Ratu Kalinyamat, Pahlawan Wanita yang Layak Menjadi Pahlawan Nasional
Jernih — Di abad 16 M, sosok wanita ini telah dikenal oleh orang Portugis sebagai seorang pemberani. Masyarakat Jepara mengenalnya sebagai Ratu Kalinyamat. Sejak masih gadis, Ia telah memusuhi Portugis dan semakin sengit rasa permusuhannya setelah menjadi penguasa Jepara.
Seorang penulis Portugis bernama Diego de Couto menuliskan tentang Ratu Kalinyamat dalam kalimat Rainha de Japara, senhora poderosa e rica, de kranige dame yang artinya Ratu Jepara, seorang wanita yang kaya dan berkuasa, seorang perempuan pemberani.
Keberanian, kekayaan dan kekuasaan yang dipegangnya selama 30 tahun, yakni dari tahun 1549 hingga 1579 Masehi, menjadikan Jepara kuat dan berwibawa sehingga mencapai kejayaanya. Pengaruh Kadipaten Jepara bahkan melebihi kewibawan Kesultanan Demak yang menjadi cikal bakal kekuasaan Islam pada saat itu.
Kapasitas kepemimpinan Ratu Kalinyamat tidak saja dikenal luas ditingkat lokal, namun juga ditingkat regional dan international. Hal itu dibuktikan dengan kiprahnya yang luas untuk menjalin kerjasama dengan negri-negri Islam lainnya di Nusantara seperti Aceh, Johor, Banten dan Cirebon.
Kadipaten Jepara saat itu membawahi, Pati, Kudus, Rembang dan Blora. Pusat kekuasaanya pertama kali didirikan di Kriyan. Retna Kencana adalah putri dari Sultan Trenggana. Ia Berbeda dengan saudaranya lelakinya yang memilih tinggal di Demak dan bergantian menjadi sultan. Retna Kencana lebih memilih tinggal di Jepara dan menikah dengan Pangeran Hadiri.
Dalam salah satu versi Pangeran Hadiri berasal dari Aceh, nama aslinya adalah Pangeran Thoyib, putra Raja Aceh yang bernama Sultan Mughayat Syah (1514-1528). Pangeran Thoyib dikisahkan berkelana ke Cina dan menjadi anak angkat seorang Cina muslim bernam Tjie Hwio Gwan. Toyib diberi nama Tjie Bin Thang yang dalam ejaan Jawa menjadi Wintang.
Pangeran Thoyib dan ayah angkatnya kemudian pindah ke Jawa dan mendirikan Desa Kalinyamat, sehingga iapun dikenal dengan nama Pangeran Kalinyamat. Karena menikahi Retna Kencana dan menjadi bagian keluarga Kesultanan Demak, maka Pangeran Kalinyamat diberi gelar Pangeran Hadiri.
Ratu Kalinyamat dan suaminya kemudian memerintah Jepara. Ayah angkatnya, Tjie Hwio Gwan dijadikan mangkubumi bergelar Sungging Badar Duwung. Tokoh ini adalah seorang ahli pahat dan ukir. Ia diyakini yang membuat hiasan ukiran di dinding masjid Mantingan. Selain itu, Sungging Badar Duwung merupakan tokoh yang mengajarkan penduduk Jepara tentang seni ukir hingga Jepara terkenal dengan seni ukirnya sampai saat ini.
Ratu Kalinyamat tidak memiliki anak. Ia membesarkan tiga orang pemuda yang masih kerabatnya. Yaitu adiknya yang bernama Pangeran Timur Rangga Jumena yang kelak menjadi Bupati Madiun, Arya Pangiri keponakannya sendiri, putra Sunan Prawata yang kelak menjadi Bupati Demak, dan Pangeran Arya Jepara, putra Ratu Ayu Kirana (Adik Sultan Terenggana) yang menikah dengan Sultan Hasanudin, penguasa Banten (1552-1570).
Dalam perebutan takhta Demak, Setelah Sultan Trenggono gugur dalam penaklukan Panarukan tahun 1546, penggantinya adalah Sunan Prawoto. Namun ia dibunuh tahun 1549 oleh utusan Arya Penangsang yang bernama Rangkud dengan keris Kyai Setan Kober. Padahal Arya Penangsang adalah keponakan Sunan Prawoto.
Arya Penangsang melakukan itu untuk membalas kematian ayahnya yaitu Raden Kikin, putra Raden Patah. Raden Kikin dibunuh oleh Sunan Prawoto sepulang shalat Jumat dengan keris Kyai Setan Kober yang dicurinya dari Sunan Kudus. Tujuannya agar ayahnya, yaitu Trenggana terpilih menjadi Sultan Demak ketiga menggantikan Dipati Unus.
Mengetahui hal itu, Ratu Kalinyamat dan suaminya menemui Sunan Kudus untuk meminta pertanggungjawaban. Namun jawaban Sunan Kudus mengecewakan hatinya. Sepulang dari menghadiri pemakaman Sunan Prawoto, Ratu Kalinyamat dan suaminya dicegat oleh utusan Arya Penangsang yang akan membunuhnya.
