POTPOURRI

Sosialisme Islam di Kampung Matfa

Jernih — Di Sumatra Utara, tepatnya di Kabupaten Langkat, terdapat sebuah kampung yang akan memberi sangsi bagi warganya jika mereka tidak bertegur sapa lebih dari tiga hari karena suatu sebab.  Keunikan kampung bernama Kampung Majelis Ta’lim Fardhu Ain atau biasa disebut Kampung Matfa tak hanya sampai di sana.

Dikabarkan BBC Indonesia, kampung yang bernama asli Kampung Darussalam.ini terletak di Dusun III Darat Hulu, Desa Telaga Said, Kecamatan Sei Lepan, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara. Kampung ini berdiri di atas lahan seluas lebih kurang dua puluh hektar yang saat ini dihuni oleh 260 kepala keluarga dengan total penduduk sekitar 1.100 jiwa.

Di kampung yang berdiri pada tahun 2012 ini, hampir semua kebutuhan warganya dicukupi dan dikelola secara mandiri. Untuk urusan makan, misalnya, kampung berjuluk Kampung Kasih Sayang ini memiliki dapur umum berupa ruang terbuka seluas 10 x 10 meter yang terletak persis di tengah persimpangan “rumah-rumah”.

Tiap hari, sekitar dua puluh hingga tiga puluh orang bertugas menyiapkan makanan untuk seluruh warga untuk tiga kali makan: pagi, siang, dan malam. Ketika tiba waktunya makanan siap, perwakilan tiap keluarga akan mengambil jatah makanan tersebut. Jadi, tiap harinya, seluruh warga kampung makan dengan menu yang sama.

Seluruh pekerjaan dapur mulai dari menyiapkan tungku hingga memasak makanan dilakukan bersama-sama secara sukarela. Tugas ini digilir, berganti tiap harinya. Tiap-tiap warga usia produktif, khususnya kaum perempuan, akan mengalami tugas ini setidaknya sekali dalam seminggu.

Kesamarataan yang berlaku di kampung ini bukan hanya dalam hal menu makan sehari-hari. Tempat tinggal mereka pun berukuran dan berbahan sama. Mereka tinggal di bangunan semi permanen yang mereka sebut barak. Ukurannya 4 x 10 meter. Bahan konstruksinya terdiri dari kayu, anyaman bambu, dan daun rumbia sebagai atap.

Barak-barak yang berjumlah ratusan ini disusun memanjang dan saling berdampingan satu sama lain. Pemisah satu ruang barak dengan tetangganya hanyalah dinding tepas.

Satu susunan barak  dibuat berdampingan dengan yang lain sehingga membentuk lorong panjang antara keduanya. Tiap lorong barak memiliki koordinator yang bertugas mendata kebutuhan mereka dan melaporkannya pada pengelola kampung untuk kemudian dicukupi.

Untuk mencukupi kebutuhan warganya, kampung ini memiliki tujuh hektare lahan pertanian; lima belas kolam ikan; peternakan kambing dan ayam; usaha perbengkelan; industri batu bata; industri tahu kedelai, dan lain sebagainya.

Seluruh sektor usaha dikerjakan oleh warga usia produktif sesuai dengan keahlian dan kecenderungannya masing-masing. Keuntungan dari usaha-usaha tersebut disetorkan ke Baitul Mal. Dana inilah yang kemudian akan dikelola untuk memenuhi kebutuhan warga mulai dari makan, ketersediaan sikat gigi, pesta pernikahan, fasilitas kesehatan dan pendidikan, serta hal lainnya.

Untuk sektor pendidikan, kampung ini memiliki lembaga sekolah mulai dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Madrasah Aliyah (setingkat SMA). Sementara di sektor kesehatan, Kampung Matfa memiliki fasilitas kesehatan yang mereka sebut Rumah Sehat.

Di Rumah Sehat, selain layanan kesehatan dasar, terdapat juga layanan kesehatan gigi yang dikelola oleh salah seorang warga bernama Prasuta Citra yang sebelum “hijrah” ke Kampung Matfa berprofesi sebagai dokter gigi.

