5 PUISI IBNU PS MEGANANDA

PILIH PEMIMPIN
Buat pemimpin yang menyatu mirip dengan diri, keluarga dan leluhur
Kemiripan menjadi seberkas pancaran suka
Kemiripan ijuantah kembar antara diri dengan pemimpin
Diam-diam diakui hati yang dalam
Dan yang terpahat di jiwa menjadi benteng pertahanan
Benteng yang kokoh bukan kuatnya material namun jiwa
Pada alam demokrasi ada masyarakat sebuah negeri memilih pemimpin
Walau itu sesungguhnya pilihan partai setempat
Dalam pilihan ada terbaik walau mungkin diantara tidak baik
Maka dalam pilih pemimpin bercerminlah diantara banyak cermin lain
Cermin antar bangsa yang pernah Iqbal nasehati pada bangsa-bangsa timur
Karena setiap bangsa punya karakter dan budayanya
Jangan paksakan kehendak diri yang selisih pada karakter dan budaya bangsa itu.
*
CATATAN REDAKSIONAL
Pilih Pemimpin, Tapi Jangan Lupa Bercermin (Juga Ngelirik Puisi Ibnu PS Megananda)
Oleh Irzi Risfandi
Puisi “Pilih Pemimpin” karya Ibnu PS Megananda bisa dibilang seperti wejangan kakek bijak yang pulang dari kampanye, duduk di beranda rumahnya di Buntuturunan, lalu menyuruh kita merenung dengan teh manis dan keripik singkong. Dengan diksi yang tak bertele-tele namun tetap mengandung lapisan tafsir, puisi ini menggoda kita untuk mempertimbangkan pemilihan pemimpin tidak sekadar soal retorika panggung dan janji kampanye di spanduk, melainkan tentang sesuatu yang lebih dalam—yang menyatu dengan “jiwa”, “leluhur”, dan “cermin antar bangsa”. Ehem. Dalam konteks tahun-tahun penuh baliho dan buzzer, puisi ini masuk seperti AC dingin ke dalam ruang debat politik yang pengap.
Dari awal, puisi ini mengedepankan konsep “kemiripan” antara rakyat dan pemimpin. Di sini, Ibnu bermain dengan ide afinitas yang tidak sekadar biologis atau sosiologis, tapi sesuatu yang sifatnya batiniah. “Kemiripan ijuantah kembar antara diri dengan pemimpin” adalah baris yang terdengar seperti mantra pramodern dalam konteks postmodern. Apakah kita sedang diajak memilih pemimpin yang mirip wajahnya, logatnya, atau sebenarnya cerminan moralnya? Si penyair tidak memberi jawaban pasti, dan di situlah daya tariknya: kita diajak berpikir sambil ngunyah makna, bukan disuapi sampai kenyang lalu disuruh golput karena kebanyakan berpikir.
Lalu masuklah bagian paling genit dari puisi ini: “dalam pilihan ada terbaik walau mungkin di antara tidak baik.” Ini bukan sinis, ini realistis. Ini bukan menyerah pada keadaan, tapi mengenali bahwa dalam sistem politik yang rawan ditunggangi partai atau kepentingan, kita masih bisa menyisakan ruang “bercermin”—dan bukan sembarang cermin, tapi “cermin antar bangsa”. Di sinilah Iqbal, filsuf dan penyair dari Timur, diseret secara halus ke dalam diskusi. Ibnu PS Megananda menyuntikkan kedalaman referensi tanpa sok intelek, seperti bapak-bapak di warung kopi yang tiba-tiba mengutip buku tapi tetap pakai sarung. Keren, sih.
