5 PUISI SAFRI NALDI

MAHASISWA 1998
kami datang dari asrama
dan lorong-lorong sempit
berjalan dalam bara
berbekal buku, kemarahan,
dan sepatu yang terlalu sering menendang pintu perubahan
kami bukan utusan partai
bukan anak jenderal
kami adalah suara
yang tak bisa lagi ditahan
oleh ketakutan panjang ibu kami
jakarta dibakar bukan oleh bensin
tapi oleh dendam dan kesumat
yang tak sanggup ditampung dada
kampus jadi barak
barikade jadi altar
dan jas almamater kami
menjadi bendera perlawanan
ada yang jatuh
ada yang tak pernah kembali
namanya tertulis di batu
dan di dada yang tak selesai menangis
kami berteriak: turunkan!
bukan karena benci
tapi karena cinta pada negeri
yang dibungkam terlalu lama
kami mahasiswa 1998
kami bukan mitos
kami adalah luka yang bernapas
dan kami adalah janji yang belum ditepati oleh negara
yang kami lahirkan kembali
di tengah asap dan tangis rakyat
Bandung, 2025
*
CATATAN REDAKSIONAL
Mahasiswa 1998: Puisi yang Membakar Sejarah dengan Sepatu dan Air Mata
Oleh Irzi Risfandi
Puisi “Mahasiswa 1998” karya Safri Naldi adalah semacam kapsul waktu yang meledak dalam dada—sebuah testimoni puitik yang membungkus sejarah dalam bara, buku, dan sepatu yang terlalu sering menendang pintu perubahan. Ia bukan sekadar puisi nostalgia, melainkan mantra perlawanan yang masih berdenyut di nadi bangsa. Dengan gaya naratif yang lugas dan ritme yang mengalir seperti orasi lapangan, Safri menghidupkan kembali semangat reformasi yang tak pernah benar-benar padam.
Lahir di Pematang Siantar pada 15 April 1977, Safri Naldi bukanlah nama besar dalam kancah sastra arus utama. Namun, justru dari kesehariannya sebagai sopir truk pengangkut galon air mineral di Bandung, ia menulis dengan kejujuran yang menyentuh. Aktif di media sosial, terutama Facebook, Safri menerbitkan buku kompilasi bersama 15 penulis lainnya berjudul “New Born Poem – DIVERSITY”. Kehidupan yang keras dan sederhana memberinya perspektif tajam tentang ketidakadilan dan harapan, yang kemudian dituangkan dalam puisi-puisinya.
Puisi ini tidak bermain-main dengan metafora rumit atau simbolisme yang berbelit. Sebaliknya, ia memilih diksi yang langsung dan menghantam: “kami datang dari asrama dan lorong-lorong sempit”, “jakarta dibakar bukan oleh bensin tapi oleh dendam dan kesumat”. Setiap bait adalah pukulan telak yang mengingatkan kita bahwa perubahan tidak datang dari kenyamanan, melainkan dari keberanian menghadapi risiko.
Namun, di balik semangat yang membara, terdapat kelembutan yang menyentuh: “kami berteriak: turunkan! bukan karena benci tapi karena cinta pada negeri”. Safri menunjukkan bahwa di balik setiap demonstrasi dan barikade, ada cinta yang mendalam pada tanah air. Ini adalah cinta yang tidak pasif, melainkan aktif dan penuh perjuangan.
“Mahasiswa 1998” adalah puisi yang tidak hanya menceritakan masa lalu, tetapi juga mengingatkan kita bahwa janji reformasi belum sepenuhnya ditepati. Ia mengajak pembaca untuk tidak melupakan, untuk terus menagih janji, dan untuk tetap mencintai negeri ini dengan cara yang paling tulus: berani bersuara. Dalam dunia sastra yang sering kali terjebak dalam estetika, Safri Naldi hadir sebagai pengingat bahwa puisi juga bisa menjadi senjata perubahan.
2025
*
INDONESIA BERSUARA
Indonesia bersuara
bukan dari mimbar para pejabat,
tapi dari parit,
dari sawah,
dan jalan-jalan sempit
tempat ibu-ibu menjual harapan dalam kantong plastik.
Dari gubuk,
dari toa masjid yang tak cuma azan
tapi juga pengumuman kehilangan
dan kabar kenaikan harga.
Dari para buruh
yang tak sempat libur,
dari nelayan
yang kembali dengan jaring kosong,
dari anak-anak
yang membaca di bawah cahaya lilin
dan mimpi-mimpi panjang.
Dan saat suara itu berkumandang
ia tidak tunduk,
tetapi meledak dari perut kota
dan tumpah ke meja parlemen
yang terlalu lama bersih dari debu rakyat.
