Pinjaman Bestari Supardi Lee
Saat menjadi murid SMA 4—berlokasi di depan lokalisasi pelacuran Saritem—Supardi lolos sebagai mahasiswa baru IPB tanpa harus ikut ujian karena diterima PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan). “Dari satu sekolah hanya empat orang yang diterima termasuk saya,” katanya. “Tapi untuk membayar uang pendaftaran yang Rp 36 ribu saat itu saya tidak bisa karena begitu miskinnya keluarga kami saat itu. Beberapa tahun sebelumnya ibu bercerai dengan ayah tiri saya, dan menopang kehidupan kami dengan berjualan gado-gado di depan rumah.
Oleh : Akmal Nasery Basral
JERNIH—Salah seorang pembaca setia tulisan SKEMA [Sketsa Ramadhan] ini adalah Meuthia Ganie Rochman, Ph.D. Selain selalu meneruskan (forward) setiap posting saya ke lingkar jejaringnya, doktor sosiologi alumni Radboud University Nijmegen, Belanda, ini juga mengirimkan tanggapan balik yang selalu suportif.
Salah satunya seperti ini. “Terima kasih Uda Akmal. Anda menjadi penyampai yang teliti dan baik tentang virtues yang dilakukan orang,”tulis ahli sosiologi pembangunan dan sosiologi korupsi, pengarang buku “Islam, Jawara dan Demokrasi: Geliat Politik Banten Pasca-Orde Baru” (2010) itu.
Virtue adalah kebajikan. Saya meyakini virtue sebagai sikap dasar yang melekat pada diri setiap insan, hanya berbeda dalam derajat pengungkapan dan tindakan. Filsuf Yunani Kuno Aristoteles menengarai kebajikan bisa tumbuh berdasarkan praktik dan kebiasaan sehari-hari dari benih etika yang baik yang disebut virtue ethics. Salah seorang penyemai etika kebajikan itu adalah Supardi Lee, penulis buku “Sistem Ekonomi Sedekah” dan direktur Baitul Mal Bestari, yang mendesain program microfinance bagi wong cilik.
“Penerima manfaat Bestari sudah 230-an orang. Salah seorang yang terbaru adalah driver ojol (ojek online) yang kami bantu membeli motor seharga Rp 16 juta dengan qardhul hasan, pinjaman tanpa riba,”katanya. Itu berarti si tukang ojek akan mengembalikan pinjaman sesuai jumlah yang dia terima tanpa ada tambahan biaya seperti lazimnya pinjaman dari lembaga keuangan konvensional. Ini sesuai dengan nama Bestari yang merupakan singkatan dari ‘Berkah Sejahtera Tanpa Riba’ selain memiliki arti ‘cerdas’ yang sudah diketahui luas (seperti pada frasa ‘bijak bestari’).
Saya mengenal Supardi–lelaki berdarah Tionghoa berusia 46 tahun–pertama kali di tahun 2015. Saat itu mantan pemimpin umum LKBN Antara, Dr. A. Mukhlis Yusuf, mengundang saya untuk berbagi kiat penulisan di sebuah cafe di Bogor. Supardi hadir sebagai peserta dan aktif dalam diskusi dan memperkenalkan diri sebagai trainer. Di akhir acara dia menghadiahkan bukunya, “Wisdom for Beginners: 35 Rambu Penyelamat Bisnis Pertama Anda” (2015). “Ini buku penulis amatir, semoga bermanfaat,” katanya sopan. Itu kejadian tujuh tahun lalu.
Kami bertemu lagi dua tahun kemudian di Lucy Coffee—kafe milik istrinya—di Jl. Radar Auri, Cimanggis. Saat itu alumnus IPB angkatan 32 (1995) Jurusan Teknik Industri Pertanian tersebut punya program belajar mengaji dan sharing bisnis setiap Rabu, 9-12 WIB, yang terbuka untuk umum. Satu jam pertama diisi dengan belajar tahsin yang dipandu seorang ustaz, setelah itu pertukaran informasi bisnis yang dipimpin Supardi. Saya diundang sebagai pendengar, menyimak obrolan 40-an hadirin yang antusias. Mayoritas pengusaha UMKM dengan aneka komoditas.
