Puisi

5 PUISI MOCH ALDY MA

MENDENGAR MITSKI

tanpa kata sandi
kau biarkan dadamu terbuka
seperti mesin cuci
terbiasa menampung
sisa-sisa hari yang panjang:
bibir lelaki bajingan
kemeja kusut
tangis dari transit kereta
bau kecut botol alkohol

di dunia ini, tiada yang milikmu
tapi suaramu kerap kali
tersangkut di tenggorokan &
lipstikmu seolah berderit
dalam nada minor
yang kau pelajari entah dari mana:
kesialan kelak mencintaiku
dengan telak
maka bertaruhlah pada anjing
yang kalah

di kepalamu, cinta adalah
kekerasan yang lembut
yang tak perlu menang
cukup telentang &
berpura-pura tidak penasaran
mengapa bukan diriku saja?

(2025)


CATATAN REDAKSIONAL

Perihal Mitski-esque : Puisi, Luka, dan Nada Minor


oleh IRZI Risfandi

Membaca puisi Moch Aldy MA yang bertajuk MENDENGAR MITSKI terasa seperti masuk ke ruang karaoke jam dua pagi, di mana lampu sudah temaram, isi kepala menggema seperti reverb di kamar mandi, dan satu-satunya yang tersisa dari malam yang panjang adalah tubuh lelah dan suara lirih yang tetap ingin menyanyi. Dalam tiga bait yang ringkas namun padat lara, Aldy menangkap esensi dari apa yang menjadikan Mitski begitu ikonik bagi para pendengarnya: kejujuran telanjang, luka yang dipoles nada, dan kekalahan yang malah terasa sebagai estetika hidup.


Sebagai penyair dan pendiri Gudang Perspektif, serta editor Omong-Omong Media, Moch Aldy MA bukan nama asing dalam lanskap sastra dan opini muda di Indonesia. Ia memiliki gaya khas yang memadukan lirisisme murung dengan kecanggihan visual urban. Di puisi ini, mesin cuci tak sekadar metafora rumah tangga, melainkan lambang tubuh yang terlalu sering menjadi wadah emosi orang lain—halus, tapi penuh sisa, seperti suara Mitski yang menyanyi seolah selalu berada di ambang tangis dan orgasme, dua hal yang dalam hidup bisa sangat mirip rasanya.


Puisi ini cerdas dalam kesendiriannya. Bait kedua menegaskan bahwa kepemilikan bukan soal barang, tapi tentang suara yang tersangkut di tenggorokan—sebuah citra yang begitu Mitski-esque. Bahkan lipstik pun “berderit dalam nada minor”, frasa yang sangat musikal sekaligus pahit. Frase “kesialan kelak mencintaiku dengan telak” adalah jenis kalimat yang membuat pembaca indie mengangguk pelan, ingin menulis ulang caption Instagram-nya. Aldy tak sedang berpuisi untuk terlihat pintar, tapi ia tahu betul bagaimana menulis yang terasa dan tak menggurui.


Namun, bagian paling menggigit adalah bait terakhir—tentang cinta sebagai “kekerasan yang lembut”. Dalam pengaruh Mitski, ini adalah kritik halus terhadap cara cinta ditampilkan sebagai ruang pasrah dan peran bisu. Tak perlu menang, katanya, cukup telentang dan tak penasaran. Ini pernyataan yang centil tapi getir, seolah berkata: “Aku tahu ini racun, tapi aku suka rasa logamnya.” Semacam lirisisme yang tak hendak memberi harapan palsu, tapi juga tak ingin jadi sinis total—sebuah posisi pas di tengah lanskap emosi Gen Z yang ironis tapi rentan.

Puisi ini bukan hanya penghayatan atas Mitski, tapi juga perayaan akan suara-suara minor dalam hidup kita yang sering tak mendapat tempat. Moch Aldy MA, dengan seluruh kredensialnya sebagai penerjemah di OM Institute dan penulis lintas platform, berhasil menyulap satu fragmen pengalaman menjadi partitur kecil yang bisa dinyanyikan diam-diam oleh siapa saja yang pernah merasa menjadi “anjing yang kalah.” Tapi di sini, kita tahu: justru taruhan macam itulah yang paling jujur.