Arya Penangsang merasa harus menyingkirkan Ratu Kalinyamat untuk memuluskan dirinya menjadi Sultan Demak. Dalam peristiwa itu, Pangeran Kalinyamat terbunuh. Sedangkan Ratu Kalinyamat berhasil meloloskan diri.
Kematian Pangeran Kalinyamat membuat sang Ratu tenggelam dalam kesedihan. Dalam Babad Tanah Jawi dikiaskan ia mertapa awewuda wonten ing redi Danaraja, kang minangka tapih remanipun kaore yang artinya bertapa dengan telanjang di gunung Danaraja, yang dijadikan kain adalah rambutnya yang diurai.
Makna tersebut sebagai kiasan bahwa kata wuda dalam awewuda tidak saja bermakna telanjang. Namun dapat diartikan tidak memakai barang-barang perhiasan dan pakaian yang bagus. Sehingga dapat dimaknai bahwa Ratu Kalinyamat selama mengasingkan diri menjauhi hal yang bersifat duniawi.
Selama bertapa di Gunung Danaraja, Ratu Kalinyamat betul-betul mencurahkan pikiranya untuk membunuh Arya Penangsang. Maka dengan pengaruhnya sebagai putra Sultan Terenggana, yang juga berhak atas takhta Demak, ia meminta Sultan Hadiwijaya untuk membunuh Arya Penangsang.
Pada saat itu, kemungkinan terjadi kesepakatan antara Ratu kalinyamat dengan Sultan Hadiwijaya menyangkut kekuasaan Demak. Hadiwijaya direstui menjadi Sultan Demak bila dapat membunuh Arya Penangsang dan Ratu Kalinyamat bersedia mengabdi pada Pajang.
Sultan Hadiwijaya memiliki nama kecil Mas Karebet dan dikenal secara luas sebagai Jaka Tingkir. Ia putra Ki Ageng Pengging yang pernah menjabat kepala prajurit Demak. Bahkan kemudian diangkat menjadi Adipati Pajang. Saat menjadi penguasa Pajang ia diberi gelar Hadiwijaya dan menikahi Ratu Mas Cempa, putri Sultan Trenggana.
Saat Kesultanan Demak diambang kehancuran, Sultan Hadiwijaya mengambil alih kekuasaan Demak dan mengumumkan sebagai sultan yang baru. Status Demak kemudian berada dibawah Pajang. Demikian pula kadipaten lain seperti Tuban, Madiun, Semarang, Pati Pasantenan, Jagaraga, Jipang Panolan harus tunduk kepada Pajang.
Arya Penangsang penguasa Jipang menolak penobatan itu. Melalui berbagai upaya perangpun akhirnya pecah. Pasukan Pajang dipimpin oleh Ki Penjawi dan Ki Pemanahan. Ikut pula Sutawijaya, putra kandung Ki Pemanahan yang diangkat anak oleh Sultan Hadiwijaya. Sedangkan pihak Jipang dipimpin langsung oleh Arya Penangsang.
Perang Pajang dengan Jipang berlangsung di dekat sungai Bengawan Sore. Danang Sutawijaya berhasil menusukan tombak Kyai Plered sehingga usus Arya Penangsang terburai. Namun Arya Penangsang tetap hidup. Dengan gagah ia melilitkan ususnya pada gagang Keris Kyai Setan Kober yang terselip dipinggangnya.
Bahkan Sutawijaya berhasil diringkus oleh Arya Penangsang. Saat mencabut keris untuk membunuh Sutawijaya, ia tidak menyadari bahwa ususnya dililitkan di gagang keris, akhirnya usus Arya Penangsang terpotong oleh Kyai Setan Kober. Akibatnya Arya Penangsang tewas oleh kerisnya sendiri pada tahun 1549 M.
Setelah Arya Penangsang tewas, Ratu Kalinyamat memenuhi janjinya. Ia mengakhiri tapanya dan menyerahkan Demak kepada sultan Pajang dan Arya Pangiri diangkat menjadi Bupati Demak. Walaupun demikian, Sultan Hadiwijaya masih menghormati Ratu Kalinyamat dan tetap menganggapnya sebagai kakak dan tokoh senior Demak.
Ratu Kalinyamat kembali berkuasa sebagai Adipati Jepara. Ia dilantik dan mendapat gelar Ratu Kalinyamat. Penobatanya ditandai dengan sengkalan berbunyi Trus Karya Tataning Bumi yang mengandung watak bilangan 12 Rabiul Awal atau 10 April 1549.
Kedudukan Ratu Kalinyamat walaupun menjadi bawahan Pajang namun memgang peranan yang paling menonjol saat itu. Demak dan Pajang bukan ancaman lagi. Arya Pangiri adalah anak yang diasuhnya saat kecil, sedangkan Sultan Hadiwijaya adalah suami dari keponakannya yang sehaluan.
