Pemerintah Belum Punya Jurus Jitu Tangani Pekerja Migran Terdampak Pandemi
Dari sekian program bantuan pemerintah bagi warga yang kehilangan pekerjaan, belum ada program bantuan untuk membantu ekonomi TKI yang pulang kampung karena pandemi
Jernih — Sejak pandemi Covid 19 melanda, banyak pekerja migran atau Tenaga Kerja Wanita (TKW) asal Indonesia yang kembali pulang ke kampung halamannya. Diantara para pekerja yang kembali adalah Pembantu Rumah Tangga (PRT) yang bekerja di Singapura.
Salah satunya Arumi Marzudhy yang selama empat tahun menjadi PRT di Singapura, dan sudah tujuh bulan sejak pandemi kembali ke Blitar, Jawa Timur, kampung halamannya.
Awalnya ia berencana untuk memperpanjang masa kerjanya. Namun ketika WHO menyatakan Covid 19 sebagai pandemi, Kementerian Luar Negeri Indonesia mengimbau warga Indonesia untuk segera pulang, sehingga ia pun memutuskan untuk kembali lebih awal dari yang telah direncanakan.
Menurut laporan CNA, sekembalinya ke tanah air, wanita berusia 32 tahun tersebut dihadapkan pada kondisi ekonomi yang krisis. Dimana, pada awal pandemi melanda Indonesia banyak sektor usaha ditutup, termasuk warung kecil yang ia buka bersama suaminya.
Usaha tersebut telah terdaftar sebagai usaha kecil dan menengah (UKM), dan mendapat BLT UMKM sebesar 2,4 juta rupiah dari pemerintah. Namun sebagai mantan TKI yang pulang menganggur, Arumi belum mendapatkan apa-apa dari pemerintah.
Data Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan sekitar 100.000 pekerja migran telah kembali dari luar negeri, sementara sekitar 88.000 lainnya tidak dapat mencari pekerjaan di luar negeri karena COVID-19.
Para pekerja migran berharap pemerintah dapat lebih memperhatikan mereka dan menyalurkan bantuan khusus untuk membantu mereka mengatasi masa-masa sulit.
Mantan PRT lainnya, Henik Andriani, mengalami pengalaman serupa. Dia sebelumnya bekerja di Singapura selama tiga tahun sebelum kontraknya berakhir pada bulan Juni.
Di kampung halamannya Jember, Jawa Timur, wanita berusia 30 tahun itu kini berjualan jajanan untuk membantu suaminya membayar tagihan. Suaminya membuat bata beton untuk mencari nafkah tetapi karena pandemi, ia kini hampir tidak punya pekerjaan.
Henik mengatakan, mencari nafkah di luar negeri maupun di dalam negeri masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Ia mengatakan bahwa secara finansial, bekerja di luar negeri lebih terjamin, karena ia memiliki penghasilan tetap sebesar enam juta rupiah. Tetapi harus siaga 24 jam untuk melayani majikan. Sementara di kampung halamanya, ia bebas bekerja dan beristirahat sesuka hatinya.
Dia menambahkan bahwa dia lebih suka bekerja di Indonesia jika ada pekerjaan yang bagus.
“Jika pemerintah memberikan pekerjaan dengan upah minimum yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, saya akan memilih tinggal di rumah sambil menjaga keluarga saya,” ungkapnya.
Pemerintah Mengumpulkan Data Pekerja Migran yang Kembali
Donny Gahral Adian, seorang ahli senior di Kantor Staf Kepresidenan mengatakan bahwa pemerintah saat ini sedang memvalidasi jumlah pekerja migran yang telah kembali selama pandemi. Pemerintah juga akan melihat bantuan apa yang mereka butuhkan dan siapa di antara mereka yang berhak menerima bantuan.
“Sebenarnya banyak bantuan dari pemerintah. Pertama, tentunya bagi mereka yang kehilangan pekerjaan, ada bantuan sosial. Lalu ada kartu pra kerja, insentifnya sekitar 3,4 juta rupiah, sebagian berupa uang tunai, sebagian lagi berupa pelatihan online.
“Lalu, jika ada yang ingin mencoba dan mendirikan usaha atau UKM, ada bantuan modal dari pemerintah melalui Kementerian Usaha Kecil dan Menengah hingga Rp 2,4 juta. Jadi, jika seseorang ingin mendirikan warung, industri rumahan kecil, ada modal, ”kata Donny.