“Awalnya program ini hanya untuk memperbaiki bacaan Al Qur’an saya yang masih perlu disempurnakan. Acara di rumah dipimpin seorang ustaz yang fasih. Beberapa teman saya mendengar kegiatan ini lalu minta ikut. Karena peserta semakin banyak, saya pindahkan ke kafe karena kalau pagi biasanya kafe juga kosong. Itu latar belakangnya,” ujarnya.
Setelah itu kami berkomunikasi lebih sering lewat jalur maya. Di masa pandemi, saya dengar Supardi aktif menggerakkan baitul mal dan beternak lele di bawah bendera Lucy Farm. Awal Februari, saya melihat akun IG@supardi_lee yang mendokumentasikan kesibukannya di Lombok, NTB, melakukan pelatihan vokasional usaha mikro bagi penyandang disabilitas.
Di salah satu foto, Supardi berpose dengan seorang perempuan paruh baya yang (terlihat) tuna netra. Statusnya bertuliskan: “Alhamdulillah, bertemu Bu Fitri. Penyandang disabilitas yang menjadi ketua koperasi syariah SAMARA, Lombok Barat, NTB. Koperasi ini anggotanya sebagian besar penyandang disabilitas juga. Salah satu produknya peci yang saya gunakan.”
Terinspirasi oleh virtue ethics dan semangat Supardi yang energetik, kemarin sore (Jum’at,15/4) saya sambangi rumahnya di lahan seluas 2.000 meter persegi di tengah pemukiman padat warga di kawasan Mekarsari, Cimanggis, Depok. Dia menyambut dengan gestur yang membuat saya jengah karena bergegas mengambil tangan kanan saya dan mencium cepat seperti kebiasaan santri kepada kiai di pondok pesantren. “Kehormatan besar bagi saya dikunjungi Uda Akmal,” ujarnya dengan kerendahan hati yang hangat.
Di halaman depan terhampar 20 kolam lele Sangkuriang yang sesekali berkecipak riang. “Sejak pandemi jumlah kolam dikurangi. Tadinya sempat 50 kolam,” ujarnya saat memberikan tur singkat. “Saya mulai beternak lele tahun 2009 dengan modal Rp 30 juta. Tiga bulan kemudian panen pertama cuma dapat Rp 750 ribu. Untuk bayar karyawan saja nggak cukup. Syok juga. Saya minta bantuan pakar lele Abah Nasrudin untuk mengevaluasi. Dari masukan beliau saya sempurnakan sistem, alhamdulillah panen kedua dapat Rp 6-7 juta dan panen seterusnya naik lagi sehingga dalam setahun bisa BEP.”
Namanya usaha tidak selalu untung, kadang buntung. Supardi pernah juga rugi besar ketika tiga ribu ekor lele mati bersamaan. “Rupanya ada pembantu saya suka buang nasi sisa makanan ke dalam kolam. Dia pikir nasi itu baik buat lele. Dia tidak tahu bahwa lele itu karnivora, tidak suka karbohidrat. Mereka pemakan protein. Itupun harus cacing sutera nggak bisa cacing tanah biasa. Jadi ketika nasi dibuang ke kolam, lele memang menyambar berdasarkan insting. Ada sedikit yang mereka makan, sebagian besar nasi mereka lepeh dan bertumpuk di dasar kolam.
Di seberang lokasi kolam lele, terbentang rumah pribadi Supardi yang baru selesai direnovasi tahun lalu. Besar, kokoh, megah. Dia mengajak saya menuju sebuah gazebo dengan sofa yang beberapa bagian masih dibungkus plastik. Di depan gazebo terhampar kolam renang desain modern ala sanggraloka (resort). Di antara gazebo dan kolam renang berdiri sebuah booth gaya container cafe.
“Ini akan difungsikan sebagai coffee shop,” katanya sebelum kami duduk di salah satu sofa dan melanjutkan pembicaraan. “In syaa Allah sesudah lebaran beroperasi.”
