Pedati Terpanjang di Dunia Ternyata Berada di Cirebon
CIREBON – Sebagai kota yang berperan besar dalam pembabakan sejarah masa Islam, terutama sebagai kawasan yang menjadi pusat penyebaran Islam di Jawa Barat, maka di Cirebon bertebaran situs-situs sejarah yang memantulkan kebesaran Islam di pulau Jawa.
Dari sekian tempat di Cirebon yang menyimpan berbagai benda sejarah salah satunya adalah di Pekalangan, yaitu tempat tersimpannya pedati Ki Gede Pekalangan yang monumental. Pedati inilah yang disebut-sebut sebagai pedati terpanjang di Indonsia, bahkan mungkin di dunia yang dibikin abad 15 M.
Pedati sebagai alat transportasi tradisional sudah ada sejak lama, seiring dengan kebutuhan manusia. Sumber primer yang menyebutkan pedati sebagai alat transportasi terdapat di Prasarti Panggumulan (902 M) bahwa beberapa cara untuk membawa barang dengan mahawa (melalui sarana jalan) yaitu pinikul (dipikul), magulungan (dengan pedati) dan maparahu (dibawa dengan perahu).
Kondisi wilayah Cirebon memenuhi ketiga aspek tersebut dalam mengembangkan sarana transportasinya, baik menggunakan perahu melalui sungai dan laut, maupun melalui darat dengan menggunakan pedati maupun dipikul.
Keberadaan pedati di Cirebon juga disebutkan dalam naskah Pustaka Rajya-rajya i Bhumi Nusantara yang menceritakan bahwa pada abad 5 M, Prabu Wirabanyu dari Indraprahasta menggunakan pedati untuk membawa logistik bagi pasukan Indraprahasta yang menyerbu ke markas Cakrawarman di Girinata (berada di wilayah Kerajaan Wanagiri).
Cakrawarman yang berniat menggulingkan Maharaja Wisnuwarman penguasa Tarumanagara. Dan Pasukan Indraprahasta berhasil menumpas pemberontakan tersebut. Adanya peran pedati sebagai sarana transportasi di abad 5 M tentu menjadi gambaran bahwa pedati Gede Pekalangan merupakan pengembangan dari pedati sebelumnya yang sudah ada di masa Tarumanagara.
Chaerul Salam dan Elang Yusuf Dendbrata (Ahli kereta keraton) menyepakati bahwa pedati Gede Pekalangan dibuat dari kayu jati pilihan pada masa pangeran Walangsungsang sekitar tahun 1449 M. Pada masa pemerintahan Sunan Gunung Jati tahun 1480, pedati Gede Pekalangan digunakan untuk mengangkut bahan bangunan dalam pembangunan Mesjid Agung Sang Ciptarasa. Pedati Gede Pekalangan juga dipergunakan sebagai media dakwah Islam[ di wilayah pantai utara hingga ke Tegal.
Berdasarkan konservasi yang dilakukan tahun 1993 oleh Herman De Vost (mantan direktur museum kereta-kereta istana di Leiden Belanda) tercatat panjang pedati Gede Pekalangan adalah 15 meter, lebar 2,5 dan tinggi 3 meter. Herman de Vost mengakui bahwa pedati Gede Pekalangan merupakan maha karya asli dari kebudayaan Cirebon.
Roda pedati berjumlah 12 roda (6 pasang). 6 roda berdiameter 2 meter dan 6 roda yang lainnya yang berukuran lebih kecil berdiameter 1,5 meter. Roda pedati dihubungkan oleh semacam as yang terbuat dari kayu bulat berdiameter 15 cm, as ini kemudian dimasukkan ke dalam poros roda yang terbuat dari kayu.
Pedati Ki Gedeng Pekalangan juga dirancang dengan tekhnik bongkar pasang. Sehingga panjangnya bisa diatur sesuai dengan kebutuhan muatannya. Demikian juga rodanya yang berdiameter 2 meter ternyata sambungan lingkaran roda dan jari-jarinya tidak menggunakan paku, tetapi menggunakan sistem pasak.
Dari Buku Pedati Gede yang ditulis oleh Chaerul Salam dkk menyebutkan di atas pedati terdapat mande mangu sebagai tempat sais dan penumpang pedati. Pangeran Cakrabuana sering melakukan syiar Islam dari mande mangu tersebut sehingga kemudian menjadi inspirasi pembuatan mimbar-mimbar khutbah di mesjid-mesjid kuno Cirebon.
Di bagian kanan mande mangu terdapat sekat kayu dengan hiasan burung Hong dan Banaspati sebagai simbol jiwa kepemimpinan yang luwes dan dinamis. Pada tahun 1930 empat roda pedati Gede Pekalangan terbakar dan direnovasi kembali tahun 1995.