Namun diakuinya, saat ini belum ada program khusus untuk membantu TKI yang pulang. Donny juga menegaskan, program bantuan sosial pemerintah memprioritaskan mereka yang tidak memiliki pendapatan atau aset apapun daripada mereka yang masih bisa mendapatkan uang.
Eva Trisiana, Direktur Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Asing di Kementerian Tenaga Kerja mengatakan, mereka berusaha mengumpulkan data para pekerja migran yang kembali dan mengidentifikasi mereka yang memenuhi syarat untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah, seperti program kartu pra-kerja.
“Untuk mendaftar program kartu prakerja dibutuhkan data yang kaku. Selama ini pendataan agak sulit. Jadi kita kumpulkan saja apa saja yang memungkinkan.
“Kami sudah serahkan datanya secara offline ke Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian karena program kartu pra kerja ada di bawah kementerian. Tujuan kami adalah agar mereka (mantan pekerja migran) mendapatkan prioritas untuk dipilih sebagai penerima program kartu pra-kerja, “kata Eva.
Bantuan untuk Mantan Pekerja Migran yang Dibutuhkan
Anis Hidayah, kepala pusat studi dan studi migrasi dari lembaga swadaya masyarakat Migrant Care yang berbasis di Jakarta, mengatakan tidak ada kebijakan program khusus pemerintah untuk membantu mantan pekerja migran.
“Ada yang bisa bertahan karena punya usaha kecil. Tidak ada masalah saat bekerja di luar negeri dan bisa punya tabungan, tapi itu hanya sebagian kecil.
“Mayoritas pulang dengan uang terbatas karena sudah mentransfer semua uangnya ke rumah untuk kebutuhan sehari-hari keluarga. Mereka yang tidak punya cukup aset, bagaimana mereka bisa bertahan? Sementara itu, tidak ada pekerjaan baru di Indonesia dan banyak orang kehilangan pekerjaan, ”kata Anis.
Dia mengatakan, belum diketahui berapa banyak mantan pekerja migran yang menerima skema bantuan sosial COVID-19 dari pemerintah sebesar 600.000 rupiah per bulan untuk mereka yang kehilangan pekerjaan selama pandemi.
Anis mengatakan, harus ada program bagi pekerja migran yang kehilangan pekerjaan khususnya saat krisis COVID-19.
Ia mencatat bahwa program kartu pra-kerja juga tidak cocok untuk mantan pekerja migran karena tujuan program ini adalah untuk meningkatkan keterampilan dengan memberikan pelatihan, sedangkan masalah yang ada saat ini adalah akses ke pekerjaan.
“Jadi mereka yang punya peralatan memadai bisa bertahan. Kalau tidak punya, akan menjadi orang miskin baru,” kata Anis.
Aktivis Migrant Care mengatakan, pemerintah tidak mengkategorikan pekerja migran yang kembali sebagai orang miskin karena mereka tergolong orang yang berpenghasilan layak.
Erwiana Sulistyaningsih, seorang aktivis dan mantan buruh migran yang pernah bekerja di Hong Kong pada 2013, dan menarik perhatian Internasional karena kasus penganiayaan yang dilakukan majikannya terhadap dirinya, sependapat bahwa tidak semua pekerja migran yang kembali ke Indonesia bisa sukses.
Erwiana yang kini bekerja untuk Kabar Bumi, LSM yang terdiri dari mantan pekerja migran dengan program kerja melakukan pekerjaan sosial dan mengadvokasi hak-hak pekerja migran, mengatakan kunci untuk dapat bertahan hidup di Indonesia adalah bekerja secara kolektif dengan mantan pekerja migran lainnya.
Dia menyebutkan sebagai contoh, daripada mendirikan bisnis kecil yang mirip dengan banyak orang lain dan dengan demikian bersaing satu sama lain, mereka dapat bekerja sama untuk mendirikan bisnis yang lebih besar dan saling mendukung.
Sementara itu, mantan buruh migran Arumi masih berharap hari-hari yang lebih baik terbentang di depan, terutama dengan putra pertamanya yang akan lahir pada Desember mendatang.
“Saya berharap pemerintah memperhatikan mantan buruh migran. Kami bukan penerima dana pensiun dan juga bukan penerima bantuan sosial.
“Kami tidak mempermasalahkan perjuangan tersebut tetapi kami berharap pemerintah juga mendukung kami, seperti dengan memberikan kelas kewirausahaan bagi mantan pekerja migran dan juga membantu mendistribusikan produk kami.”