2025


DI GYM

(untuk seseorang yang mengangkat
beban lebih dari sekadar besi)

aku tiba pukul tiga &
hampir telanjang
kulihat kau lalu lalang
dalam diam meregangkan duka
memilih melipur pengar
dengan pegal-pegal

apa alasanmu gym, tanyaku
agar sehat, sahutmu
& tak ada kalimat tanggapan
yang lebih tepat
selain tahi kuda

lalu kau bercermin memastikan
apakah sudah sesuai standar
yang bukan berasal
dari dirimu sendiri

di luar, malam tak lagi punya suara
& pikiranmu menjadi
medan perang
yang tak sempat dipetakan
di meja makan
ibarat penyakit
yang tak bisa dilarikan
ke rumah sakit mana-mana

kini kau memelototi lantai
seperti lupa cara merasai sesuatu
barangkali mengingat ayahmu
yang berjarak kira-kira empat ribu
tahun cahaya

kelak keringat membasahimu kuyup
sebagai alarm paling nyaring
kau masih hidup

& sayap bakal tumbuh
dari punggungmu.

(2025)


YANG MUNGKIN LUPUT

: RP

kita pernah bicara tentang
ruang. tapi tak pernah
benar-benar mengukur
berapa banyak hari buruk
yang kita terobos
tanpa saling memeluk

kau bilang semoga
waktu memungkinkan. tapi
waktu mungkin seperti jarak
tak pernah
sejenak saja berpihak

barangkali jarak jauh
memaksa melahirkan percaya:
bahwa cinta—
meski tubuh tak hadir
ia bisa ada & tumbuh;

misal kangen brutal
yang coba kita siasati
di sela-sela jeda jam kerja
atau selepas semua tuntas
melalui panggilan suara
yang patah-patah

kau tahu sisanya aku kembali
bersumpah serapah
menelan kecut yang tidak kunamai
sambil menerka kalimat
yang tak sempat kau selesaikan
sebab ngantuk mustahil dirujuk

ingin rasanya aku mengucap
alat kelamin pria
dengan bibir yang hanya tahu
cara menciumi—bibirmu.

(2025)


BERTUHANLAH SEDIKIT LEBIH LAMA

bertuhanlah
sedikit lebih lama. kelak
lidahmu bersaksi
tiada hutan selain
aokigahara. tiada hutan
selain aokigahara.

bertuhanlah sedikit
lebih lama. kelak kautahu
seribu tombak
menghunus-menembus
ubun-ubunmu. tanpa satu
pun namun. tanpa alasan. &
bukan penanda apa-apa. selain
pukulan tak bernama
yang telak. & beruntun.

bertuhanlah sedikit lebih
lama. kelak kausadari, ia
cuma ubin marmer
terakhir. atau barangkali
kata kecil yang bersembunyi
di antara kebuntuan &
halusinasi kekanak-kanakan.

bertuhanlah sedikit lebih lama
kelak kaupahami, tiada
lebih ampuh mengobati
dari mati
selekas-lekasnya.

(2024)


MENDENGAR MAZZY STAR

peluk tak pernah cukup
kau mesti masuk
ke dalam tubuhku
mendengar degup jantungku
mereguk darahku
merapikan kepalaku yang kapal pecah
menyunting arah langkahku
tak cuma menatap sepatuku
yang compang-camping

aku percaya binar matamu
bisa membinasa
cahaya biru di mataku
& halus suaramu
bisa memutus Camus
dari pita suaraku.

(2024)


BIODATA :


Moch Aldy MA adalah seorang pengarang, pendiri Gudang Perspektif, editor di Omong-Omong Media, dan penerjemah di OM Institute. Karya-karyanya telah dipublikasikan di berbagai media massa, baik cetak maupun daring.

Check Also
Close
Back to top button