUNG JAWA BARAT

Catatan dari diskusi grup terfokus pemetaan potensi produk pariwisata gastronomi Jawa Barat (Bandung, Garut, Tasik) pada 23 Mei 2025, di El Hotel Bandung, diselenggarakan oleh Deputi Bidang Pengembangan Destinasi dan Infrastruktur, Kementerian Pariwisata.
Oleh Doddi Ahmad Fauji *
I. Pengantar: Rasa sebagai Kompas Baru Pariwisata
Di setiap piring nasi, semangkuk sup, atau segelas minuman tradisional, ada jejak waktu yang tak bisa diabaikan. Ada tangan-tangan yang mewariskan resep, ada ladang-ladang yang tak henti memberi hasil bumi, dan ada cerita-cerita yang menempel erat pada setiap suapan. Di Indonesia—terutama di Jawa Barat—makanan bukan hanya kebutuhan biologis, tapi bahasa yang hidup, medium komunikasi antar generasi, dan cermin identitas kolektif yang mengakar lebih dalam daripada yang kasat mata. Gastronomi, dalam konteks ini, bukanlah istilah mewah dari dunia kuliner haute cuisine, melainkan pintu masuk untuk memahami siapa kita dan ke mana kita ingin melangkah sebagai bangsa.
Pada sebuah pagi di bulan Mei 2025, di sebuah ruang pertemuan di EL Hotel Bandung, gagasan besar ini menggeliat dari balik barisan kursi peserta rapat. Yang dibicarakan bukan soal restoran bintang lima atau festival kuliner semata, tapi lebih luas dan dalam: bagaimana makanan bisa menjadi poros pembangunan pariwisata, kesejahteraan desa, dan penguat identitas budaya Jawa Barat. Rapat itu—bertajuk Pemetaan Potensi Produk Pariwisata Gastronomi Wilayah Jawa Barat—menyuguhkan lebih dari sekadar data. Ia menjadi ruang tafsir, ruang harapan, dan yang paling penting, ruang strategi.
Bicara tentang pariwisata hari ini tak bisa lepas dari satu kata kunci: pengalaman. Wisatawan tidak hanya mencari tempat indah, tetapi juga pengalaman yang mengendap. Dan makanan adalah medium paling intim untuk menyentuh sisi personal dari sebuah perjalanan. Rasanya tak butuh terjemahan, aroma tak bisa dibohongi, dan teknik memasak tradisional selalu meninggalkan kesan mendalam. Maka tak heran jika industri pariwisata global mulai menggandeng gastronomi sebagai aset strategis. Indonesia pun tak ingin tertinggal, terlebih lagi ketika Travel & Tourism Development Index menunjukkan lonjakan posisi Indonesia dari peringkat 32 ke 22. Sebuah pencapaian, tentu. Tapi di balik angka itu, ada PR besar: memastikan bahwa peningkatan ini tidak hanya dalam tabel, tetapi juga dalam dampak riil bagi masyarakat.
Di tengah semangat itu, Jawa Barat tampil sebagai wilayah yang sangat menjanjikan. Bukan hanya karena keragaman rasa, tetapi juga karena potensi cerita yang melimpah. Dari piring ke panggung, dari dapur ke destinasi, gastronomi di sini menyimpan narasi yang siap dijahit ulang menjadi benang merah pengalaman wisata. Wilayah seperti Bandung, Garut, dan Tasikmalaya menjadi tiga simpul penting dalam peta perjalanan rasa yang sedang disusun. Bandung dengan kuliner urban dan warisan kolonialnya. Garut dengan kekayaan bahan lokal dan oleh-oleh legendarisnya. Tasikmalaya dengan sentuhan kriya dan makanan tradisionalnya yang mengakar kuat di masyarakat. Setiap wilayah bukan hanya soal rasa, tapi soal identitas yang harus dijaga dan dipasarkan secara bijak.

Namun, membangun wisata gastronomi bukanlah pekerjaan dapur biasa. Ia memerlukan resep kolaborasi yang kompleks: pemerintah sebagai penyusun kebijakan, komunitas sebagai penjaga rasa, pelaku usaha sebagai penggerak ekonomi, dan media sebagai penyampai narasi. Gastronomi bukan berdiri sendiri, ia menyeberang ke sektor pendidikan, ekonomi kreatif, pertanian, dan bahkan diplomasi internasional. Maka strategi yang dibangun pun harus lintas sektor, dari hulu ke hilir. Dari petani bawang di Cimenyan hingga pengelola restoran modern di Dago, semuanya harus duduk dalam satu meja, menyatukan peta jalan.
Di forum itu, disadari pula bahwa makanan tak bisa dilepaskan dari budaya dan keberlanjutan. Tidak semua yang enak baik untuk bumi. Maka prinsip sustainable food production dan reliable food supply menjadi pilar penting. Gastronomi bukan hanya bicara tentang rasa, tetapi juga tanggung jawab. Bagaimana makanan diproduksi, bagaimana ia dijual, dan bagaimana ia diwariskan—semuanya punya konsekuensi jangka panjang terhadap masyarakat dan lingkungan. Dalam konteks inilah muncul gagasan dokumentasi, digitalisasi, dan pendalaman nilai-nilai kuliner lokal yang bisa dijadikan modal branding daerah. Jejak rempah VOC, filosofi rujak suro, hingga teknik masak pepes di desa menjadi bahan bakar penting untuk narasi besar: bahwa Jawa Barat punya cita rasa yang tak hanya layak saji, tapi juga layak jual.
Namun tentu saja, segala potensi ini tidak hadir tanpa tantangan. Di luar ruangan rapat, jalanan sempit menuju desa wisata, keterbatasan akses internet di perkampungan, serta rendahnya literasi digital masyarakat menjadi masalah konkret yang harus dijawab. Bahkan istilah “gastronomi” pun masih terdengar asing di telinga sebagian besar warga, lebih akrab dengan kata “kuliner”. Maka, edukasi menjadi bagian tak terpisahkan dari gerakan ini. Gastronomi harus dibumikan, dikisahkan dalam bahasa sehari-hari, dan disampaikan lewat media yang akrab. Dalam diskusi, muncul wacana untuk memilih istilah yang lebih cair, lebih membumi, dan lebih mampu mengajak sebanyak mungkin orang untuk terlibat.
Dari semua diskusi itu, satu hal menjadi benang merah: gastronomi adalah komunikasi. Ia menyampaikan pesan, membawa cerita, dan mengundang rasa percaya. Maka pendekatan komunikasi pun tak bisa sembarangan. Pemilihan SDM yang menyampaikan pesan harus diperhatikan, seperti halnya media dan platform yang digunakan. Apa gunanya kupat tahu legendaris kalau ceritanya tak sampai ke lidah wisatawan? Apa gunanya kampung herbal dengan 400 tanaman jika tak hadir di peta digital pencarian wisata?
Maka dari itulah, bagian pengantar ini tidak sekadar membuka jalan menuju pembahasan teknis, tetapi mengetuk pintu kesadaran: bahwa setiap suapan adalah potensi. Bahwa setiap resep adalah bagian dari pembangunan. Dan bahwa lidah-lidah yang tak diam ini akan terus menyuarakan cerita, nilai, dan harapan. Selamat datang dalam petualangan rasa yang tidak hanya mengenyangkan, tetapi juga mencerahkan. Jawa Barat siap menaruh rasa di peta dunia— satu suapan, satu cerita, satu wilayah dalam satu waktu.

II. Makanan sebagai Identitas: Menenun Budaya Lewat Lidah
Setiap sendok yang kita bawa ke mulut sebenarnya mengandung jejak peradaban. Ia tidak hanya menyampaikan rasa, tetapi juga menyimpan sejarah, kebiasaan, bahkan dunia nilai dari komunitas yang menciptakannya. Maka ketika kita berbicara tentang gastronomi Jawa Barat, kita sedang berbicara tentang bagaimana masyarakatnya mengekspresikan dirinya—tidak melalui pidato panjang atau buku tebal, tetapi melalui tahu sumedang yang digoreng garing, melalui nasi liwet yang disantap bersama, atau sambal cibiuk yang dibuat dadakan sebagai bentuk spontanitas rasa dan kehangatan sosial. Dalam makanan, ada identitas. Dan di Jawa Barat, identitas ini bukan hanya satu, melainkan rajutan yang kaya dari berbagai kebudayaan: Sunda, Betawi, dan Kacirebonan.