Sebagai penyair yang telah melahirkan beberapa antologi seperti Hastabrata di Istana dan Sakral Kaum Jaga, Ibnu bukan pemain baru dalam dunia puisi-puisi dengan muatan filsafat politik yang dibalut gaya liris. Ia bukan tipe penyair yang doyan gaya-gayaan metafora urban, tapi justru menyuguhkan kontemplasi berbasis nilai-nilai kebudayaan lokal dan sejarah pemikiran Timur. Jadi, meski puisinya kadang seperti khutbah Jumat versi sastrawi, kita tetap betah duduk dan mendengarnya—karena ada kejujuran di balik baris-barisnya, tidak sedang ngide untuk viral di TikTok sastra.
Puisi ini seperti alarm halus di tengah konser demokrasi yang terlalu berisik. Tidak menyerang, tidak memuji berlebihan, tapi menyodorkan cermin ke muka kita semua. Supaya, sebelum nyoblos, kita bisa melihat: siapa yang kita pilih, dan siapa yang sebenarnya sedang kita bayangi. Dan yang paling penting: jangan paksakan kehendak pada budaya bangsa—apalagi kalau budaya debatnya masih pakai teriakan, bukan puisi.
2025
*
SENI ITU
Apa mungkin kau lawan seni
seni itu dari nurani
seni hadir untuk ingatkan yang terlena
dan membangun kedaulatan masa depan
menyongsong peraradaban maju
meninggalkan peradaban kolot
Seni bersama kehidupan itu sendiri
menjadi kebudayaan indah
Sesuai dengan nalar dan lingkungan kehidupan
Apa mungkin kau bungkam seni
Bisa dibungkam sesaat saja
Esok hari malah tumbuh dengan segar
*
SAJAK MADUT
Aku tulis sajak ini saat gelisah, mengapa duit seakan menjadi tuhan
sampai ada dalam tataran, madut, mata duitan dengan negatif
Sedangkan gadis cantikpun bila madut jadi beban pikiran
bisa disangkakan kecantikannya dijual murah
demi pelentik bulu matanya
demi pemerah saga bibirnya
demi penghalus kulit tubuhnya
demi penyegar rona pipinya
Atau paling tidak karena madut munculkan gumam negatif tentangnya
Aku berpikir tentang sebuah negara yang aparaturnya panen korupsi
aparatur negara madut
ada aparat untuk jaga undang-undang, peraturan dan hukum bagaimana kalau madut
bukankah bisa dimainkan pasal undang-undang, peraturan dan hukum itu
demi perbanyak rumahnya
demi perbanyak kendaraannya
demi perluas tanahnya
demi penuhi biaya liburan keluarganya
demi persediaan kecukupan cucu cicitnya
Atau paling tidak akhirnya karena madut munculkan gumam
mana mungkin tidak memainkan kewenangannya
Dan bagaimana mengobati penyakit yang sepertinya tidak apa-apa
Mamun apa-apa urusan dan berurusan pakai duit
sementara orang-orang kecil meneteskan keringat dan air matanya hanya mampu bergumam.
*
“NEGERI BAYAR”
Hidup di negeri bayar harus punya uang
apa-apa mesti bayar
ada benarnya yang menyarakan itu
dari yang mudah apa lagi yang sulit
dari yang kecil apa lagi yang besar
dari yang terang apa lagi yang gelap
dari yang digratiskan apa lagi yang tidak
semua mesti bayar
padahal tanggungjawab negeri untuk ringankan beban hidup penduduknya
Hidup di negeri bayar dipaksa untuk punya uang
anak kecil harus punya uang
pengangguran harus punya uang
tua dan tak produktif harus punya uang
uang bagai tanda ada kehidupan
tanpa uang terancam macet pelbagai persoalan
Hidup di negeri bayar dilarang meneteskan air mata
dilarang mendengar kongkalikong
dilarang bicara membuka-buka aib
dilarang mencium aroma parfum kolusi, korupsi, nepotisme
dilarang meraba sensitifisme wibawa negeri
Hidup di negeri bayar semua harus pada aturan
petani bisa melulu menyangkul tidak harus punya lahan
pedagang kecil melulu dipinggir jalan kepanasan dan becek bila hujan
seniman tidak boleh kritis menyuarakan hati nuraninya
Hidup di negeri bayar, termangu hidup dipulau terpencil sendirian
Mau nyeberang tidak ada sampa.
