Puisi

5 PUISI MUHAMMAD DAFFA

HALAMAN DI SEBERANG MATA

Kelok sungai ujung muara

menyisa kanak-kanak

bermandi duka, menyisa puluhan perahu

yang kehilangan cara buat sekadar bicara

“biarkan kami tetap disini,

meskipun dilucuti

segala petuah dan pamali,

biarkan kami tetap disini

menafsir bershaf-shaf sunyi

dan ribuan doa

yang tak pernah kehilangan jendela”

Pada sebentang jalan tak bernama,

harapan tumbuh sebagai bunga.

Biarkan jiwa memulai dongengnya sendiri

menyusup sebagai relung terdalam sanubari.

Hujan kerap tiba dengan anyam kenangan,

mengingat sejarah yang temaram:

sejak usiran pertama,

sabana raya tak sekadar hijau nama-nama,

seorang lelaki mengeja sekalian bumi,

tempat segala yang terpencil dari puisi

Banjarbaru, 2024-2025


CATATAN REDAKSIONAL

Sungai, Shaf, dan Sabana: Puisi Daffa, Gelay Asmara dan Geram Sejarah

oleh IRZI Risfandi

“Halaman di Seberang Mata” karya Muhammad Daffa adalah jenis puisi yang begitu dibaca langsung bikin kita pengin ngedip tiga kali, terus nanya: “Bentar, ini puisi apa mantra anak indie tersesat di Sabana ya?” Tapi tunggu dulu, bukan karena sok misterius, justru karena Daffa pinter banget mainin diksi yang sepintas kontemplatif, tapi sebenernya tuh, penuh rengekan eksistensial, keresahan ekologis, dan sinisme lembut soal sejarah yang seringkali cuma mampir di plakat nama jalan. Kalimatnya tidak “to the point”, tapi bukan berarti mengawang-awang. Ia lebih kayak celetukan anak Jaksel yang lagi galau sambil duduk di teras warteg: puitis, ganjen, tapi diam-diam nyentil sosial.


Lihat aja dari bait pertama, “Kelok sungai ujung muara / menyisa kanak-kanak bermandi duka”—ih, langsung kayak dihantam nostalgia tapi nggak dikasih kesempatan peluk. Ada luka ekologis dan politik ruang di sana, diucapkan dengan irama yang mendayu tapi bukan mendayu-dayu. Puisi ini tuh kayak… arisan kata-kata yang datang dari masa kecil, dari tanah yang digusur atau mungkin hanya digunting dari peta. Lalu lanjut ke teriakan sunyi: “biarkan kami tetap di sini… menafsir bershaf-shaf sunyi.”—whoaaa, ini bukan puisi yang santai kayak di pantai, ini puisi yang ngajak mikir kayak pas kamu ditanya dosen: “Apa makna tempat dalam puisi pascakolonial?” Dan kamu cuma bisa jawab, “Eeh… shaf-nya ngambang, Bu.”


Tapi jangan kira Daffa ini penyair yang sok gelap-gelapan, dia tuh juga tahu caranya ngasih kilau di sela kelam. Lihat bait: “Pada sebentang jalan tak bernama, harapan tumbuh sebagai bunga.” Yhaa, udah kayak quote IG cewek berhijab yang caption-nya bisa tiba-tiba viral. Tapi dia nggak berhenti di situ—langsung digas, “biarkan jiwa memulai dongengnya sendiri”—kita disuruh membuka ruang naratif pribadi, untuk mereka yang tercerabut dan kehilangan ruang puisi. Ini seperti bilang, “Hey, kamu bukan cuma pembaca, tapi juga penulis sejarahmu sendiri, bahkan kalau sejarah itu nggak pernah masuk buku sekolah.”


Daffa, kelahiran Banjarbaru 1999, alumni Sastra Indonesia UNAIR, dengan resume hobi horor dan mi instan (relatable banget, jujur), ternyata nulis dengan kedalaman yang nggak bisa direbus instan. Buku puisinya Catatan dari Pekarangan Acak (2025) bisa jadi semacam taman buatan, tapi yang isinya bukan cuma bunga, melainkan juga patahan sejarah dan reruntuhan spiritual. Dia nggak malu-malu nulis puisi yang sok kalem di permukaan tapi dalem banget kalau ditelisik—kayak kaleng biskuit yang ternyata isinya benang-benang luka masa lalu.