Cici, sapaan Prasuta Citra, “hijrah” ke Kampung Matfa pada tahun 2012. Ia pindah bersama Kholiq Ritonga, suami yang dinikahinya pada 2004 silam. Sebelumnya, mereka tinggal di Kompleks Perumahan Menteng Indah, Medan.

Kholiq, yang dipercaya warga menjadi Juru Bicara Kampung Matfa, dulunya aktif mengajar seni bela diri Aikido. Pria 43 tahun ini telah membuka enam Dojo atau perguruan. Kecintaannya pada seni bela diri ini juga lah yang mengantarkannya sampai ke Kampung Matfa.

Diakui Kholiq, semakin didalami, Aikido ternyata memiliki filosofi yang mendalam mengenai harmonisasi manusia dengan alam. Nilai ini lantas memantik pertanyaan di benaknya.

“Bagaimana mengaplikasikan ini dalam kehidupan sehari-hari? Kemudian, saya bertemu dan mendengar tentang ajaran dari Tuan Imam (pemimpin Kampung Matfa), yakni tentang berkasih sayang,” tutur Kholiq.

Ia menambahkan, berkasih sayang yang dimaksud juga termasuk kasih sayang terhadap alam, hal yang sesuai dengan filosofi Aikido yang ia dalam selama ini.

Tuan Imam yang disebut Kholiq adalah gelar yang diberikan warga kepada pemimpin Kampung Matfa. Nama aslinya Muhammad Imam Hanafi. Pria 32 tahun ini merupakan anak dari K.H. Ali Mas’ud bin Abdullah atau yang biasa disebut Yang Mulia (Y.M.) Tuan Guru.

Dikisahkan Kholiq, ulama khasrismatik Y.M. Tuan Guru aktif berdakwah sejak tahun 1970. Semasa hidupnya, ia dikenal memiliki puluhan ribu jemaah baik dari dalam maupun luar negeri. Suatu ketika, Tuan Guru membuka lahan di sebuah hutan dan menjadikannya tempat tinggal baginya dan keluarga. Beberapa tahun kemudian, ia membangun mesjid dua lantai.

Para muridnya dari berbagai daerah sering datang ke sana untuk mengikuti pengajian atau bersilaturahmi. Tempat inilah yang kini menjadi lokasi berdirinya Kampung Matfa.

Tahun 2011, Y.M. Tuan Guru meninggal. Sejak saat itu, perannya digantikan oleh sang anak, Imam Hanafi. Ia dinilai jemaah dan warga Kampung Matfa mewarisi kharisma dan ketauladanan sang ayah.

“Manajemen kita di sini [Kampung Matfa], manajemen kebersamaan. Sesuai dengan kesepakatan kita. Kita hidup di sini, pindah di sini adalah mengutamakan kebersamaan. Dan agama [Islam] juga sangat menekankan kebersamaan itu,” kata Hanafi.

Ia juga menambahkan bahwa baik kondisi susah maupun senang mereka lakoni bersama. “Sedikit sama dirasa, banyak sama berbagi,” imbuhnya.

Penduduk Kampung Matfa berasal dari berbagai daerah bahkan ada yang berasal dari luar negeri. Mereka memiliki berbagi macam latar belakang suku, etnis, pendidikan, dan profesi. Pada umumnya, mereka menyebut perpindahan mereka ke kampung ini sebagai hijrah, mencari ketenangan.

Di kampung ini, semua idenitas yang berbagai ragam itu diperlakukan sama sebagai warga dan telah menjadi seperti saudara.

Prof. Badarudin, sosiolog dari Universitas Sumatra Utara, menjelaskan bahwa aturan, tata kelola, dan tata sosial terdapat di Kampung Matfa merupakan perpaduan antara Islam dan sosialisme. Hal ini sebenarnya telah dibahas oleh HOS Tjokroaminoto melalui bukunya berjudul Islam & Sosialisme yang terbit pada tahun 1924.

“Adapun yang menjadi dasar pengertian sosialismenya Nabi Muhammad yaitu kemajuan perikeutamaan dan kemajuan budi pekerti rakyat. Umat Islam adalah orang yang cakap sekali dalam melakukan kehendak sosialisme yang sejati itu,” demikian tulis Tjokroaminoto dalam bukunya  sebagaimana dikutip Tirto.id. [ ]

Back to top button