5 PUISI GIMIEN ARTEKJURSI

TAK ADA IKAN DI LAUTKU
(sekilas catatan dari pelabuhan Muncar)
tak ada lagi ikan-ikan
di lautku
tak ada ikan-ikan berenang
di tengah laut pun
apalagi di tepian
perahu-perahu harus berlayar sampai jauh
para nelayan harus menebar jala
sampai jauh
karena di lautku tak ada lagi ikan
yang berenang
apalagi bergerombol bersenang-senang
warna lautku telah berubah
karena limbah
karena sampah
mengubah warna lautku yang cerah
limbah dan sampah menebar warna hitam
bau dan racun kini yang berendam
mengusir ikan-ikan
membunuh kehidupan
tak ada lagi ikan-ikan di lautku
di pelabuhan
hanya perahu bersandar
ribuan perahu
kelelahan
setelah berlayar sampai jauh memburu ikan-ikan
karena laut di depan rumah
tak lagi menyimpan kehidupan
Kumendung, 20 Juli 2024
*
CATATAN REDAKSIONAL
Lautmu Hitam, Puisimu Tajam: Gimien Artekjursi Menolak Diam di Pelabuhan Kumendung
Oleh Irzi Risfandi
Puisi Tak Ada Ikan di Lautku dari Gimien Artekjursi bukanlah sekadar laporan nelayan yang gagal panen. Ini bukan cuaca buruk biasa atau laut yang lagi moody. Ini adalah puisi yang menjerit—sopan tapi galak—dari bibir pelabuhan yang kecewa, dari tepian laut yang dulu jadi dapur warga kini jadi kolam limbah. Dari judulnya saja sudah terasa sedih yang getir: tak ada ikan di lautku. Bukan “sedikit ikan,” bukan “ikan menjauh.” Tapi tidak ada. Absolut. Dan itu bukan sekadar soal ikan, sobat. Itu tentang harapan, tentang hidup, tentang satu komunitas yang perlahan diambil napasnya oleh kerakusan dan kelalaian manusia.
Gimien Artekjursi—yang nama penanya adalah akronim dari arek teknik jurusan sipil—mungkin punya latar teknik, tapi puisinya benar-benar taktis dalam membongkar krisis ekologis. Lahir di Banyuwangi, tinggal di Kumendung, dan menulis dari denyut pelabuhan Muncar yang terkenal sebagai sentra perikanan, puisi ini lahir dari tubuh yang menyaksikan langsung bagaimana laut yang dulu biru jadi hitam, bagaimana nelayan tak lagi menatap matahari dengan harap, tapi dengan lelah yang mengendap di badan dan di bait. Kalimatnya pendek-pendek, hemat napas, seperti meniru ritme napas para nelayan yang pulang dengan jala kosong. Sakitnya nyata, tidak perlu dilebih-lebihkan.
Yang bikin centil tapi juga mengiris adalah bagaimana Gimien menyisipkan nada ironis yang terasa seperti tawa pahit. “Apalagi bergerombol bersenang-senang,” katanya soal ikan-ikan. Itu bukan sekadar fakta biologis—itu sindiran sosial. Dulu laut ini pesta, sekarang laut ini duka. Dan siapa yang bikin? Limbah dan sampah. Bukan sekadar dua kata netral, tapi dua pelaku pembunuhan kehidupan dalam puisi ini. Puisi ini seperti eco-rap tanpa beat: penuh repetisi, langsung, dan tidak memakai bunga-bunga yang manis-manis. Karena kenyataannya memang pahit, maka puisinya pun pahit—tapi pahit yang penting.
Sebagai penyair yang sudah menulis sejak akhir 1980-an dan menang berbagai sayembara sastra seperti Negeri Kertas, TISI, dan Apajake, Gimien punya napas panjang dalam puisi. Tapi yang menarik, meski sudah malang melintang dan paham gaya-gaya sastra, ia tetap menulis dari kampungnya, dari pelabuhan tempat perahu-perahu bersandar, dari tempat bau amis bukan metafora tapi realitas. Ia tidak menulis demi gaya, tapi demi suara. Dan suara yang ditinggikan Gimien adalah suara laut yang diam-diam sedang sekarat. Suara komunitas yang mulai kehilangan nafkah. Suara bumi yang dibungkam limbah tapi masih bisa berteriak lewat puisi.
Jadi, jangan sepelekan puisi seperti ini. Meski tak menyebutkan nama korporasi pencemar atau pejabat yang lalai, bait-baitnya sudah cukup jadi dakwaan. Kalau ada orang bilang puisi tak bisa mengubah dunia, bacakan saja Tak Ada Ikan di Lautku. Karena dari pelabuhan kecil di Kumendung, Gimien Artekjursi menyampaikan peringatan keras: laut sedang tak main-main. Dan puisi ini, diam-diam, sedang mengetuk kepala kita yang terlalu sibuk buang sampah, tapi lupa memberi makan masa depan.
2025
*
ELEGI NELAYAN KECIL
kau tebar jala di luasnya samudra
sangkamu bisa menjaring harta-karun
tapi tiap kali kakimu yang letih menapaki pesisir
hanya mimpi yang kau panggul pulang
perahu tergolek lunglai di pantai
sudah berabad-abad moyangmu menaklukkan samudra
tapi kemewahan hanya sebatas di piring makan
asin keringatmu yang mengalahkan asinnya garam
tak mampu mengubah gubuk reotmu jadi istana
bahkan doa sia-sia tergulung ombak pagi
sampai perahu remuk, dayung patah, dan jaring lapuk
hanya kegigihan dan kegagahanmu tersebar di dongeng pengantar tidur
di dunia nyata langkahmu terseok-seok
mengejar mimpi-mimpi yang hanya jadi mimpi
(sampai kau terjerembab di liang kubur)
Kumendung, April 2022
*
EPISODE MIMPI IKAN SARDEN (1)
ikan-ikan sarden masih bermimpi mengarungi lautan
sesaat sebelum gunting para buruh pabrik
memotong-motong tubuhnya
mimpi-mimpi itu kini terperangkap
dalam kepala-kepala yang terpotong
berlompatan mencari jalan keluar
berusaha berenang kembali menuju lautan
Kumendung, 19 September 2023
*
EPISODE MIMPI IKAN SARDEN (2)
di lautan
ikan-ikan tak pernah bisa bermimpi
karena kantuknya terseret derasnya arus lautan
dan tidurnya terperangkap jala para nelayan
terbawa sampai ke pabrik-pabrik pengalengan
dalam kaleng sarden
ikan-ikan baru bisa nyenyak
menikmati mimpi-mimpinya
Kumendung, Agustus-September 2023
*
EPISODE MIMPI IKAN SARDEN (3)
pabrik-pabrik pengalengan ikan
mengolah ikan-ikan sarden
menjadi makanan siap saji
ketika ikan-ikan sedang menikmati mimpi-mimpinya
sampai di meja makan
mimpi-mimpi itu turut terhidang
menambah lezatnya masakan yang kau santap
Kumendung, 20 September 2023
*
Gimien Artekjursi
Lahir: 03 Agustus 1963. Alamat: Desa Kumendung, Kecamatan Muncar, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Puisi-puisi tampil di media cetak dan online di Indonesia dan pada beberapa antologi bersama.