Mengenang Masa Lalu: “Diciduk, Setelah Ketemu Sudomo”
“Sekarang sudah banyak penduduk yang mulai makan ubi-ubian seperti ganyong dan ampok,” cerita Boiman, salah seorang penduduk Modangan.
JERNIH– Umardani Kombayana, 55 tahun, dituduh menipu petani dan ditahan. Padahal sebagai penanggung jawab Biro Konsultasi Hukum di Banyuwangi, ia pernah membawa rombongan petani ke Jakarta (1979 dan 1980) mengadu kepada Pangkopkamtib Sudomo dan Wakil Ketua DPR-RI Kartidjo. Tapi pulang dari Jakarta ia diusir dari Banyuwangi atas perintah petugas kabupaten.
Karena diusir, ia menetap di kota kelahirannya, Tulungagung. Tapi tak lama kemudian ia diciduk dan ditahan Laksusda (Pelaksana Khusus Daerah) Ja-Tim. Dua bulan kemudian ia dipindahkan ke Lembaga pemasyarakatan Blitar. Pertengahan bulan lalu ia diadili di Pengadilan Negeri Blitar.
Umardani Kombayana dituduh menggelapkan uang Rp 3 juta lebih. Uang itu berasal dari 630 petani di Desa Modangan dan Karangrejo, Kecamatan Nglegok, Blitar (Jatim). Mereka masing-masing menyerahkan Rp 5.000.
Tapi tak seorang pun diantara mereka yang merasa tertipu. Bahkan mereka beramai-ramai menghadiri sidang sambil tak lupa membawa bungkusan berisi makanan buat Umardani Kombayana.
Uang itu mereka maksudkan sebagai ‘upah’ buat Umardani Kombayana, yang diharapkan dapat mengusahakan agar tanah garapan mereka seluas 240 hektar dapat digarap kembali. Tanah yang mereka kuasai sejak 1946 itu adalah bekas perkebunan Karanganyar dan Karangnongko di kaki Gunung Kelud, peninggalan perusahaan perkebunan Belanda NV Cultuur Mij.
Setelah G30S/PKI meletus dan ditumpas, 1966, Pemda Kabupaten Blitar memutuskan: 240 hektar tanah bekas perkebunan itu dikembalikan kepada pemegang HGU. Tanah di Karangnongko diserahkan kepada PT Dewi Sri dan tanah di Karanganyar diserahkan kepada PT Harta Mulia.
Para petani selanjutnya ditampung di satu areal seluas tujuh hektar, masing-masing mendapat 500 meter persegi, ditambah ganti rugi. Desa Modangan tidak jauh dari areal perkebunan tersebut.
Akibatnya sekarang, hidup mereka pun susah. Tidak sedikit diantaranya yang hidup sebagai pencari rumput atau menjadi buruh tani di perkebunan. Mereka juga sudah jarang makan nasi.
“Sekarang sudah banyak penduduk yang mulai makan ubi-ubian seperti ganyong dan ampok,” cerita Boiman, salah seorang penduduk Modangan.
Pindah Tangan
Celakanya, petani miskin itu juga melihat di tanah seluas 100 hektar yang pernah mereka garap dulu, sudah terpancang papan “Proyek Pertanian Korem”.
Bahkan di sana juga muncul penyewa-penyewa tanah. Menurut seorang tokoh Desa Modangan, tanah itu sudah berkali-kali pindah tangan. Para penyewa umumnya tinggal di luar Kecamatan Nglegok.
Karena itulah, sejak September 1979 para petani lantas menggantungkan harapan kepada Umardani Kombayana, agar mendapatkan izin menggarap kembali bagi para petani.
Umardani Kombayana sendiri, yang ketika itu mendapat kuasa para petani lewat seorang notaris, pada November 1979 membawa delapan petani menemui Pangkopkamtib Sudomo. Dan tahun berikutnya, Mei 1980, menemui wakil ketua DPR-RI Kartidjo. Ketika itu dengan tujuh colt berisi 60 petani. Tapi, di samping kedatangan mereka ke Jakarta tidak membuahkan hasil, orang kepercayaan mereka, Umardani, keburu ditahan.
Jaksa-Jaksa yang Membujuk Petani
Setahun lalu, sementara Umardani ditahan, ada delapan orang jaksa menemui beberapa penduduk Desa Modangan – selama seminggu berturut-turut. Di antara jaksa-jaksa itu ada yang menganjurkan agar penduduk menuntut Umardani. Penduduk jadi heran.
“Biar sampai gepeng saya tidak mau, sebab saya merasa tidak tertipu,” kata Miselan, salah seorang petani, kepada jaksa-jaksa itu seperti dituturkannya kembali kepada TEMPO pekan lalu.
Sebagai penanggung-jawab biro konsultasi hukum, beberapa waktu sebelumnya Umardani Kombayana memang pernah berhasil membela perkara salah seorang penduduk desa Modangan. Karena itulah para petani yang sejak 1966 tidak diizinkan lagi menggarap tanah bekas perkebunan itu mempercayakan nasib mereka kepada Umardani.
Sekarang, sementara menunggu keputusan sidang perkara Umardani, petani masih ingin mendengar keputusan pemerintah mengenai permintaan mereka untuk kembali menggarap tanah bekas perkebunan yang sudah mereka kuasai sejak proklamasi itu. “Kami ingin tahu apakah masih boleh menggarap. Kalau tidak boleh ya sudah,” kata seorang di antaranya.
Adapun nasib Umardani Kombayana, nampaknya agak repot. Sebab pada akhirnya ada juga beberapa petani yang mau menuntutnya di pengadilan. [ ]
Sumber : Majalah TEMPO, 25 April 1981. Hal: 33