Indonesia bukan hanya lagu,
bukan hanya bendera
yang dikibarkan saat upacara,
tetapi Indonesia adalah suara
yang menolak ditidurkan lagi.
Yang menuntut keadilan bukan sekadar kata,
dan hukum yang tak memilih warna kulit atau isi dompet.
Indonesia itu adalah kita—
yang menolak lupa,
menolak diam,
menolak tunduk.
Bandung 2025
*
CHAIRIL DAN MAMPUS KAU DIKOYAK-KOYAK SUNYI
Chairil,
malam ini puisimu bangkit dari kubur,
menggertak sunyi yang pura-pura tuli.
“Mampus kau dikoyak-koyak sunyi,” katamu,
dan kami pun tahu,
diam bisa membunuh lebih tajam dari peluru.
Di negeri ini,
kadang sunyi bukan ketenangan
tapi pemakaman untuk kebenaran.
Kami tumbuh dan besar dalam bisik-bisik
dilarang bertanya
tentang siapa yang menculik pagi
dan menyembunyikan matahari
di ruang gelap.
Kau menulis dengan peluru kata,
dan kami menyambungnya dengan teriakan,
di jalanan,
di mural,
di ruang belajar bawah tanah
di mana puisi menjadi selebaran
dan sajak menjadi manifesto.
Chairil,
kau mati muda
tapi puisimu tua dalam dada kami
menjadi jimat bagi mereka
yang menolak diam dalam sistem yang bisu.
Kau menantang maut,
dan maut kini malu
berhadapan dengan puisi yang tak bisa dikubur.
Kau ajari kami,
bahwa sunyi harus digugat,
karena negeri ini terlalu sering
bersembunyi di balik diam.
Bandung, 2025
*
MARSINAH BERKISAH
Aku adalah waktu
yang tertinggal di mesin pabrik,
jam-jam lembur yang tidak dibayar
dengan cukup makan atau pulang.
Tubuhku dijahit ulang
oleh pemilik upah,
dipaksa diam oleh tangan-tangan
yang bersih dari peluh,
tapi penuh darah buruh.
Namaku Marsinah,
aku bukan boneka
yang bisa dipindah ke laci kesepakatan,
aku suara
yang tak bisa ditandatangani dengan ancaman.
Aku dibawa malam
dalam mobil tanpa plat,
dibisikkan rahasia yang hanya dikenal
oleh tembok dan dentum sepatu laras.
Tapi kini,
aku tidak lagi hanya tubuh
yang ditemukan di bawah daun dan sunyi,
aku menjadi slogan di dada para pekerja
yang menggenggam cangkul dan kertas tuntutan.
Lihat,
aku masih bicara dari megafon-megafon
di depan pagar pabrik.
Aku berkisah dalam spanduk
dan peluh,
tentang keadilan yang dicicil
dengan air mata dan keberanian.
Bandung, 2025
*
YANG PULANG YANG HILANG
Di lorong-lorong
rakyat tidur tak pernah nyenyak
dalam kepala mereka,
kereta api tak henti meraung,
membawa nama-nama
yang tak sempat dicatat batu nisan.
Langit berkabut tinta,
berita buruk disajikan dalam piring-piring kosong,
anak-anak memamah harapan yang digoreng garing
oleh janji-janji.
Ada yang pulang,
tapi matanya tertinggal di kamp-kamp penyiksaan.
Ada yang hilang,
tapi suaranya menggema dari mulut para ibu
Di sudut kota,
puisi Wiji Thukul bersemayam di tembok yang tak sempat dibersihkan,
“Jika orang-orang bicara, penguasa harus waspada!”
tulisnya, sebelum hilang
ke dalam kabut kekuasaan.
Sementara itu di langit lain,
burung besi membawa Munir pulang dalam senyap.
Arsenik bukan akhir dari suara,
melainkan awal dari gema panjang
“Hak asasi tak bisa diracuni.”
Tangan-tangan yang menggenggam cangkul,
yang mengepal di tengah hujan gas air mata,
bukan sekadar simbol,
tapi tubuh
yang disebut —perlawanan.
Mereka yang pulang,
bukan berarti selamat.
Mereka yang hilang,
bukan berarti kalah.
Karena dari tubuh yang remuk,
tumbuh pohon dengan akar paling keras.
Rakyat adalah tanah,
dan tanah tak pernah lupa jejak
mereka yang jatuh di atasnya.
Bandung, 2025
*
BIODATA :
Safri Naldi, lahir di Pematang Siantar, 15 April 1977. Saat ini berdomisili di Bandung dan bekerja sebagai sopir truk pengangkut galon air mineral. Ia aktif menulis di media sosial, khususnya melalui akun Facebook: Safri Naldi.
Puisinya tergabung dalam buku kompilasi bersama 15 penulis lainnya berjudul New Born Poem – DIVERSITY.