*
SAJAK NING NONG NING GUNG
Ning nong ning gung 3X
Ning nong ning gung 3X
Wahai pemuda
Dirampak gamelan suku-suku bangsa
Disana ada keagungan cinta
Angkasa sungguh luas
Pemuda terbanglah-terbanglah
Bentangkam sayap jiwamu
Sayap kekuatan budaya bangsamu
Sayap keberanian kesetiaan leluhurmu
Ada apa disana, temui dirimu
Ada banyak bintang berkelip
Jadikan dirimu bintang
Bintang diantara orang-orang yang berharap perbuatanmu
Menjadi mereka suka atau bahagia
Duhai pemuda
Jangan sekali-kali kalian melupakan sejarah
Dari sejarah pupuklah rasa keinginanmu
Keinginan yang melegakan leluhurmu
Keabadian negeri dan kemuliaan bangsa dan negara, ada diperbuatanmu
Jangan bagai pungguk merindukan rembulan, atau bagai singa kelaparan
Jadikanlah dirimu satria kesuma
Seperti Sumantri atau Kumbakarna dalam kisah epos Ramayana
Jangan entengkan masalah hidup dan kehidupan
Jangan sekali-kali membenci ediologi bangsamu dan melakukan narkoba
Itu inti diantara kunci kuatnya bangsa
Ning nong ning gung 3X
Ning nong ning gung 3X
Pantun, gending dan tembang
Mensyairkan doa-doa selamat dan kekuatan jiwa
Dalam kesabaran dan kekuatan kaki yang mencengkram bumi pertiwi
Dan tangan meraih cakrawala
Bumi persemayaman, cakrawala cinta dengan cita-cita bangsa
Wahai pemuda
Jangan tidak ambek paramaarta
Dalam artian bijak memutuskan perkara yang penting dan utama
Jangan sombong, angkuh atau jumawa
Lapangkan dadamu karena kalian dalam momongan para among tani
Jiwa tani adalah jiwa tekun dan nerima
Dan asuhan para ibu yang suka merawat kembang setaman
Ada melati, melur, kenanga, worawaribang, kamboja dan lainnya
Jarum wanginya kembang itu membias pada kasih sayangnya
Sigapkan langkah kakimu
Karena kalian mendapat simbol kesatria dari pendekar yang lahir dari budaya bangsa
Kalian harapan generarasi setelah kalian
Boleh jadi kami gagal mengarahkan
Tapi itu sebagai cermin bagi kalian
Bukan berarti kami boleh gagal
Tapi diharapkan kalian tidak gagal
Itu harapan dari leluhur kalian
Ning nong ning gung 3X
Ning nong ning gung 3X
Ingatlah pada yang agung
Duhai pemuda
Sehatkan tubuh dan jiwamu
Kejarlah mimpi dalam kemulian bangsa dan negerimu
Sebab bangsa leluhurmu
Sebab negeri adalah tempat bersemayammu
Ning nong ning gung 3X
Ning nong ning gung 3X
Blak blak dangtak ning nong ning nong 2X
Blak blak dangtak ning gung ning gung 2X
Blak blak dangtak ning nong ning gung 2X
*
Pesanggrahan, Banten, 2024
*
BIODATA :
Ibnu PS Megananda, lahir di Buntuturunan, Serdang Bedagai, Sumatera Utara, tahun 1964. Telah menerbitkan sejumlah antologi puisi tunggal, antara lain:
– Terpana Jalur Utara (2015, Pustaka Kalimasada, Serang)
– Seribu Kembang Untukmu (2015, Bunga Rumput Publishing, Cilegon)
– Hastabrata di Istana (2018, Pustaka Kalimasada, Serang)
– Sakral Kaum Jaga (2022, Pustaka Kalimasada, Serang)