Ukur
Saat itu Kanjeng Sultan meminta pimpinan lembaga telik sandinya Dom Sumuruping Mbanyu[1], Raden Bagus Wonoboyo, untuk mempersiapkan agen yang akan menyusup diam-diam ke dalam benteng VOC di Batavia.
Oleh : Darmawan Sepriyossa
Pengantar:
Setelah jatuhnya Kerajaan Majapahit, ratusan tahun kemudian kerajaan-kerajaan taklukan di seluruh Nusantara bangkit memupuk kekuatan. Yang paling mencorong adalah Kerajaan Mataram, pengklaim pewaris kekuasaan Majapahit. Sementara kekuatan asing yakni Portugis, Belanda dan Inggris, mulai pula datang menancapkan kuku kekuasaan mereka. Masing-masing dengan kerakusan dan kekejamannya sendiri. Pada saat itu, di Tanah Sunda muncul kekuatan yang mencoba menolak penjajahan, dipimpin seorang bernama Dipati Ukur.—
Episode-16
Sultan tahu, merebut Batavia dari tangan VOC tidaklah mudah. Ia menghitung jarak Mataram ke Batavia tak kurang dari 90 hari perjalanan kaki pasukan. Butuh persiapan logistik yang matang. Untuk itu harus ada kantong-kantong logistik yang mampu menyuplai persediaan makanan, padi terutama, bagi tentara Mataram.
Itulah sebabnya, sejak empat tahun sebelumnya–pada 1624, dirinya memerintahkan Senapati Surengrono alias Aria Wirasaba dari Mojo Agung, wilayah Surabaya, berangkat ke Karawang. Pasukannya terdiri dari seribu prajurit dan keluarga mereka, dikirim selama berbulan-bulan antaranya, agar tak terlihat mencurigakan.
Mereka saat ini sudah mendirikan tiga desa dengan diam-diam, mengubah tanah Karawang yang berawa-rawa penuh nyamuk malaria itu menjadi sawah-sawah subur. Merekalah yang nanti pada saatnya berperan sebagai penyedia logistic untuk pasukan Mataram. Jadi, selain logistik yang dibawa pasukan, logistik juga disuplai oleh wilayah-wilayah dekat Batavia, dari desa-desa yang dikuasai orang-orang asal Mataram.
Beberapa waktu lalu Sultan mendapatkan laporan bahwa desa-desa bentukan para prajuritnya, yakni Desa Waringin Pitu atau Desa Teluk Jambe, Desa Parakansapi dan Desa Adiarsa[2], sekarang merupakan wilayah-wilayah sejahtera. Prajurit-prajurit Mataram dan keluarga yang hidup bertani di sana, sejahtera tak kekurangan. Ratusan lumbung padi mereka penuh-penuh. Tapi tak ada yang berani merampok, setelah tahu nyaris semua warga ketiga desa itu memiliki ilmu kanuragan dan olah jurit yang tinggi.
Yang membuat Sultan Agung kecewa, hingga kini Aria Wirasaba belum juga melaporkan perkembangan tugasnya. Itulah yang membuat Sultan tiga bulan lalu mengutus sekelompok telik sandi berkuda. Salah satunya untuk melaporkan bagaimana perkembangan tugas Aria Wirasaba. Jangan-jangan dia hanya mencari gadis-gadis Karawang yang terkenal botoh-botoh itu, lupa akan tugasnya. Atau yang lebih parah, jangan-jangan dia ganti kesetiaan!
“Hm, haruskah kuminta orang membawa kepala si Wirasaba ke sini?” pikir Sultan.
Seorang telik sandi melaporkan bahwa selama bertugas ke Karawang ia berkenalan dan akrab dengan seorang kiai penyebar agama Islam di wilayah yang masih dipenuhi warga setempat penganut agama Sunda. Kiai itu cucu seorang ulama besar asal Kerajaan Champa yang memiliki kekerabatan dengan Sunan Gunung Jati. Namanya Syekh Hasanudin bin Yusup Idofi, atau di wilayah setempat dikenal dengan nama Syekh Quro.
“Ulama dengan sekian ribu santri, yang merupakan cucu ulama besar yang sangat berpengaruh itu siap mendukung penyerangan kita kepada VOC di Batavia,” katanya melaporkan. Kini Sultan tepekur di singgasananya. Ibarat bermain catur dalam kepalanya sendiri, Sultan mempertimbangkan apa yang harus dilakukannya berkenaan dengan Karawang, VOC, dan Aria Wirasaba.
Sebenarnya, selain mengutus Aria Wirasaba untuk membangun jaringan logistik, tiga tahun kemudian Sultan Agung pun telah mengutus ‘pasukan’ lain secara diam-diam memasuki Batavia. Dua ‘pasukan’ malah. Itu terjadi pada tahun 1627. Tugas pasukan pertama sederhana, pelaksanaannya yang mempertaruhkan jiwa raga, hidup-mati: membunuh Murjangkung sekeluarga!
Saat itu Kanjeng Sultan meminta pimpinan lembaga telik sandinya Dom Sumuruping Mbanyu[3], Raden Bagus Wonoboyo, untuk mempersiapkan agen yang akan menyusup diam-diam ke dalam benteng VOC di Batavia.
“Wonoboyo, terserah bagaimana caramu, susupkan orang-orangmu ke dalam rumah Murjangkung. Bunuh dia, dan bawa kepalanya ke mari!” seru Kanjeng Sultan, memerintah setahun lalu.