Masyarakat Sunda, misalnya, dikenal dengan kedekatannya pada alam. Ciri khas makanannya sangat mencerminkan prinsip “ngan sauyunan jeung alam”—hidup selaras dengan alam. Tak heran jika makanan khas Sunda sangat menonjolkan sayuran segar, lalapan, dan metode masak yang minim rekayasa: dikukus, dibakar, ditumis ringan. Rasa yang muncul dari makanan Sunda adalah rasa jujur—segar, ringan, namun tetap kaya. Dalam sayur asem, karedok, hingga pepes, terkandung filosofi hidup yang mengutamakan keseimbangan, kesegaran, dan kesederhanaan. Di sinilah kita bisa melihat makanan sebagai bentuk refleksi cara hidup masyarakatnya: menghargai hasil bumi, tidak berlebihan, dan membumi.
Berbeda dengan itu, budaya Betawi yang masuk ke wilayah perbatasan Jawa Barat seperti Bekasi dan Depok membawa pengaruh akulturasi yang kompleks. Masakan Betawi adalah hasil pertemuan banyak dunia: Arab, Cina, Portugis, hingga pribumi. Lihatlah soto Betawi yang kental dengan santan, nasi uduk yang sarat rempah, atau kerak telor yang muncul dalam konteks perayaan dan festival. Teknik slow-cooking yang digunakan mencerminkan nilai-nilai kesabaran dan ketekunan, dua hal yang sering terabaikan di dunia serba instan saat ini. Betawi hadir di Jawa Barat sebagai pengingat bahwa makanan juga merupakan arsip sejarah migrasi dan pertemuan budaya.
Kemudian hadir Kacirebonan—identitas gastronomi yang tidak hanya menawarkan rasa laut, tapi juga kompleksitas bumbu yang tak kalah memikat. Kuliner Cirebon memperlihatkan keterampilan menyatukan elemen gurih, manis, dan pedas dalam satu harmoni. Empal gentong, nasi jamblang, tahu gejrot, semua menyampaikan cerita yang kaya tentang jalur dagang, hubungan pelabuhan, dan kedekatan dengan dunia maritim. Teknik masak seperti menumis dengan bumbu halus dan penggunaan santan yang kental menandai kemewahan rasa yang tidak dibuat-buat, tapi lahir dari kebiasaan sehari-hari yang terstruktur.
Dari ketiga budaya itu, muncul bukan hanya keberagaman rasa, tetapi juga keragaman nilai. Kita bisa menyaksikan bagaimana makanan menjadi alat untuk mengikat solidaritas, memperingati peristiwa penting, bahkan menyampaikan protes atau kritik sosial secara halus. Dalam tradisi Sunda, makanan selalu hadir dalam acara syukuran, selamatan, atau hajatan. Bahkan dalam upacara adat seperti Seren Taun di Cigugur atau Mapag Sri di Cirebon, makanan memegang peran utama sebagai medium persembahan dan ekspresi syukur. Ia bukan sekadar konsumsi, tapi komunikasi antara manusia dengan sesama, dengan leluhur, bahkan dengan alam.

Identitas ini semakin terlihat jelas ketika kita mulai membedah tradisi makan sebagai bentuk ritus sosial. Ada aturan-aturan tidak tertulis yang mengatur bagaimana makanan disajikan, kapan disantap, dan dengan siapa. Misalnya, dalam masyarakat Sunda, kebersamaan menjadi nilai penting. Nasi liwet yang dimakan bersama dalam satu alas daun pisang adalah simbol keakraban dan kesetaraan. Tidak ada piring pribadi, tidak ada hierarki. Semua orang duduk bersila, makan dari sumber yang sama, dan membagikan rasa yang setara. Dalam konteks modern, ini adalah bentuk solidaritas sosial yang makin jarang kita temui di tengah individualisme konsumsi.
Makanan juga menjadi pembeda yang mempersatukan. Di tengah globalisasi, makanan lokal tetap memiliki kekuatan untuk mempertahankan keunikan budaya. Ketika generasi muda mulai melirik makanan instan, makanan cepat saji, atau tren gastronomi Korea dan Jepang, makanan lokal tetap hadir sebagai jangkar identitas. Namun tentu, keberadaan ini tidak bisa hanya diserahkan kepada kebetulan. Ia perlu dirawat, dikisahkan ulang, dan dijadikan bagian dari arus utama.
Salah satu bentuk perawatan itu adalah lewat dokumentasi dan digitalisasi. Proyek-proyek seperti penulisan buku Tuang, gerakan Gandrung Nusantara, hingga upaya membuat film dokumenter tentang gastronomi lokal adalah langkah penting untuk menjadikan makanan sebagai artefak budaya yang hidup. Dalam hal ini, makanan bukan sekadar objek yang diam, tapi subjek yang aktif menyampaikan nilai. Ia bisa masuk ke ruang-ruang modern seperti media sosial, festival budaya, bahkan layar lebar, untuk menjangkau generasi baru dengan cara yang segar.
Namun, identitas makanan juga bisa terancam jika tidak dijaga dengan prinsip keberlanjutan. Banyak makanan lokal yang kini berada di ambang punah bukan karena rasa yang menurun, tetapi karena ekosistem pendukungnya runtuh. Petani bahan baku beralih profesi karena tak lagi menguntungkan. Pasar tradisional tergeser oleh retail modern. Resep yang dulu diwariskan secara lisan kini menghilang bersama generasi tua yang tak sempat mengajarkannya. Jika dibiarkan, kita akan kehilangan bukan hanya makanan, tetapi bagian dari diri kita sendiri.

Di sinilah pentingnya pendekatan holistik terhadap gastronomi. Tidak cukup hanya mempromosikan makanan lokal sebagai produk pariwisata. Harus ada upaya sistematis untuk menjaga ekosistemnya: mulai dari hulu (pertanian, perikanan, peternakan), distribusi dan logistik (pasar, pedagang), hingga hilir (kafe, restoran, event). Gastronomi sebagai identitas memerlukan perlakuan seperti kita menjaga bahasa, pakaian adat, atau tarian tradisional. Ia adalah bagian dari warisan budaya yang harus hidup dalam keseharian, bukan sekadar disajikan di acara khusus.
Dan ketika makanan sudah diakui sebagai identitas, maka ia bisa menjadi kekuatan untuk membentuk citra dan daya saing daerah. Makanan bisa menjadi alasan orang datang ke satu wilayah. Lebih dari itu, makanan bisa menjadi cara orang memahami suatu daerah. Saat orang mencicipi rujak honje dari Soreang atau mie Jaka dari Tasikmalaya, mereka sebenarnya sedang menyentuh bagian terdalam dari budaya tempat itu. Dalam rasa, ada pesan. Dalam teknik masak, ada sejarah. Dan dalam penyajian, ada penghormatan.
Gastronomi adalah jendela untuk melihat ke dalam diri masyarakat. Ia memperlihatkan cara berpikir, cara hidup, dan cara berhubungan dengan dunia. Maka ketika kita bicara tentang pengembangan wisata gastronomi di Jawa Barat, sesungguhnya kita sedang membicarakan bagaimana mempertahankan identitas di tengah arus perubahan global. Ini bukan soal memilih antara tradisi dan modernitas, tapi bagaimana menjembatani keduanya dengan rasa yang jujur, otentik, dan penuh makna.
Karena pada akhirnya, makanan bukan hanya tentang kenyang. Ia tentang siapa kita, dan bagaimana kita ingin dikenang.

III. Bandung–Tasik–Garut: Tiga Simpul Emas dalam Jalur Rasa
Jawa Barat ibarat tenunan kain yang rapat—kaya motif, berlapis makna, dan penuh nuansa. Dalam dunia gastronomi, ketiga daerah ini—Bandung, Tasikmalaya, dan Garut—menjadi simpul penting yang bukan hanya mengikat cita rasa, tetapi juga sejarah, identitas, dan peluang ekonomi. Masing-masing membawa kekhasan, memancarkan karakter yang berbeda, namun saling melengkapi. Jika Bandung adalah dapur inovasi dan modernitas, maka Tasikmalaya adalah penyimpan rasa otentik dalam balutan kriya dan tradisi, sementara Garut hadir sebagai penghubung antara jejak masa lalu dan dinamika pariwisata kontemporer. Bersama-sama, ketiganya membentuk lintasan rasa yang bukan sekadar lezat di lidah, tetapi juga menggugah kesadaran budaya.
A. Bandung: Inovasi dan Tradisi dalam Satu Sajian
Tidak ada daerah di Jawa Barat yang mampu menjahit tradisi dan tren kuliner modern seelastis Bandung. Kota ini, sejak lama, telah menjadi melting pot berbagai gaya hidup dan selera. Di satu sisi, ia mempertahankan warisan kuliner Sunda dengan segala keasliannya. Di sisi lain, Bandung juga menjadi panggung bagi kebangkitan kuliner kontemporer yang viral di media sosial. Dari warung nasi timbel di Punclut hingga kafe estetik di Dago dan Cihapit, Bandung menjelma menjadi laboratorium hidup bagi evolusi rasa.