Pembicaraan kami berlanjut di gazebo dalam dekapan rembang petang dan angin senja yang bertiup semilir. “Saya lahir sebagai bungsu dua bersaudara di keluarga Konghucu,” katanya. “Kami tinggal di Jalan Pagarsih, Bandung, sekitar satu kilometer dari Alun-alun pusat kota. Ayah saya punya pabrik benang kasur yang bisa memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga dengan baik.”
Namun interaksi Supardi dengan sang ayah tak lama, hanya sekitar lima tahun, sebelum sang ayah sakit parah dan wafat. Ibunya menikah lagi dengan pria Muslim. “Melalui ayah tiri itu akhirnya ibu, kakak, dan saya, menjadi Muslim.”
Saat menjadi murid SMA 4—berlokasi di depan lokalisasi pelacuran Saritem—Supardi lolos sebagai mahasiswa baru IPB tanpa harus ikut ujian karena diterima PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan). “Dari satu sekolah hanya empat orang yang diterima termasuk saya,” katanya. “Tapi untuk membayar uang pendaftaran yang Rp 36 ribu saat itu saya tidak bisa karena begitu miskinnya keluarga kami saat itu. Beberapa tahun sebelumnya ibu bercerai dengan ayah tiri saya, dan menopang kehidupan kami dengan berjualan gado-gado di depan rumah. Untuk bisa daftar kuliah, ibu saya pinjam uang ke tetangga samping rumah. Namanya Ibu Enin. Dia baik sekali selalu bantu kebutuhan keluarga kami.”
Fase pindah ke Bogor itu menjadi titik balik kehidupan Supardi. “Kalau tidak diterima PMDK berarti saya tetap di Bandung. Itu artinya nggak bisa kuliah karena kondisi kami saat itu miskin sekali. Saya tidak tega meminta uang untuk kuliah kepada ibu. Tetapi dengan diterima di (IPB) Bogor, saya malah dibantu tante untuk kebutuhan hidup bulanan sebagai mahasiswa.”
Semester pertama langsung menjadi pembuktian Supardi dengan meraih IP 3,6. Cum laude. Dia ikut HMI, belakangan menjadi ketua Komisariat Fakultas. “Saya aktivis 98 juga. Sering berdemo di depan Istana Bogor. Kadang-kadang ke Jakarta bergabung dengan kampus lain, termasuk di depan Gedung DPR/MPR,” ujarnya.
Jiwa kewirausahaannya mulai terasah setelah mendapatkan pembiayaan dari Bank Bukopin sebesar Rp 19,4 juta untuk bisnis ikan mas di Leuwiliang yang melibatkan kolam milik warga. Di tahun 1999, dia mengikuti program AMT (Achivement Motivation Training ) yang dibawakan Farid Poniman, kakak kelasnya di IPB beda 12 angkatan. “Saya terpukau melihat sosok Pak Farid yang strong, artikulatif, wawasan luas. Saya punya keinginan untuk menjadi trainer dan motivator sehebat Pak Farid.”
Farid Poniman juga menjalankan Islamic Center di Bogor dengan salah satu program Training Da’i. “Saya daftar dan diterima. Ini pekerjaan pertama saya setelah lulus kuliah. Buat saya honor sebesar Rp 200 ribu yang dibayarkan per tiga bulan, tidak membuat minat saya surut. Saya malah sangat bersemangat karena banyak sekali yang bisa saya pelajari dan nikmati sebagai fresh graduate.”
Supardi punya ide membuka Quantum Class dengan mengekstrak dua buku populer ketika itu yakni “Quantum Learning” (Bobby dePorter) dan “The 7th Habits of Highly Effective People” (Stephen Covey) sebagai materi bagi siswa SMA dan mahasiswa tingkat 1-2. Idenya didukung sang mentor Farid Poniman.
“Salah seorang peserta bernama Lucy Nurul Komalasari, mahasiswi IPB jurusan Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian. Yunior tiga angkatan lebih muda. Saya suka dia, alhamdulillah dia suka saya,” kenang Supardi tertawa.
