POTPOURRIVeritas

Perjalanan Sebuah Kain [1]

Kami menyebutnya Batik Warna Alam Wastratama. Prosesnya memang tampak berliku. Jakarta, Pekalongan, dan Ambarawa menjadi panggung. Sekilas terkesan tak efisien—jarak berjauhan, biaya membengkak, risiko rusak di jalan. Di Jakarta, para desainer mode, grafis, anak-anak SMK Tata Busana, hingga pekerja paruh waktu duduk bersama meracik motif. Di Pekalongan, para pengrajin menorehkan malam dengan telaten. Lalu, di Ambarawa, kain disempurnakan lewat pewarnaan dan pelorodan. Sebuah rantai kerja yang tampak berjarak, tapi justru menyatu dalam harmoni.

Oleh     :  Ernisusi Yana*

JERNIH–Ini kisah tentang selembar kain. Bukan kain biasa, melainkan sehelai yang lahir dari perjalanan panjang, melewati tiga kota, ditangani tiga kelompok, dengan satu impian: membangun industri ramah lingkungan yang sarat nilai budaya.

Kami menyebutnya Batik Warna Alam Wastratama. Prosesnya memang tampak berliku. Jakarta, Pekalongan, dan Ambarawa menjadi panggung. Sekilas terkesan tak efisien—jarak berjauhan, biaya membengkak, risiko rusak di jalan. Tapi di balik itu tersimpan inti cerita: potret sinergi yang mempertemukan moda kreatif, kearifan tradisi, dan cinta lingkungan.

Di Jakarta, tahap awal digarap. Para desainer mode, grafis, anak-anak SMK Tata Busana, hingga pekerja paruh waktu duduk bersama meracik motif. Di Pekalongan, para pengrajin menorehkan malam dengan telaten. Lalu, di Ambarawa, kain disempurnakan lewat pewarnaan dan pelorodan. Sebuah rantai kerja yang tampak berjarak, tapi justru menyatu dalam harmoni.

Untuk menopang cita-cita itu, saya bersama kawan-kawan mendirikan Yayasan Wastratama Indonesia Nirwana. Fokus kami: mengangkat citra kain dan batik ekologi Nusantara. Pendiri lainnya antara lain Bunda Navitri Ciptotomo, Suwito Laros—fasilitator pemberdayaan masyarakat di Kementerian Kehutanan—dan Ikhwan Mansyur Situmeang, analis media di DPD RI. Kami merancang konsep sinergi: menghubungkan pertanian pewarna alam dengan geliat UMKM batik dan tenun, agar tercipta keseimbangan pasar produk ramah lingkungan.

Motif Nusantara, Jejak Awal Anak Muda

Kain batik berangkat dari imajinasi. Dari kearifan lokal yang diterjemahkan ke motif, lalu bertransformasi menjadi busana dan simbol budaya.

Di sebuah rumah sederhana di Gandaria Selatan, Jakarta, berdiri Workshop Wastratama. Dua anak muda tekun menjiplak motif di atas kain katun dobi. Sebulan ini, mereka menuntaskan 20 lembar kain, penuh dengan motif tradisi. Satu rekan lainnya sibuk menyalin desain di komputer sebelum diserahkan untuk tahap produksi.

Motif-motif itu saya rancang dengan menimba inspirasi dari berbagai daerah: rusa di hutan Bogor, ukiran dan perahu Biak, hingga lekukan api biru Kawah Ijen. Lengkap dengan ranting-ranting pohon yang kering seperti guratan petir di langit biru kawah. Ada pula sungai, awan, dan burung—simbol keperkasaan sekaligus keindahan fauna Nusantara.

Praproduksi di workshop ini tak sekadar menghemat waktu. Ia dirancang sebagai ruang belajar. Anak-anak muda diajak mengasah keterampilan menggambar grafis maupun manual, mengimprovisasi motif dari sumber daya alam, lalu mengolahnya menjadi batik kontemporer tanpa kehilangan akar tradisi.

