Star Wars the Rise of Skywalker: Ke Bioskop untuk Cari Hiburan
JAKARTA—Anda boleh membaca kritik (atas sebuah) film sebelum menonton langsung film tersebut di bioskop. Tetapi sekali lagi, Anda sendirilah yang menentukan mengapa Anda bersedia membayar karcis, meluangkan waktu lebih dari 75 menit memelototi layar, dibanding melakukan berbagai hal lain yang juga menjanjikan.
Tak banyak yang memuji Star Wars: the Rise of Skywalker. Kritikus film Hollywood Armond White dalam nationalreview.com menyebut film ini sampah. Tentu saja. Karena bahkan sebelum menginjakkan kaki ke karpet bioskop yang ia masuki, kepalanya terlalu dipenuhi segala macam tetek bengek aturan, panduan, acuan, terutama karya-karya Jean-Luc Godard yang menurutnya ideal. Ia lupa, kadang seseorang masuk bioskop juga tak lebih karena janji pertemuan dengan seorang teman masih tiga jam di muka. Atau sebagaimana kebanyakan penonton kita, untuk menghibur diri tanpa dibebani itu dan ini.
Barangkali White benar bahwa—terutama, semenjak dibeli Disney dari pencetusnya yang fenomenal, George Lucas, pada 2012, produksi tahunan film-film Star Wars tak lebih dari upaya untuk menangguk untung dari konsumerisme yang kronis. Itu pula yang konon sangat ditakutkan Godard, yakni bahwa muncul kebiasaan bahwa film-film yang ada kian memanjakan, tanpa peluang untuk berefleksi dan ‘merasakan’.
Namun bila kita memasuki bioskop tanpa beban—seperti halnya saya, misalnya, semua akan baik-baik saja. Paling, kita akan sedikit melayangkan ingatan kepada episode sebelum film kesembilan ini: Star Wars : the Force Awakens. Tapi itu pun tak akan mengganggu karena film ini dengan caranya sendiri membimbing kita untuk cepat mengingat apa yang telah terjadi di episode tersebut.
Sebagaimana film-film Abrams lainnya, gambar-gambar yang muncul di layar benar-benar memanjakan penonton ‘The Rise’. Kalau ada kritik gambar-gambar itu justru tak merangsang penonton untuk berefleksi dan berimajinasi, saya sebaliknya merasa dengan gambar-gambar yang ada, imajinasi penonton bisa lebih kaya dan maju.
Mungkin White benar bahwa tampilnya Rey, seorang jedi perempuan alih-alih laki-laki itu sebagai respons Lucas terhadap kritik yang disampaikan kritikus film kahot, Pauline Kael,saat pada 1977 ia mengkritik Star Wars : A New Hope dalam majalah bergengsi The New Yorker. Saat itu Kael mengkritik tendensi antifeminis dalam Star Wars, saat Putri Leia (Carrie Fisher) seperti tak dimungkinkan menggenggam The Force. Tetapi kalau ia menjadikan itu kritik atas film ini, tentu terlambat, karena bukankah Rey sudah mulai dimunculkan sebagai ksatria jedi itu pada episode sebelumnya, tahun 2015 lalu.
Selebihnya, seperti telah saya katakan, film ini baik-baik saja. Efek khusus yang dikerjakan Vince Abbot cs juga cukup memuaskan. Termasuk bagaimana menghadirkan Putri Leia, jenderal tertinggi kaum perlawanan, sementara saat film dibuat Carrie Fisher telah tiada. Bila Anda datang ke bioskop untuk sekadar mencari hiburan, film ini tentu saja memberi sedikit lebih dari harapan.
Hanya kalau saja film fiksi ilmiah futuristik ini sedikit terkesan memasukkan unsur metafisis (datangnya ‘arwah’ Luke Skywalker dan Han Solo pada saat-saat genting), ya… biarlah. Namanya juga hiburan. [ ]