Puisi ini jadi reminder bahwa jadi penyair hari ini nggak harus selalu pakai bahasa alien atau ngomongin cinta doang. Muhammad Daffa membuktikan bahwa kita bisa tetap ngehits, tetap kekinian, tetap gelay sama diksi, tapi juga bisa kritis dan peka. “Halaman di Seberang Mata” bukan cuma tentang tempat yang jauh, tapi tentang jarak yang dibangun sejarah, bahasa, dan kadang… kebijakan ruang yang diskriminatif. Puisi ini bukan cuma ajakan untuk membaca, tapi juga untuk mengintip ulang peta hidup kita: siapa yang tinggal, siapa yang diusir, dan siapa yang cuma ditonton. Bravo, Daffa—puisi kamu, meski sunyi, tetap ramai di hati!

2025


PROLOG TAHUN

Berlepaskah tubuhku
Kepada mantra,
membujuk sekawanan hantu
terbang menjerit berpuluh nama
Yang aku tak tahu siapa mereka,
(tubuh-tubuh telentang
Dengan masa lalu penuh lubang)

Sepenuh suara mari redamkan,
Kita jelajah ruang tak terpemanai,
mengiris cahaya kali kesekian
sebelum tahun menenun halimun
Mengurai ingatan-ingatan majenun

22.15 wita


RUMAH-RUMAH PATAH

Kudengar rumah-rumah patah.
jejak ibu khatam ditinggal malam.
Seorang bayang tiba
Menyilet hujan di telapak tangan.
dinihari rekah,
sepotong bulan menggenang dosa
Bibirmu siap menyambutnya,
tapi kepulangan belum menggurat tanda kembali
Hanya bisik arwah di sebalik kitab darah.
Tubuh kita bersiul kepada dingin, seluruh suara
Tak lagi menemu wajah, dirundung mendung.
Kutukan demi kutukan yang kutanggung

Kupahat jalan pulang
Sebagai satu-satunya jejak,
tubuh kita yang bersiul
Masih terus kumandang
Dalam parodi warna.
Ingatan mengucur
Menolak serangan guntur

kau kah yang bersebut di batas tafsir,
Sunyi yang melukis
Satu-satunya gerimis

00.32 wita


ZIARAH KE SEKIAN

Cakarlah namaku terpahat di nisan kayu,
Setengah tahun menunggu ziarah rindu yang biru
Malam kita beradu, mimpi yang terbongkar

Pekik kanak waktu pertama kali temukan hantu
Bersembunyi di cermin ibu
Suara-suara yang berhulu dari catatan tua
Menyelipkan tangis seiring gerimis

13.32 wita


PARODI DARI PERTEMUAN TAK DISENGAJA

Di ujung gang,
Lelaki itu bercakap dengan bola api
Sempat kukira itu banaspati
Si penjagal berilmu tinggi
Tubuhku mengambang
Bersama pertanyaan-pertanyaan

Lelaki itu, di ujung gang, masih terus bercakap
Bola api di hadapannya tak mau hengkang

Kupikir bola api itu adalah mendiang warkiman

Dukun tenung paling celaka,
Dikirimkannya padaku ratusan paku suatu ketika,

Si bola api dan lelaki di ujung gang
Menoleh ke arahku
Tubuh yang mengambang
Bersama pertanyaan-pertanyaan

Sementara di belakangku
Sekawanan kunti
Tanpa busana
Seolah berbisik dan mengatakan
“ayo sejenak berwisata malam
Ke pekarangan belakang rumah warkiman
Di sana ia kembali bugar
Dan membangun kerajaan
Berikut bola-bola api,
Si penjagal paling jahanam!”

08.55 wita


BIODATA :

Muhammad Daffa, lahir di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, tahun 1999. Ia adalah alumnus Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Airlangga. Pecinta film-film horor dan penggemar mi instan ini kerap kali bingung saat ditanya soal matematika. Buku puisi perdananya berjudul Catatan Dari Pekarangan Acak (Penerbit Lumpur, 2025). Ia dapat ditemui di Instagram: @sebermulahujan.

Back to top button