Bandung bukan hanya menawarkan variasi rasa, tetapi juga konsep yang kuat. Di Cimenyan, misalnya, hadir “Bumi Herbal” yang menjadi surga bagi 400 jenis tanaman herbal. Di tempat ini, kita tidak hanya mencicipi jamu atau rujak berempah, tetapi juga belajar tentang filosofi hidup sehat dan keberlanjutan lingkungan. Ada pula “Gelanggang Olah Rasa”—komunal kitchen yang mempertemukan warga, petani, dan koki dalam suasana gotong royong. Hari Rabu mereka masak pizza dengan bahan lokal, Kamis masakan berkuah. Sebuah bentuk pendekatan baru terhadap pendidikan gastronomi.
Namun, tantangan Bandung juga tak kalah kompleks. Urbanisasi yang cepat membuat banyak warisan kuliner mulai tergeser oleh tren yang cepat usang. Keterbatasan lahan parkir, kemacetan, kurangnya akses untuk disabilitas, dan pengelolaan sampah yang belum optimal menjadi isu krusial. Warung-warung tradisional mulai terjepit di antara menjamurnya kedai kopi modern. Maka di sini, tantangannya bukan hanya melestarikan rasa, tetapi juga ruang. Bandung harus menemukan cara untuk menyandingkan yang lama dan yang baru, agar nasi liwet tak kehilangan tempat di tengah latte art.
Upaya pelestarian warisan juga terlihat dari sisi dokumentasi. Di Bandung, terdapat banyak “tempat viral” yang menjadi penanda semangat eksplorasi rasa generasi muda. Mulai dari Sate Kardjan yang legendaris hingga steak mantan dan Cap Ayam yang jadi bahan konten. Fenomena ini jika dikelola baik dapat menjadi bahan narasi wisata kuliner yang kuat. Tidak semua yang viral dangkal, asalkan kita pandai menyisipkan konteks.

B. Tasikmalaya: Rasa yang Bertahan di Balik Anyaman
Jika Bandung adalah panggung gemerlap, maka Tasikmalaya adalah rumah sunyi tempat kearifan rasa dirawat dengan sabar. Di sinilah, cita rasa yang tak banyak berubah sejak puluhan tahun lalu terus hidup dari tangan ke tangan. Tasik adalah simbol perlawanan terhadap cepatnya laju zaman. Ia menyimpan makanan seperti bubur ayam Jena, mie Jaka yang dimasak dengan arang, kupat air Tanjung yang direbus dengan air dari sumber tertentu, hingga rujak honje dengan sensasi asam rempah yang menyegarkan. Makanan-makanan ini bukan hanya mengenyangkan, tetapi juga menyampaikan filosofi dan kebersahajaan.
Tasik juga punya pasar yang sangat khas. Pasar Mambo dan Cikurubuk bukan sekadar pusat jual beli, melainkan ruang sosial di mana interaksi dan cerita tentang makanan diwariskan. Dalam konteks pariwisata gastronomi, pasar seperti ini punya daya tarik luar biasa. Mereka otentik, tidak direkayasa, dan mencerminkan wajah asli masyarakat. Sayangnya, di sinilah pula tantangan Tasikmalaya mengendap. Branding gastronomi mereka belum mengakar kuat. Sulit meningkatkan relevansi makanan khas ke panggung nasional, apalagi internasional.
Di sisi lain, kekuatan Tasik terletak pada komunitas dan edukasi. Desa Cisayong dengan Saung Panyawah-nya adalah contoh nyata pendekatan edukatif terhadap pelestarian kuliner. Pengunjung tidak hanya makan, tetapi diajak melihat dan ikut memasak nasi piritan—makanan khas dari jeroan ikan yang dipepes dengan rempah. Aktivitas seperti ini menghadirkan pengalaman multisensorik yang sulit dilupakan. Bukan hanya rasa, tapi juga emosi dan cerita.
Tasik juga memiliki kekayaan bahan baku unik. Pisang Ranggam yang hanya tumbuh di daerah Galunggung, makanan angleng dari ketan hitam, serta gula semut organik dari Salawu adalah produk-produk unggulan yang bisa menjadi ikon dalam branding gastronomi. Namun, infrastruktur masih menjadi penghambat. Akses jalan yang belum merata, informasi digital yang terbatas, dan konservasi budaya yang belum menyentuh generasi muda secara efektif membuat potensi ini terpendam. Maka perlu ada strategi yang menyentuh langsung akar rumput: dari digitalisasi UMKM hingga pendampingan pemasaran.

C. Garut: Dari Dodol hingga Destinasi Kuliner Alternatif
Garut mungkin lebih dikenal sebagai daerah penghasil dodol, tetapi warisan kulinernya jauh lebih luas. Kota ini menyimpan kekayaan rasa yang membentang dari baso aci, goyobod, burayot, seblak, hingga kopi biji kuning dari Cisurupan. Karakter kulinernya mencerminkan kedalaman tradisi dan kedekatan dengan alam. Sumber air panas, kebun teh, hingga ladangladang sayur menjadi bagian dari ekosistem rasa yang menyatu dengan lanskap alam dan budaya.
Keunikan Garut terletak pada keberadaan pasar-pasar tradisional yang tetap hidup, seperti Pasar Ciawitali dan Pasar Jagal. Di tempat-tempat ini, berbagai olahan aci (tepung tapioka)— yang menjadi jantung kuliner Garut—dijajakan setiap hari. Produk berbasis aci ini bukan sekadar makanan, tetapi manifestasi kreativitas dan kemandirian masyarakat. Mereka bisa diolah menjadi seblak, cireng, baso aci, bahkan cemilan inovatif lainnya. Keberlimpahan ini menjadi kekuatan, sekaligus tantangan. Karena belum ada branding tunggal yang mampu menjahit semua ini dalam satu narasi gastronomi yang kuat.
Di daerah seperti Leles dan Malangbong, makanan juga berkelindan dengan ritus adat. Burayot, misalnya, telah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda. Di kawasan Cibiuk, sambal dadakan menjadi ikon rasa pedas segar khas Garut. Kombinasi ini membuka peluang besar bagi wisata berbasis pengalaman. Candi Cangkuang, Kampung Pulo, dan upacara adat bisa menjadi pintu masuk untuk menawarkan wisata yang tidak hanya melihat dan belajar, tetapi juga mencicipi.
Namun, lagi-lagi persoalan logistik muncul. Banyak wilayah di Garut yang akses jalannya masih terbatas. Bis wisata tidak bisa masuk ke beberapa desa wisata. Pemasok bahan makanan sering kesulitan mendistribusikan produk ke pusat kota atau luar daerah. Maka strategi pengembangan harus mencakup perbaikan infrastruktur dasar, dukungan untuk UMKM lokal, dan promosi berbasis cerita. Garut harus dilihat sebagai satu ekosistem rasa yang terhubung: dari produsen bahan baku, pengrajin makanan, hingga pengelola daya tarik wisata.
Garut juga menghadirkan contoh bagus tentang komunitas yang aktif menjaga produk lokal. Di Bungbulang, opak ketan dan gula aren menjadi produk unggulan. Di Pameungpeuk, bahkan ada industri rumahan agar kertas yang unik. Inovasi lokal ini bisa menjadi bahan narasi yang menggoda jika dijahit dengan pendekatan pariwisata tematik.

Mengikat Tiga Simpul: Menuju Peta Perjalanan Gastronomi
Bandung, Tasik, dan Garut, jika dijahit dengan rapi, bisa membentuk lintasan wisata gastronomi yang kuat dan tematik. Bayangkan satu rute perjalanan selama lima hari: dimulai dari eksplorasi modern cafe dan komunal kitchen di Bandung, dilanjutkan dengan pengalaman edukatif memasak makanan tradisional di desa wisata Tasik, lalu ditutup dengan wisata oleholeh dan ritual kuliner adat di Garut. Perjalanan ini bukan hanya enak di lidah, tapi juga kaya di hati dan memori.
Pemerintah dan pelaku industri pariwisata perlu menyadari bahwa integrasi ketiga daerah ini bisa menjadi contoh konkret dari pendekatan “Building–Boosting–Branding”. Building: membangun infrastruktur dan SDM. Boosting: memperkuat kolaborasi dan promosi. Branding: menyusun narasi besar yang bisa dipasarkan ke dunia.
Jalur gastronomi ini juga bisa diadaptasi menjadi berbagai segmen: edukatif untuk pelajar, spiritual untuk pencari healing melalui makanan, petualangan rasa bagi food vlogger, atau eksplorasi budaya untuk wisatawan internasional. Fleksibilitas ini memungkinkan monetisasi yang beragam dan berkelanjutan.
