Solilokui

Al-Hikam, Kitab Idola Para Ajengan

Al-Hikam, Kitab Idola Para Ajengan

Menurut Palacios, seorang mistikus Kristen Spanyol, Saint Jean de la Croix, sangat terpengaruh oleh “Hikam”. Sehingga pendapatnya banyak yang mirip dengan aforisma “Hikam”.

Oleh   : Usep Romli H.M.

Walaupun bukan kitab standard pesantren, tapi kitab “Hikam” karya Ibnu Atha’illah as Syakandari, sangat populer di kalangan para ajengan (kiyai). Sebuah kitab rujukan utama untuk peminat ilmu tasawuf, selain “Ihya Ulumuddin” karya Imam Gazhali.

Usep Romli HM

Sehingga  belum boleh dikaji oleh para santri, sekali pun santri itu sudah senior dan sudah khatam ilmu “lugah“, yaitu kesempurnaan ilmu bahasa Arab, baik tatabahasa (sharaf-nahwu),maupun keindahan bahasa (balaghah, mencakup bayan, mani, badi, arudl, qawafi) .     

Apalagi santri yang belum beres “dharaba zaidun amron“nya alias belum  tamat kitab “Alifyah”. Kitab tata bahasa Arab dalam bentuk puisi (syair) seribu bait, yang harus hafal di luar kepala, mulai dari awal hingga akhir, kemudian mundur dari akhir hingga awal.

Konsumen kitab “Hikam” harus sudah benar-benar seseorang yang telah berada pada “maqam” tinggi. Yang telah mampu memurnikan hati dari segala hal yang rendah, kasar, dan hina (at-takhalli minar radza-il), menghiasi hati dengan segala ucapan dan tindakan terpuji (ar-tahalli bil fadla-ili) dan membersihkan hati dari segala apa selain Allah SWT (at tabarri amma siwallahi).

Karena itu, mengaji kitab “Hikam” jarang sendirian. Harus ada seorang “mursyid” (guru) yang memberi bimbingan. Selain karena bahasa yang digunakan  tergolong sukar, sangat “nyastra”, juga banyak ungkapan-ungkapan yang perlu diulas dan dirinci oleh orang yang betul-betul telah memahaminya dengan bantuan referensi kitab-kitab lain. Termasuk kitab-kitab “syarah” (komentar) atas kitab “Hikam”.

Dalam mengaji “Hikam” para “mursyid” menggunakan kitab-kitab syarahnya, yang dalam khazanah sastra Arab , tercatat 24 judul kitab syarah “Hikam” paling terkenal dan paling banyak digunakan, adalah “Iqadzul Himam fi Syarhil Hikam” karya Al A’rif Billahi Ahmad bin Muhammad Ajibah al Hasaniy. Kitab-kitab syarah “Hikam” lain, seperti karya Ibnu Abbad ar Rondi, Abdullah bin Hijaziy as Syarqawi, Syekh Zarruk, dll., jarang dibacakan. Kecuali untuk referensi pribadi para “mursyid”.

Pengajian kitab “Hikam” juga rata-rata berlangsung terbatas. Sekedar “bilbarkah” (mencari berkah). Biasanya diikuti oleh para alumni satu pesantren di pesantren bekasnya belajar, kepada ajengan yang dulu menjadi gurunya di situ. Atau kepada sanak keturunannya, yang sudah menjadi ajengan pula. Mencari dan menyegarkan ilmu, sekaligus menjalin hubungan silaturahmi  antara murid dengan guru, itulah “bilbarkah”.

Ukuran kitab “Hikam” sendiri, tergolong kecil dan tipis. Terdiri dari 294 kata-kata mutiara (hikmah) berbentuk aforisma-aforisma pendek, dan ditutup 42 munajat, yang juga berbentuk aforisma-aforisma puitik.

Salah satu contoh aforisma kitab “Hikam” sebagai berikut :”Min alamati i’timadi alal ‘amali nuqshanur raja-i inda wujudij jalali“. Salah satu tanda  bersandar pada amal, adalah berkurangnya harapan (raja) pada saat berbuat kesalahan.”

Pembahasan aforisma tentang watak manusa memuja-muja hasil kerja diri sendiri, dengan melupakan faktor pertolongan Allah SWT, akan sangat panjang lebar. Menghabiskan belasan halaman, karena menyangkut uraian tentang rahmat karunia Allah SWT kepada mahluqNya, takdir, amal soleh, dlsb., yang akan terkorelasi dengan uraian-uraian lain yang saling menunjang dan memperluas wawasan.

