Puisi

5 PUISI EMI SUY

PULANG

aku pulang
dari perut gudang
dan bahagia
merayakan lelah di sepanjang jalan
debu, menderulah
asap, melesaplah
sunyi, berbunyilah
aku seperti berjalan
sendirian
di jagat ini

2024

*

CATATAN REDAKSIONAL

Pulang Itu Kadang Perlu Ditegaskan, Meski Kita Tak Pernah Benar-Benar Pergi

oleh IRZI Risfandi

Ada keheningan yang terasa sangat ibu-ibu saat membaca puisi “Pulang” karya Emi Suy—bukan karena puisinya memasak nasi atau menyapu halaman, tapi karena di balik kesederhanaan katanya, ada rasa letih yang tak minta dimengerti, tapi tetap ingin dirayakan. Seperti emak-emak yang akhirnya bisa duduk setelah seharian muter pasar, masak, dan bersih-bersih, puisi ini adalah napas panjang yang keluar dari dada yang penuh debu, asap, dan sunyi. Tapi, hei, ini bukan tentang lelah biasa. Ini tentang perjalanan batin yang ditulis tanpa gincu kata-kata, tapi tetap menohok.

Emi Suy, penyair kelahiran Magetan, Jawa Timur, ini memang bukan penulis puisi yang doyan mendramatisasi. Ia justru jago menyembunyikan emosi dalam kalimat pendek yang seolah kalem, padahal penuh gemuruh. Nama beliau tidak asing di dunia sastra. Terdata di Apa dan Siapa Penyair Indonesia, sudah menerbitkan deretan buku puisi—dari Tirakat Padam Api sampai Ibu Menanak Nasi Hingga Matang Usia Kami. Tapi dalam “Pulang”, ia menunjukkan bahwa kehebatan bukan soal panjang-panjangan bait, melainkan kejujuran yang dilucuti dari segala pernak-pernik estetika yang berlebihan.

Puisinya pendek, tapi punya nafas panjang. Dari “perut gudang” menuju “jagat ini”, ada semacam metafora lahir kembali—entah dari ruang gelap kenangan, tumpukan kerja-kerja diam, atau mungkin dari tumpukan harapan yang sudah lama ditunda. Lalu “bahagia merayakan lelah” itu bukan basa-basi. Di situ terasa sekali suara perempuan yang bukan cuma selesai dari rutinitas, tapi juga selesai dari perasaan harus kuat sepanjang waktu. Bahagianya bukan euforia, tapi lega. Dan itu… sangat relate dengan banyak perempuan yang hari-harinya seperti siklus antara tanggung jawab dan pelarian kecil menuju dirinya sendiri.

Ada juga sesuatu yang subtil tapi kritis dalam puisi ini: kenapa “aku seperti berjalan sendirian di jagat ini”? Bukankah kita hidup dikelilingi orang? Nah, di sinilah suara Emi menyusup. Ia seperti mengingatkan bahwa di balik semua peran sosial—ibu, istri, pekerja, pengurus komunitas, pegiat sastra—kadang perempuan tetap merasa sendiri. Bukan karena sepi, tapi karena sunyi itu sistemik. Dan puisi ini menampar dengan lembut, bahwa pulang bukan sekadar kembali ke rumah fisik, tapi mungkin perjalanan balik ke diri sendiri yang sudah lama tertinggal.

Dengan gaya bahasa yang tidak neko-neko tapi penuh jeda, Emi Suy membuktikan bahwa kegetiran bisa disajikan seperti teh hangat—pelan, hangat, dan mengendap. “Pulang” adalah contoh puisi yang tidak butuh suara keras untuk mengguncang. Ia hadir seperti ibu yang tak banyak omong, tapi sekali bicara—langsung terasa di ulu hati. Dan barangkali, puisi semacam inilah yang jadi pengingat manis bahwa di tengah dunia yang ribut ini, keheningan pun bisa bersuara, kalau kita cukup berani untuk mendengarkannya.

2025

*

MUDIK

dari tahun ke tahun
kampung kelahiran
menabuhku bertalun
dari takbir ke takbir
nasib begitu getir

ibu, aku hanya punya debar
apa kau masih punya debur?

setiap senti jalan yang dilalui mereka
akan menderapkan rindu kepadamu

2025

*

FRAGMEN HIDUP

badanku sekotak ruang
yang dindingnya terbuat dari cermin
setiap kau datang berkaca
badanku memantulkan luka

2025

*

KELAK

kelak, waktu akan menjaga api
yang setia menyalakan sunyi
dalam puisiku:
sekawan kata tak pernah ingkar,
tak saling membakar!
kelak, puisiku
yang akan mengabadikan nama,
tempat, dan kenangan
yang baik atau jahat kepadaku
kelak, saat aku telah meninggalkan
puisi-puisi yang kutulis
sunyi akan tetap menyimpannya
–mungkin sebagai kota—
yang selama ini aku rindu
sepenuh luka.

2025

*

HATI KEMARAU

sudah sejauh ini
aku masih tekun merawat sunyi
–yang nyaris pikun
sesekali aku ke ladang
menanam kentang
dan ke sungai
melarung kenang
untungnya sunyi
lebih tahu cara berterima kasih

2025

* 

BIODATA :

Emi Suy, lahir di Magetan, Jawa Timur, Februari 1979. Namanya tercatat dalam Apa dan Siapa Penyair Indonesia (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2018). Ia telah menerbitkan sejumlah buku puisi, di antaranya Tirakat Padam Api, Trilogi Sunyi (Alarm Sunyi, Ayat Sunyi, Api Sunyi), dan Ibu Menanak Nasi Hingga Matang Usia Kami, serta buku esai Interval. Puisinya telah dimuat di berbagai media nasional dan mengantarkannya meraih sejumlah penghargaan. Ia juga pendiri komunitas Jejak Langkah dan kini memilih jalan kepenulisan secara independen.

Check Also
Close
Back to top button