Pedati Gede Pekalangan dirancang oleh Pangeran Cakrabuana dengan menugaskan Ki Gedeng Pekalangan untuk membuatnya. Namun sosok Ki Gedeng Pekalangan belum diketahui dengan pasti. Chaerul Salam memperkirakan Pekalangan ini berasal dari kata kalangan yang berati ruangan khusus atau semacam protokoler.
Namun nama Pekalangan berasal dari kata Kalang yang merujuk pada eksistensi orang-orang Kalang yang hidup tersebar di Pulau jawa. History Of Java menyebutkan bahwa orang-orang kalang yang tersebar di Kendal, Kaliwungu Dan Demak. Orang Kalang ini sebelum menetap, mereka hidup nomaden naik pedati yang beroda penuh dengan poros berputar dan ditarik dua pasang sapi atau lebih.
Orang kalang memiliki kemampuan dalam bidang perkayuan. Daendels pernah memberikan hak menebang pohon kepada orang Kalang yang membuat tjekat (cikar) dan Pedatten (Pedati). Girardet dalam katalognya mencantumkan buku berjudul Kawruh Kalang yang isinya tentang ilmu perkayuan,
Prasasti Harinjing A yang bertarikh 804 s/d 943 merupakan prasasti tertua yang menyebutkan tentang Kalang, isinya berupa piagam penciptaan sima yang dipersembahkan kepada orang Kalang atau ketua kalang yang disebut Tuha Kalang. Prasasti tersebut berasal dari periode Mataram Kuna di Jawa Tengah.
Selain Prasasti Harinjing A, beberapa prasasti lainnya seperti Prasasti Kamalagi, Prasasti Salingsingan, Wuatan Tija dll juga menyebut tentang Kalang. Menurut Claude Guillot, di awal abad 19, ketika orang Kalang mulai hidup menetap secara berkelompok, maka tempat itu disebut Pekalangan.
Dengan data-data primer yang didukung sumber ilmiah lainnya maka dapat disimpulkan bahwa Ki Gede Pekalangan adalah orang Kalang atau keturunan Kalang yang menetap di Cirebon bersama kelompoknya di tempat yang kini dikenal Pekalangan.
Pedati Ki Gede Pekalangan tersimpan dalam bangunan yang berada di Jalan Pekalangan, Kelurahan Pekalangan, Kecamatan Pekalipan. Untuk menuju lokasi ini harus melewati Gang Pedati Gede yang sempit dan berliku. Penunjuk adanya situs terpampang di atas gapura pintu masuk Gang Pedati cukup membantu pengunjung yang ingin melihat benda cagar budaya tersebut.
Saat ini yang menjadi juru kluncinya adalah Ibu Taryi, didampingi oleh putrinya yaitu Siti Nurlela sebagai juru pelihara situs. Bu Taryi mendapat kanugrahan sebagai kuncen dari Sultan Maulana Pakuningrat tahun 1995. Menurut Bu Taryi, Pedati Ki Gede Pekalangan ini ditarik oleh seekor kerbau bule yang dipercaya memiliki kekuatan berlipat ganda dibandingkan kerbau biasa, sehingga bisa menarik beban yang berat.
“Pada saat pembangunan Masjid Sang Cipta Rasa, pedati ini digunakan untuk mengangkut kayu dari kali Krian maupun dari pelabuhan ke lokasi pembangunan Masjid yang berada di samping alun-alun Keraton Kasepuhan. Untuk membantu laju pedati maka setiap roda digerakan oleh manusia dengan mendorong jari-jari roda” papar Bu Taryi.
Siti Nurlela yang mendampingi ibunya menunjukan pasu dari tembikar yang cukup besar yang diletakan di bawah pedati bagian belakang. “Nah ini tempat minum kerbau bulenya” ujar Siti, sambil membuka kain putih yang menutupi pasu tersebut.
Tanah wakaf Ki Gede Pedati selain didirikan bangunan untuk pedati dan bangunan Masjid Jami Baetul Karim, juga ditempati Keturunan Ki Gede Pedati yang jumlahnya 10 kepala keluarga dan 25 kepala keluarga lainnya yang tinggal di lingkungan tersebut.
Kekunoan Masjid Jami Baetul Karim masih dapat dilihat dari tiang soko dan pintunya yang masih asli. Melihat kondisi saat ini, Pedati Ki Gede Pekalangan tersimpan dibangunan yang kurang memadai, lebih mirip gudang. sehingga pengunjung yang datang kurang nyaman untuk menikmati “kecanggihan” kontruksi pedati tersebut.