Di sinilah peta bukan hanya berfungsi sebagai penunjuk arah, tapi juga sebagai penutur cerita. Peta perjalanan gastronomi Bandung–Tasik–Garut harus disusun dengan penuh empati dan kreativitas: menampilkan titik rasa, kisah di baliknya, dan pengalaman yang ditawarkan. Dengan begitu, wisatawan tidak sekadar datang dan pergi. Mereka pulang membawa rasa, cerita, dan rasa ingin kembali.

IV. Rasa dan Ruang: Gastronomi dalam Lanskap Pariwisata
Di mana makanan disajikan, di sanalah pengalaman dibentuk. Rasa, dalam dunia pariwisata, bukan berdiri sendiri. Ia membutuhkan wadah: ruang yang memeluknya, suasana yang membingkainya, dan narasi yang menjelaskannya. Dalam konteks gastronomi Jawa Barat, rasa tidak cukup hanya lezat—ia harus dipresentasikan dalam lanskap yang mendukung, agar menjadi pengalaman utuh. Maka muncullah konsep “rasa dan ruang”—sinergi antara hidangan, tempat, dan perasaan yang timbul saat mencicipi. Gastronomi tanpa ruang hanyalah konsumsi. Tapi gastronomi dalam ruang yang bermakna adalah perjalanan.
Konsep ini membawa kita ke pemahaman bahwa wisata gastronomi bukan hanya soal mencicipi makanan, tetapi mencicipi suasana. Di sinilah perbedaan antara “spot” dan “destinasi” menjadi penting. Seorang wisatawan bisa berhenti di warung pinggir jalan untuk makan, tetapi apakah ia akan ingat tempat itu? Apakah ia akan kembali? Di sinilah letak tantangan sekaligus peluang. Bagaimana menjadikan sebuah tempat makan bukan sekadar tempat makan, tetapi destinasi—tempat yang mengundang untuk disinggahi, dinikmati, dan diceritakan ulang.
Ambil contoh dari Gunung Puntang di Bandung. Bagi sebagian, ia mungkin hanya “spot”— tempat berkemah, mendaki, atau menikmati alam. Tapi bayangkan jika di tempat itu hadir sebuah festival kopi yang menampilkan roasting lokal, cerita tentang tanaman kopi zaman kolonial, dan pertunjukan musik tradisional di sela aroma kopi. Seketika, ia menjelma menjadi destinasi gastronomi. Bukan karena fisiknya berubah, tetapi karena narasinya dihidupkan.
Begitu pula dengan bukit stroberi di Lembang. Selama ini mungkin hanya menjadi tempat petik buah yang fotogenik. Tapi jika digabung dengan cooking class membuat stroberi jam dari hasil panen sendiri, dan disambungkan dengan kisah petani lokal yang menjaga varietas stroberi warisan leluhur, maka wisatawan bukan hanya membeli oleh-oleh, tapi juga membawa pulang pengalaman. Ini adalah cara mengubah fungsi konsumsi menjadi interaksi. Dari pasif menjadi aktif. Dari sekadar mencicipi menjadi merasakan.
Indonesia sebenarnya tak kekurangan inspirasi. Lihatlah Petchaburi di Thailand, Kuching di Malaysia, atau Ilollo di Filipina. Kota-kota ini sukses mengangkat gastronomi lokal menjadi pusat perhatian global karena mengemas ruang dan rasa menjadi satu kesatuan yang tak terpisah. Di Petchaburi, misalnya, festival manisan dan makanan laut bukan hanya sekadar bazaar, tapi pertunjukan budaya. Di Kuching, jalanan penuh mural tentang makanan, restoran tua, dan pelatihan memasak Sarawak laksa menjadi bagian dari city tour. Di Ilollo, atraksi kuliner tradisional digabungkan dengan pertunjukan tari dan musik, menjadikan setiap kunjungan sebagai pertunjukan rasa.
Bandung, Garut, dan Tasikmalaya memiliki semua bahan baku untuk melakukan hal yang sama—bahkan lebih. Namun, integrasi antara rasa dan ruang masih belum maksimal. Banyak lokasi wisata belum diposisikan sebagai panggung bagi gastronomi. Ada destinasi alam yang indah tapi tanpa fasilitas kuliner. Ada restoran hebat tapi tidak terkoneksi dengan cerita lokal. Maka penting untuk menciptakan sistem yang menjahit antar-ruang: dari kebun ke dapur, dari pasar ke meja makan, dari peta ke pengalaman langsung.
Langkah awalnya adalah memetakan lanskap kuliner. Peta bukan hanya soal koordinat geografis, tetapi juga koordinat budaya. Misalnya, di satu kecamatan diketahui ada pengrajin kecap rumahan, pembuat tahu tradisional, dan pasar sayur pagi. Jika ketiganya digabungkan dalam satu rute wisata “Dari Kedelai ke Rasa”—pengunjung bisa melihat proses lengkap: dari produksi hingga konsumsi. Bahkan bisa disisipkan sesi membuat tahu sendiri, atau mencicipi tahu goreng dengan kecap buatan warga. Seketika, tempat itu bukan lagi titik di peta, tapi pengalaman hidup.
Langkah selanjutnya adalah menyuntikkan narasi ke dalam ruang. Di Kota Garut, misalnya, warisan dodol seringkali dikemas hanya sebagai oleh-oleh. Padahal ada cerita panjang di baliknya: tentang wanita-wanita pembuat dodol sejak zaman kolonial, tentang alat-alat tradisional yang digunakan, hingga cerita pasar lama tempat mereka menjajakan. Narasi ini bisa diangkat dalam bentuk museum mini, storytelling oleh pemandu lokal, atau bahkan pertunjukan teater kecil di rumah produksi. Begitu pula nasi liwet di kampung, bisa dikemas sebagai bagian dari ritual makan bersama yang dijelaskan secara historis dan filosofis.
Kekuatan lain yang belum tergarap sepenuhnya adalah ruang komunitas. Banyak komunitas kuliner, penggiat budaya, hingga petani dan UMKM yang sebenarnya sudah bergerak menjaga warisan kuliner. Tapi mereka sering bergerak sendiri-sendiri. Padahal jika dikolaborasikan, mereka bisa membentuk “Gastro-Hub”—ruang bersama tempat edukasi, promosi, dan inkubasi produk gastronomi lokal. Gastro-Hub ini bisa menjadi pusat informasi wisata kuliner, tempat pelatihan SDM pariwisata, hingga laboratorium kecil bagi inovasi produk. Ia bisa hadir di kota besar seperti Bandung, tapi juga menyebar ke Garut dan Tasik sebagai simpul gerakan rasa.
Tentu, semua ini membutuhkan sentuhan infrastruktur. Ruang publik harus dirancang ulang agar ramah terhadap wisata gastronomi. Contohnya, area pejalan kaki di pasar tradisional yang diberi signage interaktif tentang sejarah makanan yang dijual. Atau halte dan stasiun yang menjadi titik awal “Food Walk”—tur kuliner jalan kaki yang dirancang dengan tema. Jalur kereta lokal bisa diubah menjadi “Railway Gastro Tour”—dengan menu khas yang disajikan sepanjang perjalanan, lengkap dengan narasi dan demonstrasi memasak.
Di luar ruang fisik, ruang digital juga tak boleh dilupakan. Website Indonesia Gastronomy Network dan berbagai media sosial komunitas kuliner bisa menjadi jembatan antara ruang nyata dan ruang virtual. Peta rasa, video pendek tentang kisah makanan, ulasan tempat makan dari sisi budaya, semuanya bisa dirancang sebagai satu ekosistem digital yang mendukung perjalanan wisatawan. Di sini, ruang tak lagi dibatasi oleh tembok, tapi oleh imajinasi dan cerita.
Ada satu hal yang sering luput: wisatawan modern mencari pengalaman yang otentik namun terstruktur. Mereka ingin merasakan rasa asli, tetapi dengan kenyamanan dan informasi yang memadai. Maka pemetaan rasa dan ruang harus dilakukan secara sistemik dan berbasis data. Survei, FGD, dan kajian situasional seperti yang dilakukan dalam rapat pemetaan Jawa Barat adalah langkah awal yang sangat penting. Tapi jangan berhenti di laporan. Harus ditindaklanjuti dengan visualisasi rute, buku panduan, dan aktivitas nyata yang bisa diakses siapa pun.
Rasa dan ruang adalah pasangan tak terpisahkan. Selezat apa pun makanan, jika disajikan dalam ruang yang salah, ia akan kehilangan makna. Begitu juga sebaliknya—seindah apa pun tempat, jika tanpa pengalaman rasa, ia akan cepat terlupakan. Maka membangun wisata gastronomi harus selalu memperhatikan keduanya. Menyusun rute bukan hanya dengan peta jalan, tetapi juga peta rasa. Menata ruang bukan hanya secara estetika, tapi juga semantik—apa makna tempat ini? Apa cerita di balik makanan ini? Siapa yang membuatnya?
Ketika rasa dan ruang bersatu, maka lahirlah perjalanan yang tak hanya mengisi perut, tetapi juga hati dan pikiran. Itulah mengapa wisata gastronomi bukan hanya tentang apa yang dimakan, tetapi di mana dan bagaimana makanan itu dikisahkan. Bandung, Tasik, dan Garut sedang menunggu untuk dirangkai dalam narasi besar itu—dalam ruang yang tak hanya dihuni bangunan, tapi juga dihuni oleh rasa-rasa yang tak diam.

V. Gastronomi sebagai Ekosistem: Dari Petani ke Piring
Di balik semangkuk mie Jaka atau sepiring nasi liwet, ada rantai panjang yang nyaris tak terlihat: petani yang menanam bahan baku, pedagang yang menjualnya, pengrajin yang mengolahnya, koki yang meraciknya, hingga pemandu wisata yang menghidangkannya dalam bentuk cerita. Gastronomi, ketika dilihat lebih dekat, bukan sekadar pengalaman konsumsi. Ia adalah ekosistem. Sebuah jaringan yang saling bergantung, hidup dari satu sama lain, dan— yang paling penting—bisa saling menguatkan atau justru saling melemahkan.
Melihat gastronomi sebagai ekosistem berarti melihat makanan sebagai produk dari kolaborasi sosial, ekonomi, budaya, dan lingkungan. Ini adalah pendekatan yang menggeser fokus dari “apa yang disajikan” menjadi “bagaimana sesuatu itu sampai ke meja makan.” Dalam konteks pariwisata Jawa Barat, pendekatan ini membuka mata kita bahwa pengembangan destinasi gastronomi tidak bisa hanya berfokus pada restoran atau festival makanan. Ia harus dimulai dari hulu: dari petani di ladang, nelayan di pantai, hingga pengrajin di desa. Karena tanpa mereka, tidak akan ada cerita untuk disajikan.
Mari mulai dari yang paling dasar: bahan baku. Tanah Jawa Barat adalah surga agrikultur. Daerah seperti Pangalengan, Rancabali, hingga Kertasari menghasilkan komoditas dataran tinggi yang luar biasa—susu, kentang, teh, kopi, madu, dan rempah-rempah. Di Cimenyan, lebih dari 400 jenis tanaman herbal tumbuh subur, menjadi harta karun farmasi alami yang belum sepenuhnya tergarap. Namun, tantangannya jelas: banyak petani masih bergelut dalam siklus harga tak menentu, keterbatasan akses pasar, dan minimnya dukungan teknologi. Dalam situasi ini, pariwisata bisa menjadi solusi—bukan hanya untuk menjual hasil, tetapi untuk menciptakan pengalaman yang menjual.
Contohnya, program agrowisata di Bandung Selatan yang mengajak wisatawan ikut memerah susu, memetik teh, hingga memasak makanan berbasis hasil panen lokal. Ini bukan hanya wisata, tetapi juga bentuk pemberdayaan. Petani tidak lagi hanya menjual hasil mentah ke pasar, tetapi menjadi bagian dari proses nilai tambah. Mereka menjadi pencerita, pelaku, dan penerima manfaat langsung dari industri pariwisata. Dengan pendekatan seperti ini, kita mengubah relasi ekonomi menjadi relasi sosial. Dari transaksi menjadi kolaborasi.
Langkah selanjutnya adalah pengolahan. Di sinilah peran produsen makanan, pengrajin, dan pelaku UMKM menjadi vital. Mereka adalah jembatan antara bahan mentah dan cita rasa. Bandung dan Garut memiliki banyak pengrajin tahu, tempe, kecap, hingga dodol dan aci yang telah bertahan lintas generasi. Tapi banyak dari mereka bekerja secara tradisional, dengan peralatan seadanya, tanpa dukungan sistem distribusi modern. Mereka bisa menghasilkan produk yang berkualitas, tapi seringkali kesulitan memperluas pasar. Di sinilah diperlukan pendekatan ekosistem: penguatan koperasi, pelatihan packaging dan branding, hingga akses terhadap pasar digital.
Penting untuk melihat UMKM ini bukan sebagai pelengkap wisata, tapi sebagai jantungnya. Wisatawan hari ini tidak hanya mencari makanan yang enak, tetapi juga kisah yang autentik. Mereka ingin tahu siapa yang membuat makanan, bagaimana prosesnya, dan apa yang membuatnya istimewa. Maka membuka dapur produksi, membuat kelas singkat, atau menyusun tur ke rumah produksi bisa menjadi langkah strategis. Garut bisa mencontoh “Dapur Mula” di Bali—yang menjual paket pengalaman masak lengkap kepada turis internasional dengan harga premium. Kenapa tidak membuat “Dapur Sunda” di Leles atau Cibiuk?
Pilar berikutnya adalah penyajian—bagaimana makanan hadir dalam ruang konsumsi. Di sini, peran restoran, warung, dan rumah makan menjadi titik akhir dari perjalanan gastronomi. Tapi mereka juga bukan aktor tunggal. Mereka bergantung pada rantai sebelumnya—ketersediaan bahan, kualitas produk olahan, dan kesinambungan pasokan. Banyak restoran di Bandung mengeluhkan naik-turunnya kualitas bahan baku, sementara petani mengeluhkan harga jual rendah. Ini masalah klasik rantai nilai yang tidak tersambung. Padahal jika difasilitasi dengan sistem distribusi yang adil dan efisien, semua pihak bisa diuntungkan. Inilah yang dimaksud dengan reliable food supply—pasokan yang stabil, lokal, dan bermutu.
Jawa Barat memiliki peluang besar untuk membangun model pasokan pangan lokal berbasis komunitas. Program seperti “Planet Bumbu Nusantara” di Desa Rende bisa dijadikan pilot project. Dengan menanam, meracik, dan menjual bumbu sendiri, desa tersebut tidak hanya menciptakan ketahanan pangan, tetapi juga nilai ekonomi yang berkelanjutan. Program semacam ini bisa diperluas ke desa-desa lain, terutama yang memiliki kekayaan rempah seperti di Tasikmalaya dan Garut. Jika dikelola baik, kita bisa menciptakan sistem mandiri yang tidak bergantung pada pasokan luar.
Poin penting lain dalam ekosistem ini adalah peran teknologi dan keuangan. Digitalisasi bisa menjadi alat untuk menghubungkan semua titik dalam rantai gastronomi. Dari aplikasi pencarian bahan lokal, sistem pemesanan bahan mentah untuk restoran, hingga platform pemesanan tur gastronomi. Sayangnya, banyak pelaku di level desa yang belum memiliki akses atau literasi digital yang cukup. Maka pelatihan digital harus menjadi bagian dari strategi pengembangan gastronomi. Pemerintah, komunitas, dan sektor swasta bisa berkolaborasi membentuk jaringan digital gastronomi Jawa Barat—yang tidak hanya informatif, tetapi juga transaksional.
Lembaga keuangan juga harus dilibatkan dalam ekosistem ini. Gastronomi tidak bisa berkembang jika pelaku utamanya tidak memiliki akses ke modal kerja. Kredit mikro, investasi sosial, hingga pendanaan berbasis komunitas bisa didorong untuk mendukung pelaku kuliner, petani, dan pengrajin. Bank daerah dan koperasi bisa mengembangkan skema pembiayaan khusus untuk ekosistem pariwisata gastronomi. Dan yang lebih penting: semua ini harus mudah diakses, tidak memberatkan, dan disertai pendampingan.

Akhirnya, tidak ada ekosistem yang hidup tanpa keberlanjutan. Sustainable food production adalah prinsip kunci yang harus menjadi landasan. Mengurangi limbah makanan, menghindari bahan aditif berbahaya, memilih kemasan ramah lingkungan, dan menjaga kelestarian sumber daya adalah tindakan nyata yang harus diambil oleh semua aktor dalam ekosistem ini. Di Tasikmalaya, pengolahan sorgum di Jatiwaras adalah contoh baik—tanaman yang lebih ramah iklim daripada beras, diolah menjadi berbagai produk sehat dan bernilai jual tinggi.
Wisatawan kini juga lebih sadar. Mereka tak hanya ingin makan enak, tapi juga bertanggung jawab. Maka narasi keberlanjutan harus dimasukkan dalam setiap aspek pengalaman wisata gastronomi. Misalnya, rumah makan yang menampilkan informasi asal bahan, sistem daur ulang mereka, dan dukungan pada petani lokal. Atau festival kuliner yang melibatkan komunitas pengelola sampah. Ini adalah cara untuk menunjukkan bahwa rasa dan etika bisa berjalan berdampingan.
Melihat semua ini, ekosistem gastronomi Jawa Barat adalah ladang emas yang menunggu untuk digarap serius. Tapi untuk memanennya, kita harus menyambungkan setiap aktor—dari petani ke piring. Kita harus memperlakukan setiap makanan bukan hanya sebagai produk, tapi sebagai hasil kolaborasi. Dan kolaborasi yang baik hanya bisa terjadi jika ada kepercayaan, keterbukaan, dan sistem yang mendukung.
Karena pada akhirnya, semangkuk nasi piritan, segelas kopi Cisurupan, atau sekeping dodol Garut bukanlah sekadar makanan. Mereka adalah hasil kerja keras banyak tangan, banyak generasi. Jika kita ingin wisatawan mencicipi rasa yang utuh, kita harus memastikan semua tangan itu kuat, terhubung, dan sejahtera. Maka gastronomi bukan lagi hanya soal wisata. Ia adalah cara baru membangun daerah—dari desa, dari dapur, dari rasa.

VI. Jejak Digital, Peta Naratif: Bagaimana Menjual Rasa
Di era di mana keputusan wisatawan ditentukan oleh layar ponsel, tidak cukup bagi makanan untuk hanya enak—ia harus bisa diceritakan. Rasa harus bisa divisualkan, tempat harus bisa dipetakan, dan cerita di baliknya harus bisa diklik, dibagikan, dan dibicarakan. Dalam konteks wisata gastronomi, digitalisasi bukan hanya pelengkap, melainkan elemen penting dalam menjual rasa. Jejak rasa kini tidak hanya tinggal di lidah, tetapi juga di feed media sosial, ulasan daring, video pendek, hingga podcast budaya.
Indonesia—dan khususnya Jawa Barat—sudah memiliki bahan baku yang luar biasa: keberagaman makanan khas, komunitas yang hidup, dan lanskap yang memesona. Tapi jika ini semua tidak diangkat melalui narasi digital yang kuat, maka ia akan tenggelam di tengah banjir konten dari negara-negara lain yang lebih dulu menjahit makanannya menjadi cerita. Saat ini, dunia tidak hanya memakan makanan, ia mengonsumsi cerita. Siapa yang paling menarik perhatiannya, dialah yang dimakan (secara metaforis dan ekonomis).
Salah satu tantangan utama adalah bahwa banyak produk kuliner lokal belum memiliki narasi yang rapi. Dodol Garut, seblak, kupat tahu, mie Jaka, sambal cibiuk—semuanya luar biasa dari segi rasa, tetapi seringkali hanya dikenal sebatas “oleh-oleh” atau “kuliner khas daerah” tanpa narasi yang menjelaskan asal-usul, filosofi, atau keunikannya. Padahal di balik setiap makanan, ada potensi cerita yang bisa diangkat. Contohnya, mie Jaka yang dimasak menggunakan arang memiliki potensi narasi tentang ketekunan, teknik masak tradisional, dan keberlanjutan energi. Bayangkan jika kisah ini divisualkan dalam bentuk dokumenter pendek berdurasi 3 menit dan dibagikan di kanal media sosial—dengan visual yang memikat dan naskah yang menyentuh— bukan hanya rasa yang dijual, tetapi identitas dan keunikan.
Narasi kuliner yang baik adalah yang menjawab tiga pertanyaan mendasar: siapa yang membuatnya, bagaimana ia dibuat, dan mengapa ia istimewa. Dan agar narasi ini hidup, dibutuhkan media yang tepat. Misalnya, membuat peta rasa digital yang bukan hanya menunjukkan lokasi restoran, tetapi juga menyematkan video singkat, wawancara dengan pemilik usaha, cerita petani bahan baku, dan rekomendasi wisata di sekitarnya. Ini bukan lagi peta statis, melainkan “peta pengalaman”—tempat di mana wisatawan bisa merencanakan perjalanannya berdasarkan rasa dan cerita.
Platform seperti Indonesia Gastronomy Network sudah menjadi cikal bakal yang baik. Tapi untuk benar-benar berdampak, perlu dibuat lebih interaktif dan visual. Teknologi seperti augmented reality (AR) dapat digunakan untuk membuat tur virtual kuliner. Bayangkan pengunjung bisa mengarahkan ponsel mereka ke peta, dan muncul video 3D proses membuat bandrek, atau animasi sejarah dodol Garut dari zaman kolonial hingga era modern. Ini akan memperkaya pengalaman sebelum wisatawan datang secara fisik—dan memicu keinginan untuk berkunjung.
Selain itu, kehadiran di platform global sangat penting. Belum banyak dokumenter kuliner Indonesia yang tayang di kanal-kanal internasional seperti Netflix, Disney+, atau YouTube Originals. Padahal Chefs’ Table, Street Food Asia, atau Somebody Feed Phil telah membuktikan bahwa makanan bisa menjadi jembatan diplomasi budaya yang sangat efektif. Dalam konteks ini, Jawa Barat punya segalanya: tokoh-tokoh kuliner lokal, komunitas yang aktif, dan produk yang otentik. Tinggal bagaimana menyusunnya menjadi narasi sinematik yang bisa memukau dunia.
Usulan yang muncul dalam rapat pemetaan—membuat film dokumenter gastronomi seperti Chef’s Table versi Indonesia—bukanlah mimpi kosong. Ini adalah langkah strategis yang harus segera direalisasikan. Produksi dokumenter tentang makanan khas Tasikmalaya, seperti nasi piritan dari Saung Panyawah, atau perjalanan rasa dari kopi Cisurupan, bisa membuka mata dunia tentang kedalaman rasa dan nilai yang terkandung dalam kuliner lokal. Tidak semua film harus mahal. Bahkan produksi mandiri dari komunitas, jika dikelola dengan apik, bisa viral dan berdampak luas.
Media sosial, tentu saja, tetap menjadi arena utama. Tapi pendekatannya harus cerdas. Tidak cukup sekadar mengunggah foto makanan. Harus ada cerita, harus ada konteks. Misalnya, akun pariwisata Jawa Barat bisa membuat konten mingguan berjudul Cerita di Balik Rasa, menampilkan satu makanan khas lengkap dengan penjelasan filosofis, wawancara singkat dengan pembuatnya, dan tips menikmatinya. Konten seperti ini, jika dikelola konsisten, bisa membentuk persepsi dan minat jangka panjang.
Di sinilah peran generasi muda sangat penting. Mereka tidak hanya konsumen, tapi juga kreator. Komunitas konten kreator lokal harus dirangkul untuk menjadi juru bicara gastronomi daerahnya sendiri. Berikan mereka pelatihan, akses, dan penghargaan. Biarkan mereka membuat vlog wisata kuliner, TikTok resep lokal, atau review tempat makan tradisional. Dengan pendekatan ini, rasa tidak hanya disimpan oleh generasi tua, tetapi diwariskan lewat media yang dipahami generasi baru.
Digitalisasi juga harus menyentuh level pelaku usaha kecil. Banyak warung, pengrajin makanan, dan petani belum memiliki kehadiran digital. Mereka tidak terdaftar di Google Maps, tidak punya katalog produk daring, apalagi akun media sosial aktif. Maka dibutuhkan program pendampingan digital—pelatihan pembuatan konten sederhana, penggunaan WhatsApp Business, teknik pengambilan foto makanan, hingga strategi pemasaran daring. Dengan begitu, mereka tidak hanya terlibat dalam ekosistem gastronomi, tetapi juga memiliki alat untuk tumbuh dan berkembang.
Tak kalah penting adalah penguatan platform kolaboratif. Bayangkan satu portal daring yang mempertemukan semua aktor: wisatawan, pelaku kuliner, travel operator, komunitas budaya, hingga pemerintah. Portal ini bisa berisi peta rasa interaktif, direktori UMKM kuliner, paket wisata gastronomi, artikel budaya makanan, dan fitur pemesanan langsung. Ia bisa menjadi one-stop platform untuk wisata gastronomi Jawa Barat. Dan di balik layar, data yang terkumpul dari pengunjung bisa digunakan untuk menyusun kebijakan berbasis bukti: daerah mana yang paling menarik, makanan apa yang paling dicari, dan rute mana yang paling sering dijelajahi.
Di atas semua itu, menjual rasa berarti menjual kepercayaan. Wisatawan akan tertarik jika mereka percaya bahwa pengalaman yang ditawarkan autentik, aman, dan bernilai. Maka aspek keamanan pangan, sertifikasi halal, kebersihan tempat makan, hingga keramahan pemandu wisata menjadi bagian penting dari narasi digital. Jangan sampai narasi indah di layar tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Karena itu, koordinasi antar lembaga—dinas pariwisata, kesehatan, kebudayaan, dan ekonomi kreatif—harus dilakukan dengan sistemik.
Penting juga untuk menggunakan istilah yang familier bagi audiens. Seperti disampaikan dalam forum, istilah “kuliner” lebih dikenal daripada “gastronomi” bagi sebagian masyarakat. Maka pendekatan komunikasi harus lentur. Gunakan istilah yang mudah dicerna oleh publik umum, lalu perlahan dikenalkan istilah baru dengan konteks yang jelas. Ini akan memperluas keterlibatan masyarakat dan menghindari eksklusivitas istilah.
Menjual rasa adalah menjual pengalaman. Dan pengalaman hanya akan dikenang jika ia menyentuh lebih dari sekadar lidah. Ia harus menyentuh rasa ingin tahu, emosi, dan ingatan. Digitalisasi dan narasi adalah alat untuk memastikan bahwa setiap rasa tidak hilang di ujung sendok, tetapi terus hidup di layar, di hati, dan di cerita yang dibawa pulang oleh setiap pengunjung.
Maka, saat kita membicarakan strategi wisata gastronomi, jangan lupa bahwa peta tidak lagi hanya kertas. Ia bisa jadi video. Ia bisa jadi ponsel. Ia bisa jadi cerita pendek. Dan setiap titik di dalamnya bukan sekadar restoran atau warung, tapi portal menuju rasa yang lebih dalam. Peta rasa Jawa Barat sedang menunggu untuk dijahit. Bukan oleh tangan pemerintah saja, tapi oleh seluruh masyarakat yang percaya bahwa makanan bisa menjadi jalan pulang, sekaligus jendela menuju dunia.
VII. Pendidikan dan Gastronomi: Dari Sekolah ke Pasar
Jika makanan adalah bahasa, maka pendidikan adalah cara agar kita fasih menuturkannya. Dalam konteks gastronomi, pendidikan bukan hanya soal belajar memasak. Ia adalah proses membangun pemahaman tentang sejarah, nilai, teknik, ekosistem, hingga filosofi di balik setiap rasa. Maka membicarakan pengembangan wisata gastronomi Jawa Barat tanpa memasukkan elemen pendidikan adalah seperti menyajikan nasi liwet tanpa sambal: tidak lengkap.
Salah satu kunci utama agar narasi gastronomi Jawa Barat bisa lestari dan berkembang adalah menjadikannya bagian dari sistem pendidikan formal dan informal. Pendidikan tidak harus selalu di ruang kelas. Ia bisa terjadi di dapur, di pasar, di kebun, bahkan di atas meja makan. Pendidikan gastronomi adalah bentuk literasi budaya—upaya membuat masyarakat tidak hanya tahu apa yang mereka makan, tetapi mengapa makanan itu penting, dari mana asalnya, siapa yang membuatnya, dan apa nilai di baliknya.
Saat ini, sebagian besar anak muda mengenal makanan dari media sosial, YouTube, atau tren TikTok. Mereka tahu bagaimana cara membuat croffle, tahu tentang ramen dari Jepang, atau bubble tea dari Taiwan. Tapi banyak dari mereka belum tentu tahu bagaimana membuat karedok, mengapa kupat tahu berbeda antara Garut dan Padalarang, atau sejarah di balik makanan seperti nasi piritan atau awug. Di sinilah pentingnya memperkuat kurikulum lokal dan narasi kuliner daerah di dalam pendidikan.
Di tingkat sekolah dasar dan menengah, pembelajaran tentang makanan lokal bisa dimasukkan dalam pelajaran IPS, seni budaya, hingga muatan lokal. Siswa tidak hanya diajak untuk mengenal nama makanan khas, tapi juga membuatnya bersama orang tua, menulis cerita tentang makanan favorit di kampung halaman, atau mewawancarai neneknya tentang resep keluarga. Pendekatan ini membangun kesadaran bahwa makanan adalah bagian dari identitas diri. Dalam jangka panjang, hal ini bisa menjadi benteng budaya di tengah arus globalisasi yang seragam.
Di tingkat pendidikan tinggi, sekolah pariwisata, tata boga, dan kuliner harus mulai mengembangkan kurikulum yang berakar pada kearifan lokal. Saat ini, banyak sekolah yang justru lebih fokus pada teknik masak internasional—membuat pasta, croissant, atau steak— daripada memperdalam teknik tradisional lokal seperti membuat dodol, mengolah rempah, atau teknik fermentasi ala masyarakat adat. Padahal, jika ingin menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan pemain di pasar global, kekuatan utama kita justru ada pada warisan lokal itu. Karena itulah yang tak bisa ditiru bangsa lain.
Lembaga seperti Balai Latihan Kerja (BLK), komunitas kreatif, dan organisasi kemasyarakatan juga bisa berperan besar dalam pendidikan non-formal. Di banyak desa wisata di Garut dan Tasikmalaya, sudah mulai muncul inisiatif untuk mengadakan pelatihan pembuatan makanan tradisional. Misalnya, pelatihan membuat opak di Bungbulang, atau pengolahan sorgum menjadi kudapan sehat di Jatiwaras. Inisiatif-inisiatif ini perlu diperkuat dan direplikasi, bahkan bisa dijadikan paket wisata edukatif bagi wisatawan yang ingin belajar langsung dari pembuat makanan tradisional.
Pendidikan juga perlu diarahkan pada pembangunan kesadaran ekosistem makanan. Di Cimenyan, hadir konsep “Gelanggang Olah Rasa”—dapur komunal yang tidak hanya menyajikan makanan, tapi juga membuka ruang untuk belajar bersama. Di hari tertentu, warga memasak pizza dengan bahan lokal, di hari lain membuat makanan berkuah. Kegiatan ini tidak hanya mendekatkan warga pada pangan lokal, tapi juga menjadi ajang diskusi tentang keberlanjutan, keterampilan hidup, dan kebersamaan. Model semacam ini bisa diadopsi oleh banyak desa wisata lain sebagai ruang intergenerasi: tempat anak muda belajar dari para tetua, dan sebaliknya.
Peran pasar sebagai ruang pendidikan juga tidak bisa diremehkan. Pasar tradisional adalah “universitas rasa” yang sesungguhnya. Di sana, anak-anak bisa belajar tentang keberagaman bahan makanan, interaksi sosial, hingga sistem ekonomi kerakyatan. Program seperti “tur edukasi pasar”—di mana siswa diajak mengelilingi pasar, mengenal bahan makanan, dan berbincang dengan pedagang—adalah cara cerdas untuk menghubungkan generasi muda dengan realitas pangan lokal. Bahkan, mereka bisa diberi tugas untuk membuat makanan dari bahan yang dibeli sendiri, kemudian mempresentasikan ceritanya di kelas.
Namun, untuk menjadikan pendidikan sebagai poros penguatan gastronomi, dibutuhkan sinergi yang sistemik. Pemerintah daerah harus mulai menyusun kebijakan pendidikan berbasis budaya kuliner. Dinas pendidikan bisa bekerja sama dengan dinas pariwisata dan kebudayaan untuk menyusun modul pembelajaran gastronomi lokal. Sekolah dan desa wisata bisa bermitra dalam program pertukaran atau studi lapangan. Bahkan, lembaga seperti universitas atau politeknik pariwisata bisa membuka program gastronomy ambassador—mahasiswa yang belajar sekaligus menjadi pemandu edukatif di destinasi wisata makanan.
Kolaborasi dengan sektor swasta juga sangat penting. Banyak restoran, hotel, dan pelaku industri kuliner yang bisa menjadi mitra pendidikan. Mereka bisa membuka program magang bagi siswa SMK tata boga, memberikan pelatihan kewirausahaan, atau menjadi sponsor program edukatif. Contohnya, rumah makan di Garut bisa bekerja sama dengan sekolah lokal untuk membuat program “Satu Bulan Belajar Masak Bersama Mamah”—di mana siswa diajarkan langsung oleh juru masak lokal tentang resep-resep yang tidak ada di buku.
Penting juga untuk menumbuhkan budaya dokumentasi dalam pendidikan kuliner. Banyak resep tradisional yang hilang karena tidak sempat dituliskan. Maka program “catatan rasa keluarga”—di mana setiap siswa menuliskan satu resep keluarga beserta cerita dan konteksnya—bisa menjadi bagian dari pelajaran sastra atau sejarah lokal. Jika dikumpulkan dan dikurasi, bisa menjadi buku masak daerah yang bukan hanya penuh resep, tapi juga penuh makna.
Lebih jauh lagi, pendidikan gastronomi harus berani menyentuh isu-isu kritis seperti ketahanan pangan, keberlanjutan, keadilan sosial dalam rantai makanan, hingga politik pangan. Ini bukan hanya urusan rasa, tapi juga hidup. Mahasiswa pariwisata dan kuliner harus belajar bagaimana harga cabai ditentukan, bagaimana perubahan iklim mempengaruhi panen, atau bagaimana kebijakan impor berdampak pada petani lokal. Pendidikan gastronomi bukan hanya tentang how to cook, tapi juga why it matters.