Maka setelah dinobatkan, kepemimpinan Ratu Kalinyamat semakin mencuat kuat dan menjadikan Jepara sebagai bandar terbesar pantai utara pulau Jawa. Kondisi tersebut membuat Jepara menjadi kaya sehingga mampu membangun armada laut yang kuat dan besar.
Menyerang Portugis
Sejak Demak dipimpin oleh Dipati Unus, Ratu Kalinyamat sudah anti Portugis. Ia begitu mencintai negerinya ketimbang bergabung dengan Portugis. Hal itu ia tunjukan dengan menolak dan mengusir Kapten Fransisco De Lopez yang diutus Portugis guna menawarkan kerja sama dengan Jepara.
Pada tahun 1550 M, Sultan Johor Alauddin Riayat Syah II meminta bantuan kepada Ratu Kalinyamat untuk mengusir Portugis dari Malaka. Setahun kemudian Sang Ratu mengirim 4.000 tentara dan 40 kapal perang menuju Malaka. Akhirnya aliansi Kesultanan Johor-Jepara berhasil mengumpulkan 200 kapal perang untuk merebut Malaka.
Perangpun pecah. Pasukan Gabungan Johor – Jepara berhasil merebut Malaka. Namun Portugis segera membalasnya sehingga sebagian besar pasukan gabungan dapat dipukul mundur, hanya pasukan Jepara yang tetap bertahan, namun kemudian mundur.
Pertempuran itu mengakibatkan 2000 pasukan Jepara gugur. Selain itu perbekalan beserta persenjataan Jepara jatuh ketangan Portugis. Pasukan Jepara kembali ke Jawa dengan mebawa kegagalan. Sialnya, dalam perjalanan pulang, datang badai sehingga 20 kapal Jepara terdampar dan menjadi jarahan Portugis.
Namun Ratu Kalinyamat pantang menyerah. Pada tahun 1573, Sultan Aceh Ali Riayat Syah atau dari Aceh mengajaknya untuk kembali menyerang Portugis di Malaka. Namun karena armada Jepara terlambat datang, erangan armada Aceh itu tidak berhasil.
Pada bulan Oktober 1574 Ratu Kalinyamat mengirimkan armada perang Jepara dalam jumlah besar, terdiri dari 300 buah kapal layar yang diantaranya terdapat 80 kapal berukuran besar. Armada laut itu mengangkut 15.000 prajurit pilihan dilengkapi dengan persenjataan meriam dan mesiu serta perbekalan lengkap lainnya.
Pemimpin militer Jepara dikenal sebagai Kyai Demang Laksamana, oleh orang Portugis disebut Quilidamao. Armada Perang Jepara segera memborbardir Malaka dari laut dan keesokan harinya mendaratkan pasukan tempurnya. Namun keberuntungan belum berpihak pada pasukan Ratu Kalinyamat, 30 kapal besarnya terbakar.
Penyerangan besar-besaran itu kembali gagal. Pasukan tempur Jepara tidak mampu menembus blokade Portugis. Apalagi setelah enam kapal dari Jawa yang membawa logistik makanan berhasil di rebut Portugis, blokade laut angkatan laut Jepara yang sudah bertahan 3 bulan akhirnya mulai melemah.
Kondisi tersebut membuat pasukan Jawa mundur dengan meninggalkan korban yang tidak sedikit. Hampir duapertiga kekuatan Jepara rontok di Malaka. Diego de Couto menuliskan bahwa di Malaka terdapat 7000 makam prajurit Jawa.
Kegagalan Pasukan Jawa menundukan Portugis karena kalah dari sisi tekhnologi. Armada laut portugis didukung oleh kapal-kapal perang yang lebih baik dari pembuatannya. Juga ukuranya yang lebih besar dari kapal-kapal perang Jepara.
Tahun 1579 M Ratu Kalinyamat wafat. Penggantinya adalah Pangeran Aria atau disebut juga Pangeran Jepara. Sayang, penggantinya ini tidak secakap Ratu Kalinyamat. Jepara perlahan-lahan merosot. Tahun 1599 M, Jepara akhirnya ditundukan Mataram.
Walaupun dua kali serangan pasukan Jepara gagal mengalahkan Portugis di Malaka, namun tidak mengurangi kebesaran nama Ratu Kalinyamat. Sebagai seorang wanita, integritas dan moralnya sebagai pemimpin mampu memberikan bukti perlawanan terhadap kekuasaan asing yang hendak bercokol di Nusantara.
Maka sudah selayaknya ratu dari Jepara ini dianugrahi sebagai Pahlawan Nasional. Sudah sejak 2005 hingga 2016 usulan itu belum terwujud. Alasannya tim peneliti dan pengkaji pusat, menilai bukti-bukti fisik dari sejarah Kalinyamat ini masih berbau mitos.
Tahun 2020, dalam anugrah Pahlawan Nasional nama Ratu Kalinyamat belum tercantum sebagai Pahlawan Nasional. Artinya kesejarahan Ratu Kalinyamat masih perlu dikaji lebih mendalam dan diusulkan kembali dengan bukti yang lebih lengkap.
Baca Juga : Sultan Baabullah Akhirnya Ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional