Poortman, Persona Misterius di Ambang Fiktif dan Nyata
JAKARTA— Ada nama yang seringkali dikaitkan dengan Kelenteng Talang, disebut-sebut sebagai pejabat colonial yang menyita banyak dokumen dari sana.
Sebagian sejarahwan meyakini bahwa Poortman adalah tokoh yang tidak pernah ada. KH.Agus Sunyoto, sejarawan dan tokoh NU sempat melacak naskah-naskah kronik Sam Po Kong sampai Leiden, The Hague dan bertanya kepada De Graaf. Hasilnya nihil. Termasuk nama Poortman tidak ditemukan.
Dalam penelusurannya Agus datang ke Arsip Nasional untuk mencari nama Poortman dalam almanak van Netherlandsch 1810 sampai 1942. Almanak tersebut diterbitkan tiap tahun yang menceritakan resident-resident di berbagai daerah. Ternyata tidak ditemukan residen bernama Poortman.
“Bohong, naskahnya enggak ada, Poortman juga tidak pernah ada. Tujuannya untuk menghancurkan Islam, menjelek-jelekan Wali Songo,” kata Agus sebagaimana ditulis Nuonline. Demikian pula HAMKA dalam bukunya, ‘ Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao’ (1974)—diterbitkan kembali penerbit Republika dua tahun lalu, meragukan identitas Poortman.
Pernyataan Agus tersebut disanggah Via Dicky, peneliti sejarah dari Jambi dan kini tinggal di Padang. Menurut Via, nama Poortman atau C. Poortman bukan fiktif tapi benar-benar ada. Via menyebutkan bahwa dalam beberapa laporan dan arsip KITLV nama C. Poortman banyak disebut menulis laporan atau surat kepada Gubernur Batavia maupun Ratu, saat ia bertugas di Jambi, Sumatera Utara ataupun Semarang.
Dalam ‘Catatan Akhir Tahun’-nya, Via Dicky menuliskan kontroversi tentang Poortman muncul saat Poortman memimpin penggeledahan Kelenteng Sam Po Kong di Semarang dan mengangkut naskah berbahasa Tionghoa yang terdapat di sana. Saat itu sebagian telah berusia 400 tahun dan memerlukan sampai tiga cikar (pedati yang ditarik lembu). Hal itu dilakukannya pada 1928, saat mengemban tugas dari Pemerintah Kolonial Belanda untuk menyelidiki apakah Raden Patah itu orang Tionghoa atau bukan.
Walaupun tokoh tersebut belum benar-benar dapat dibuktikan keberadaannya, atau sebaliknya apakah nama yang tercatat itu sebenarnya nama orang lain, tetapi nama Poortman memegang posisi jabatan yang sama pada saat itu. Mangaraja Onggang Parlindungan banyak mengutip pernyataan C. Poortman dalam bukunya, ‘Tuanku Rao’, yang kemudian juga kerap disitir Slamet Muljana dalam bukunya, ‘Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara’, serta berbagai analisis lain.
Ricklefs menyatakan, usaha-usaha pencarian oleh para sarjana Belanda untuk mengidentifikasi Poortman tidak menghasilkan apa-apa. Seharusnya Poortman adalah seorang yang cukup tinggi jabatannya, apalagi mengingat adanya klaim yang menyatakan bahwa ia adalah murid Snouck Hurgronje dan guru dari van Leur. Disebut-sebut para sejarahwan sekelas Ricklefs, Pigeaud, De Graff hingga Russel Jones meragukan keberadaan Portmaan.
Keberadaan Poortman dan cerita yang disampaikannya kepada Parlindungan masih merupakan hal yang spekulatif, dan sangat mungkin imaginatif. Dalam kasus lain tercatat bahwa Poortman merupakan orang yang berperan dalam perjalanan Arsip Bakkara, yang merupakan file-file pemerintahan Raja Sisingamangaraja XI. Arsip ini berpindah-pindah tangan, dari koleksi Joustra hingga akhirnya jatuh ke tangan Poortman di Voorburg, Belanda.
Untuk menjawab kontroversi soal keberadaannya yang misterius, Via Dicky sempat membeberkan Poortman. C. Poortman (meninggal 1951) adalah seorang pejabat pemerintah kolonial Belanda di wilayah Hindia Belanda. Poortman belajar Indology di Delft and kemudian ditunjuk sebagai Administrative Cadet di Netherland Indies dan ditempatkan di Tapaktuan, Sumatera Utara.
Pada 1904 ia ditunjuk menjadi Controleur di Sipirok, lalu Regeeringsalmanak voor Nederlandsch-Indië 1823-1942 (Batavia : Landsdrukkerij, 1823-1942) mencatat C. Poortman adalah Resident Jambi ke-7, yang mulai bertugas 7 Maret 1923 hingga 1 April 1925.
C. Poortman kemudian menjadi acting adviser pada Departemen Native Affairs di Batavia. Tahun 1914-1918 Poortman belajar bahasa Tionghoa dan pada 1928 berhasil mendapatkan akses ke dokumen-dokumen berbahasa Tionghoa di Kelenteng Sam Po Kong, Semarang. Tahun 1930 ia pensiun.
Dalam kurun waktu 1930-1940 ia menjalankan risetnya di Belanda, khususnya dalam bidang sejarah Batak, dan memiliki dokumen-dokumen di Amsterdam yang dibawanya pulang ke rumah di Voorburg. Tahun 1951 ia meninggal di Belanda.
“Laporan mengenai wilayah tugasnya tercantum pada arsip Leiden, bersama-sama pegawai Belanda lainnya seperti Haga, Faubel, atau Helfrich. Sepatutnya kita apresiasi tulisan MOP (Mangaraja Onggang Parlindungan) tentang kedekatan ayahnya dengan C Poortman. Sebab C. Poortman itu bukan tokoh fiktif, namun wujud adanya,” kata Via memaparkan.
Via menyatakan bahwa ‘Tuanku Rao’ memang sangat kontroversial. Banyak kisah yang dituliskannya bertentangan dengan kemauan sejarah yang hendak disampaikan kepada generasi muda Indonesia. Tapi jika disebut bahwa tokoh C. Poortman diragukan keberadaannya, ia mengatakan bagaimana bisa. “Surat-surat masa tugasnya mencantumkan namanya selaku pegawai Belanda,” kata dia.
Menurut Via, dalam daftar arsip di Pemerintahan Jambi namanya juga resmi tercantum sebagai resident Jambi. Surat-surat imbauan dalam bahasa Belanda tahun 1924 ketika dirinya bertugas di Jambi masih disimpan anak cucu petinggi yang ada di Jambi.
“Apakah C.Poortman yang tugas di Jambi ini bukan orang yang sama dengan yang dimaksud MOP? Wallahualam,” kata Via.
Senada dengan Via Dicky, Mustaqim Asteja, sejarawan dan ahli arsip Cirebon dari Komunitas Kendi Pertula menyebutkan bahwa Poortman pernah menjadi adviser der Chinezen yang ditugaskan oleh pemerintah Belanda untuk menyelidiki tokoh bernama Tam Sam Cay Khong atau Tumenggung Aria Wiracula, pejabat keuangan Kerajaan Cirebon yang makamnya terletak di belakang Pasar Pagi.
Saat menjabat adviser der Chinezen Poortman mengunjungi beberapa tempat seperti Cirebon dan Semarang. Ia mendapatkan naskah beberapa cikar yang kemudian di Belanda termuat dalam Preambul Poortman, berisikan antara lain sejarah orang Cina di Asia Tenggara dalam perniagaan dan syiar Islam.
“Penelitian Poortman itu kemungkinan sebelum pasca-likuidasi pejabat Cina tahun 1930-an. Karena setelah tahun itu sudah tidak ada pangkat mayor, letnan dan kapten yang disandang orang-orang Cina, terutama di kota-kota pelabuhan seperti Cirebon dan Semarang. Setelah Likuidasi tersebut, orang-orang Cina aktif di legislatif atau Dewan Kota,”ujar Mustaqim kepada Jernih.
Ah, Poortman, kamu memang poor, Man! [PRD]