Sebulan kemudian pimpinan tertinggi lembaga intel itu menghadap Sultan. Bersamanya menghadap Tumenggung Kertiwongso dari Tegal dan agen telik sandi terkemuka asal Samudra Pasai yang telah lama mengabdi kepada Mataram, Mahmuddin. Bagus juga membawa serta putrinya, Nyimas Utari Sandijayaningsih.
“Hamba telah mendidiknya sebagai telik sandi terbaik, Kangjeng Gusti,” kata Bagus Wonoboyo saat Sultan bertanya buat apa membawa putrinya menghadap.
“Baiklah,” kata Sultan Agung. “Apa yang terbaik menurutmu, lakukanlah. Yang jelas, pada saatnya aku minta kepala Murjangkung diserahkan di atas nampan. Atau kepalamu!”
Tim kedua—kalau boleh disebut begitu, hanya beranggotakan seorang saja. Seorang, namun nilainya sangat tinggi. Ia bernama Cong Ling, seorang pengusaha Tionghoa di Batavia, yang memiliki kedekatan khusus dengan kapten Cina Souw Beng Kong. Beng Kong adalah ‘kapten’ alias tokoh tertinggi komunitas Tionghoa di Batavia. Begitu dekatnya hubungan Beng Kong dengan Murjangkung, sehingga pada tahun 1623 VOC memberikan dua bidang tanah di luar benteng, yang cukup luas untuk dihuni komunitas Tionghoa. Disebut-sebut bahkan VOC yang membangun setidaknya gedung dari batu bata, berfondasi batu kali yang kuat untuk kediaman Souw Beng Kong. Konon, Beng Kong sendiri senantiasa dikawal prajurit VOC, entah itu orang Jepang, para mardijker, atau para tentara bayaran asal Tiongkok.
Dari Cong Ling, lewat pimpinan lembaga telik sandi Mataram, setidaknya sepekan sekali Sultan menerima kabar soal kondisi di dalam benteng Batavia.
Tahun itu pula kelompok pertama pasukan intel Mataram yang dipimpin Tumenggung Kertiwongso itu bergerak. Mereka membangun basis jauh dari Batavia, namun masih cukup strategis untuk mengamati perkembangan kota benteng itu. Mereka membuka hutan di bantaran kali Sunter di wilayah Pakuan, sebuah wilayah bekas pusat kerajaan tua Pajajaran. Dari sana, perjalanan ke Batavia bisa ditempuh dengan tiga perempat hari berkuda.
Bertugas bersama, timbullah rasa cinta di antara Nyimas Utari dengan Mahmuddin. Menikahlah keduanya dengan tugas awal yang kian mengukuhkan kedekatan keduanya. Mahmuddin untuk tugas tersebut mendapatkan nama sandi ‘Wong Agung Aceh’. Memang, untuk bisa masuk ke benteng Batavia, pasangan itu mengawali penyusupan mereka pun dari Aceh.
Pasangan itu berhasil memasuki benteng VOC dengan kamuflase sebagai pebisnis. Tak hanya itu, kepandaian menyanyi dan suara emas Nyimas Utari pun menjadi modal penting penyamaran keduanya. Suara Nyimas Utari begitu disukai Eva Ment, istri Murjangkung. Kedekatan itu pula yang membuat kapal dagang suami-istri itu kemudian disewa VOC untuk mengangkut meriam dari Madagaskar.
Setahun kemudian, kedekatan itu mulai membuahkan harapan akan keberhasilan tugas mereka. Keberhasilan untuk menjaga pula batang leher ayah dan mertua, yakni Ki Bagus Wonoboyo, tetap pada tempatnya. Nyimas Utari kian berhasil menjalin kedekatan dengan keluarga Murjangkung. Pada 1628 itu Nyimas Utari sudah dipercaya dan memiliki akses ke kastil, bergaul sangat akrab dengan Eva Ment dan anak-anaknya!
Jadi, dengan segala persiapan itu, menurut Sultan Agung inilah saatnya Mataram menggempur Kompeni, bangsa bule yang jumawa itu!
***
Dipati Ukur tepekur membaca surat yang baru diterimanya dari utusan Keraton Mataram. Inilah hari yang sejak lama ia sadari akan datang. Hari saat Keraton Mataram menagih janji setianya untuk berbakti. Hari itu 12 Juli 1628.
Surat itu sederhana saja. Sultan Agung memintanya mengumpulkan pasukan dari semua kabupaten di Priangan yang menjadi bawahannya. Pasukan yang ia pimpin itu akan bergabung di Karawang dengan pasukan Mataram yang sudah mulai diberangkatkan dari ibukota. Gabungan pasukan itulah yang akan bersama-sama menyerbu Batavia.
“Dua bulan lalu pasukan Mataram sudah mulai bergerak,” bunyi surat tersebut.
“Hm, kalau perjalanan jalan kaki menempuh waktu tiga bulan, itu artinya serbuan akan dilaksanakan pada bulan yang disebut orang-orang Olanda itu bulan Agustus,” Ukur membatin.
“Baiklah, Utusan,” kata Dipati Ukur kepada caraka yang datang dari Mataram. “Ganti kudamu dengan kuda yang masih segar di istal. Segera kembali ke Mataram. Katakan kepada Susuhunan Mataram bahwa wadya bala Tatar Ukur dan Sumedang siap bergabung dengan prajurit Mataram pada pekan kedua Agustus di Karawang.” [bersambung]
[1] Arti harfiahnya, jarum yang dimasukkan ke dalam air
[2] Desa-desa yang kini termasuk wilayah Purwakarta itu sudah tenggelam masuk wilayah Jatiluhur.
[3] Arti harfiahnya, jarum yang dimasukkan ke dalam air