Pada akhirnya, pendidikan adalah alat transformasi. Ia bisa mengubah anak-anak yang tidak mengenal dodol menjadi penjaga dodol. Ia bisa mengubah pemuda yang hanya tahu makanan Korea menjadi kreator konten nasi piritan. Ia bisa mengubah petani yang terpinggirkan menjadi pendidik yang dihormati. Dan melalui pendidikan, rasa tidak hanya hidup di dapur, tapi juga di kepala dan hati generasi mendatang.
Bayangkan satu hari di masa depan, ketika anak-anak SD di Garut membuat “festival awug” tahunan; ketika SMK Tata Boga di Bandung membuat buku resep berbasis riset lapangan; ketika desa wisata di Tasikmalaya membuka “sekolah rasa” untuk turis internasional. Semua ini bukan mimpi. Semua ini bisa terjadi, jika kita mulai dari hari ini: menjadikan pendidikan sebagai fondasi bagi rasa yang tak diam.
Karena makanan bukan hanya untuk dimakan, tapi juga untuk dipelajari, dipahami, dan diwariskan.
VIII. Gastronomi dan Diplomasi Budaya
Di dunia yang kian terhubung, kekuatan lunak menjadi senjata baru bagi negara dan daerah untuk memperkuat posisinya. Jika dahulu diplomasi dilakukan di meja perundingan, kini diplomasi bisa hadir di meja makan. Makanan, sebagai medium yang paling dasar dan universal, telah menjelma menjadi alat diplomasi budaya yang kuat. Makanan tak hanya memuaskan rasa lapar, tetapi juga membangun simpati, memperkenalkan nilai-nilai, dan menciptakan koneksi emosional lintas bangsa. Inilah yang disebut culinary diplomacy atau gastrodiplomacy.
Bagi Jawa Barat—dan Indonesia secara luas—ini adalah peluang besar yang belum sepenuhnya dimaksimalkan. Kita memiliki ribuan ragam makanan dengan cerita budaya yang dalam. Kita memiliki teknik masak yang unik, bahan baku yang beragam, dan tradisi makan yang penuh makna sosial. Jika semua ini dikemas sebagai narasi diplomasi, makanan bisa menjadi jalan masuk untuk memperkenalkan Indonesia ke panggung dunia dengan cara yang ramah, menyenangkan, dan mengesankan.
Coba bayangkan sebuah jamuan diplomatik di mana nasi liwet disajikan dalam alas daun pisang, lengkap dengan lalapan, sambal terasi, dan sayur asem, disajikan oleh juru masak dari desa wisata di Garut. Atau sebuah pameran budaya di Paris yang menampilkan sesi membuat karedok interaktif, dipandu oleh pemuda dari Cimenyan yang tumbuh dengan tanaman herbal. Ini bukan sekadar makan, ini adalah pengenalan budaya yang hidup—dari rasa, dari cerita, dan dari manusia yang membawanya.
Makanan memiliki kekuatan unik: ia menyentuh indra dan emosi secara bersamaan. Orang mungkin lupa pidato yang disampaikan dalam suatu acara, tapi mereka akan ingat rasa makanan yang mereka cicipi. Di sinilah peran gastronomi sebagai media diplomasi menjadi sangat efektif. Ia tidak menggurui, tidak memaksa, tetapi menyentuh dengan halus. Dan karena itu pula, penting bagi pemerintah dan komunitas untuk menyiapkan makanan sebagai perangkat diplomatik dengan strategi yang cermat.
Dalam konteks ini, restoran diaspora memainkan peran yang sangat strategis. Banyak makanan Indonesia yang dikenal di luar negeri bukan dari promosi pemerintah, tapi dari restoran milik warga Indonesia yang bermigrasi dan membuka usaha di luar negeri. Restoran seperti ini adalah duta tanpa seragam. Mereka memperkenalkan rendang, gado-gado, atau nasi goreng kepada dunia. Maka, sudah saatnya daerah seperti Jawa Barat mendorong lahirnya restoran Sunda di kota-kota global, bukan hanya dengan bantuan modal, tapi juga pendampingan kurasi rasa dan narasi.
Restoran diaspora ini bisa menjadi ujung tombak diplomasi budaya. Bayangkan jika di Tokyo ada restoran bernama “Warung Bandung” yang menyajikan lotek dan tahu gejrot, dilengkapi dengan interior bertema sawah dan foto-foto desa wisata di Lembang. Atau di Amsterdam ada “Cibiuk Café” yang menyajikan sambal khas dan menjual kopi Cisurupan dalam kemasan cerita. Maka, setiap pelanggan yang datang bukan hanya membeli makanan, tapi sedang diberi pengalaman tentang Jawa Barat. Ini adalah diplomasi yang mengenyangkan dan menggugah rasa ingin tahu.
Namun, diplomasi budaya tidak berhenti di restoran. Festival makanan, pekan budaya, hingga kompetisi masak internasional adalah arena penting untuk menunjukkan kekuatan gastronomi lokal. Jawa Barat bisa mengirim delegasi koki muda ke ajang-ajang internasional, membawa serta produk lokal dan kisah di baliknya. Misalnya, lomba membuat hidangan modern dari bahan dasar tradisional seperti opak ketan, sorgum, atau pisang Ranggam. Ini akan menunjukkan bahwa makanan lokal bisa bersaing, beradaptasi, dan tetap mempertahankan identitasnya.
Penting juga untuk menjadikan makanan sebagai bagian dari program pertukaran budaya. Mahasiswa asing yang belajar di Indonesia bisa diberi pengalaman memasak makanan tradisional bersama keluarga lokal. Sebaliknya, mahasiswa Indonesia yang belajar di luar negeri bisa dilatih sebagai duta kuliner, membawa serta pengetahuan tentang makanan lokal dan cara menyajikannya. Program seperti ini akan membangun jejaring budaya yang kuat dan menyebarkan kekayaan kuliner kita dengan cara yang organik.
Diplomasi gastronomi juga bisa hadir dalam ruang digital. Video dokumenter, konten media sosial, buku resep berbahasa asing, hingga podcast budaya bisa menjadi saluran untuk mengenalkan makanan Jawa Barat ke dunia. Konten yang dikemas dengan baik, menggunakan bahasa internasional dan visual yang kuat, akan lebih mudah menyebar dan diingat. Bayangkan jika ada seri YouTube berjudul Taste of West Java, di mana setiap episode memperkenalkan satu makanan, satu desa, dan satu cerita. Seri seperti ini bisa menjadi pengantar yang menyenangkan sekaligus edukatif bagi publik global.
Di balik semua itu, perlu ada dukungan kelembagaan yang solid. Pemerintah daerah, kementerian luar negeri, kementerian pariwisata, dan lembaga kebudayaan harus bekerja sama untuk menjadikan gastronomi sebagai bagian resmi dari strategi diplomasi. Ini bisa dimulai dengan menyusun daftar makanan prioritas untuk dipromosikan ke luar negeri, melatih diplomat tentang makna makanan lokal, hingga menyediakan anggaran khusus untuk misi kuliner. Dengan begitu, makanan tidak hanya berjalan sendiri, tapi menjadi bagian dari orkestrasi besar diplomasi budaya.
Namun, semua ini hanya akan berhasil jika dilakukan dengan pendekatan yang otentik dan empatik. Dunia tidak tertarik pada sesuatu yang terasa dibuat-buat. Mereka tertarik pada cerita yang jujur, makanan yang dibuat dengan hati, dan pengalaman yang menggugah rasa. Maka penting bagi Jawa Barat untuk tidak kehilangan keasliannya dalam upaya mendunia. Biarkan sambal tetap pedas, lalapan tetap mentah, dan nasi tetap dimasak dengan cara lama. Karena di sanalah letak daya tarik kita.
Gastronomi adalah bahasa yang bisa dimengerti oleh siapa pun, tanpa perlu penerjemah. Ia adalah undangan untuk duduk bersama, mencicipi, dan memahami. Maka mari jadikan makanan bukan hanya produk wisata, tapi juga alat untuk membangun jembatan antarbangsa. Dengan satu suapan, kita bisa membuka percakapan. Dengan satu meja makan, kita bisa membangun perdamaian.
Dan siapa tahu? Mungkin masa depan diplomasi Indonesia bukan di ruang rapat, tapi di warung kecil di Garut, di mana dodol disajikan dengan senyum, dan kopi diseduh dengan cerita.
Doddi Ahmad Fauji, serta FGD Pemetaan Potensi Pariwisata Gastronomi Jawa Barat (Garut, Tasik, Bandung) pada 23 Mei 2025 di El Hotel Bandung, dari komponen Media.