Dimulai dari mengupas rumusan tentang Ad Dien. Ad Dien, disebut dengan istilah agama, adalah petunjuk lengkap dari Allah SWT kepada manusia. Yang berakal sehat, memiliki ikhitiar terpuji menuju keselamatan dan kesejahteraan dunia akhirat. Batasan itu, mengandung pengertian hakikat adi Dien  berupa undang-undang yang Allah SWT turunkan kepada manusia, melalui perantaraan Rasul (Utusan Allah). Mengandung “ghayyah” (tujuan) yang hendak dicapai berupa keselamatan dan kesejahteraan hidup dunia dan akhirat. Serta “wasilah” (jalan) yang menyampaikan kepada tujuan itu, berupa ikhtiar sebagai sarana dan amal sebagai pelaksanaan. “Ghayyah” dan “wasilah” akan sempurna jika didasari i’tiqad (iman) yang benar sesuai dengan rukun Iman yang enam (iman kepada Allah, para Malaikat, para Rasul, kitab-kitab, takdir dan Hari Akhir).

Maka beruntunglah manusia, yang beriman dan beramal soleh, yang dikategorikan bertaqwa (Q.s. Nahl : 97, Fathir : 7 dan al Ashr). Sebab dengan iman dan amal soleh, seseorang akan mendapat ampunan (maghfirah) Allah SWT. Ampunan mendatangkan pahala (al ajru). Dan pahala paling besar adalah rahmat Allah. Dengan rahmat Allah, seseorang baru dapat masuk surga jannatun na’im. Rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat kebajikan (Q.al A’raaf : 56), terlimpah kepada orang-orang yang dikehendakiNya, dan Dia tidak menyia-nyiakan pahala orang berbuat kebajikan (Q.s.al Baqarah : 105). Rahmat Allah meliputi segala sesuatu dan akan ditetapkan bagi orang-orang bertaqwa, menegakkan salat, menunaikan zakat dan orang-orang beriman kepada ayat-ayatNya (Q.s.al A’raaf : 156).

Demikianlah sebagian kecil kutipan dari kitab “Hikam” yang mengundang aktivitas dan kreativitas belajar para peminatnya.

Penulis kitab “Hikam”, Syekh Athaillah as Syakandari, lahir di kota Iskandariah (Aleksandria) Mesir, th.658 H (1260 M). Sejak remaja menjadi murid seorang sufi  asal Murcia, Andalusia (Spanyol), Syekh Abul Abbas al Mursi. Seorang “mursyid” tarekat Sadziliyah. Setelah Syekh Abbas wafat, Ibnu Athaillah melanjutkan tugasnya sebagai mursyid. Dari bahan-bahannya mengajar para murid itulah, terhimpun mozaik-mozaik kearifan yang menjadi cikal-bakal kitab “Hikam”.

Kemashuran kitab “Hikam” melampaui batas negara dan mazhab-mazhab tarekat. Orientalis Spanyol, Miguel Asin Palcios, telah menerjemahkan “Hikam” ke bahasa Spanyol. Menurut Palacios, seorang mistikus Kristen Spanyol, Saint Jean de la Croix, sangat terpengaruh oleh “Hikam”. Sehingga pendapatnya banyak yang mirip dengan aforisma “Hikam”. Orientalis lain asal Inggris, Victor  Danner, menulis buku berjudul “Ibnu Athaillah”s Sufi Apharism “ (1984)

Untuk menutup tulisan ini, baiklah dikutip satu dua bait dari munajat Syekh Athaillah asy Syakandari, yang terdapat di bagian akhir kitab “Hikam”

Ilahi,  ma aqrabaka minniy wa ma ab’adani anka

(Ya Allah, betapa dekat Engkau dariku, dan alangkah

jauh aku dariMu).

Ilahi, kaifa a-zimu wa antal qahiru wa kaifa la a-zimu

wa antal amiru

(Ya Allah, bagaimana aku akan berkehendak, padahal

Engkau yang menentukan, dan bagaimana aku tidak

bersungguh-sungguh karena Engkau yang menyuruh)

Ilahi, anal jahilu fi ilmiy fa kaifa la akunu jahulan fi jahliy

 (Ya Allah, akulah hamba yang bodoh dalam pengetahuan,

bagaimana tak lebih bodoh lagi dalam hal yang aku tidak

mengetahuinya).  [  ]

Back to top button