Karena keterbatasan ruang, proses membatik dilanjutkan di Pekalongan. Kota ini sejak lama menjadi simpul perdagangan dan pertemuan budaya. Batiknya dipengaruhi Tionghoa, Arab, Belanda, hingga Jepang. Maka tak heran, pengrajin di sini lebih luwes menerima motif baru. Tangan-tangan sabar mereka menorehkan canting dengan detail yang rapi. UNESCO bahkan menjuluki Pekalongan sebagai World’s City of Batik.

Tahap berikutnya: pewarnaan. Dari Pekalongan, perjalanan berlanjut ke sebuah desa di Jlamprang Wetan, Ambarawa. Di sinilah sentra pewarna alam berdiri, diapit ladang-ladang indigo.

Batik Warna Alam, Persilangan Pertanian dan Mode

Daun-daun hijau Indigo Strobilanthes tumbuh subur di halaman rumah warga, teduh di bawah pepohonan. Di sini, alam dan ekonomi berpadu.

Ada dua jenis tanaman penghasil warna biru: Indigofera Tinctoria dan Indigo Strobilanthes Cusia. Sama-sama memberi biru, tapi dengan karakter berbeda. Indigofera kuat di dataran rendah, sementara Strobilanthes hanya tumbuh di dataran tinggi yang lembap.

Untuk menjaga kualitas warna, Yayasan Wastratama menggandeng Saipul Nuruddin, generasi ketiga keluarga indigo. Sejak kakeknya, keluarga ini mengolah daun jadi pasta indigo. Kini Saipul membangun instalasi modern: kolam rendam daun, pompa aerasi, hingga kilang pengendapan. Dua puluh pekerja membantunya, mencelup kain berulang kali. Dari hijau pekat, kain berubah menjadi biru tua ketika tersentuh matahari. Warna itu bukan sekadar pigmen, melainkan jejak kesabaran, warisan turun-temurun.

Pasar batik warna alam tak mudah. Label “eksklusif dan mahal” masih melekat. Tapi kami percaya, nilai lebihnya ada pada filosofi: ramah lingkungan, bernilai budaya, dan membawa pesan keberlanjutan. Tak heran jika selembar kain ini tengah bersiap terbang ke New York untuk dipamerkan ke dunia.

Batik warna alam bukan semata kain. Ia adalah perjalanan spiritual: menyatu dengan alam, mendengar ritme bumi, dan belajar menjaga keseimbangan.

Kata “alam” sendiri memberi resonansi. Orang yang mendengarnya langsung teringat pada kehidupan, kesehatan, dan kesahajaan. Namun ketika bicara harga, sebagian optimis, lebih banyak yang terhenti di satu kesimpulan: kain ini mahal dan langka.

Karena itu, tantangan berikutnya adalah pasar. Inovasi produk harus diikuti inovasi marketing. Yayasan Wastratama mendorong sinergi empat kelompok: desainer grafis untuk motif, pengrajin batik warna alam untuk produksi, artis dan tokoh masyarakat untuk promosi, serta perancang busana untuk distribusi. Sinergi bukan sekadar bisnis, tapi ekosistem jangka panjang yang menumbuhkan ekonomi sekaligus menjaga lingkungan.

Itulah sebabnya, pendekatan ke berbagai instansi lintas bidang mutlak dilakukan. Warna alam perlu diperkenalkan di sekolah, kampus, komunitas kreatif. Ukuran keberhasilan bukan banyaknya pameran, melainkan bertambahnya petani pewarna alam, teknologi tepat guna untuk pasta indigo, dan makin luasnya pasar batik warna alam.

Batik warna alam bukan sekadar mode, melainkan narasi budaya sekaligus manifestasi cinta bumi. Ia membangun karakter bangsa: dari tangan pengrajin, imajinasi desainer, hingga kesadaran kolektif bahwa kain pun bisa mengajarkan kita cara merawat semesta. [ ]

*Fashion Designer dan Ketua Yayasan Wastratama Indonesia Nirwana

Back to top button