Namun perjalanan cinta mereka tak semulus dibayangkan. Orang tua Lucy yang asli Menes, Banten, keberatan. “Mereka tidak setuju hubungan kami karena saya Cina. Lucy bahkan sempat dipanggil pulang orang tuanya balik ke Menes, tidak boleh di Bogor,” kata Supardi.
Tantangan itu bukan membuatnya menyerah justru semakin bersemangat. Dikejarnya cinta sampai ke Menes. “Di sana saya bertemu Bunda Eneng Nurcahyati yang luar biasa. Beliau yang memperjuangkan saya dan Lucy di mata mertua saya sehingga akhirnya kami bisa menikah. Saya dan Lucy berutang budi besar sekali kepada beliau.”
Mereka menikah pada 2003 dan tinggal di Menes sampai dua tahun berikutnya. Di tahun 2005, Supardi melihat iklan Dompet Dhuafa Republika membuka kesempatan untuk menjalankan Institut Kemandirian. “Dari sekitar 100 proposal yang diterima DD, lolos sekitar 10 proposal termasuk dari saya. Dewan juri adalah Pak Erie Sudewo, Ibu Dewi Motik, dll juri,” ujar Supardi. “Saya pindah ke Jakarta, kerja Senin-Jumat. Balik ke Menes akhir pekan.”
Dari pernikahan itu mereka memiliki tiga anak lelaki: Muhammad Afzal (lahir 2004), Ahmad Arvan (lahir 2006) dan Muhammad Azhar (lahir 2009). Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, Supardi dan Lucy punya bisnis pribadi–selain ternak lele dan kafe–adalah sebagai distributor komputer sebuah brand terkenal untuk pasar daerah, toko komputer online, dan bisnis peralatan dan instalasi listrik dari orang tua Lucy.
“Rumah yang kami tempati ini pun awalnya gudang bisnis ayah mertua. Sejak kami tinggal di sini 2008 secara perlahan berkembang. Tetangga yang menjual tanahnya kami beli. Untuk perluasan lahan termasuk penambahan kolam lele sampai bentuknya yang sekarang.”
Keterlibatan di Institut Kemandirian Dompet Dhuafa melempangkan jalan bagi Supardi untuk mendalami dunia social enterpreneur dan filantropis Islami sampai membangun Baitul Mal Bestari di tahun 2017 yang dimulai dari pengajian di Lucy Coffee. Saat ini BM Bestari menjalin kerja sama dengan empat komunitas dan empat masjid yang tersebar di Bekasi, Bogor dan Tangerang Selatan.
“Saya ingin terus mengembangkan untuk kemaslahatan umat dan bersedia bekerja sama dengan pihak-pihak amanah,” katanya menutup pembicaraan karena azan maghrib berkumandang manis di langit Cimanggis.
Usai buka puasa di gazebo dan salat maghrib berjamaah, saya mohon izin pamit. Supardi mengantar saya ke pintu pagar. Melihat di depan pagar tak ada kendaraan, Supardi bertanya saya pulang dengan apa? “Dengan online,” jawab saya. “Gampang.”
“O, jangan. Masa guru saya pulang sendirian. Harus saya antar. Tunggu sebentar,” katanya seraya melesat kembali ke rumah untuk mengambil kunci mobil.
Saat Pajero Sport hitam kekar yang dikemudikannya berhenti di depan rumah saya di Cibubur, saya tertegun dalam bauran rasa bangga dan bersyukur. Sebab Supardi Lee, pria berdarah Tionghoa yang lahir di keluarga Konghucu, kini menjadi salah seorang aset umat yang penuh semangat dengan kerja terukur.
Benih-benih kebajikan yang ditebar dan disebar Supardi menunjukkan virtue ethics dalam salah satu bentuk paling otentik. [ ]
*Sosiolog, penulis 24 buku. Penerima penghargaan National Writer’s Award 2021 dari Perkumpulan Penulis Nasional Satupena.
—-
Pembaca yang ingin bekerja sama dengan BM Bestari, hubungi Supardi Lee di: 0813-8019-5454. Kontak WA lebih dulu sebelum menelpon.