Puisi

5 PUISI R. ABDUL AZIS

Mereka Tidak Akan Pernah Berontak

—Orwell

di kota keparat ini, mungkin
masih ada cinta yang mungkin

tetapi aku mencintainya
tetapi aku juga tak mencintainya

seperti puisi ini
yang tak mengalahkan apa-apa

tak mengatakan nakal cinta
yang sekekal malam putih Neruda

kemudian, adakah kangen batas UMR
sampai pada upah guru honorer

mungkin ada mungkin, tiada
bukankah nasib sering ditentukan nasab

dan kerabat dan kolega
dan tidak ada salahnya

tidak ada, salahnya
tidak, ada salahnya

tetapi aku masih saja mencintainya
aku masih tak mencintainya

sendu taman kota dan cagar budaya
sendu penggusuran dan penebangan

pohon-pohon, kritik, keprihatinan
menjadi memori hampa

menjadi slogan kopong kampanye
menjadi sebatas harum kolonye

begitu artifisial begitu sial
seumpama aku membayar parkir liar

dan tetap juga kehilangan
dan puisi ini masih juga tetap

tak mencintai kekalahan zaman
sekaligus mencintai kota keparat ini

2024

*

CATATAN REDAKTURIAL


Cinta di Kota Keparat: Sebuah Puisi yang Tak Mau Menang

oleh IRZI

Puisi R. Abdul Azis yang berjudul Mereka Tidak Akan Pernah Berontak bukanlah sebentuk perlawanan frontal seperti puisi-puisi manifesto yang meluap bagai bom molotov. Justru, ia memilih jalan sunyi dan getir: mengeluh dengan nada datar, mengelus luka dengan elegan, dan mengakui bahwa bahkan puisi pun tak bisa mengalahkan apa-apa. Di kota keparat, katanya, masih ada cinta—barangkali. Tapi cinta itu tak mutlak, tak tuntas, tak juga utuh. Ia seperti puisi ini: ambigu, membelah diri di antara mencintai dan tak mencintai. Inilah puisi yang memilih berdiri di ambang, antara lirih dan lirih yang lebih lirih. Dan anehnya, justru dari sanalah letupan paling tajam muncul.

Lahir dan tinggal di Bandung, R. Abdul Azis bukanlah nama asing bagi pembaca sastra kontemporer. Ia dikenal sebagai penulis yang menyukai nuansa absurd, subtil, dan lelucon getir dalam narasinya. Buku kumpulan cerpennya Situasi yang Tak Menyenangkan (2019) dan kumpulan puisi Halaman Ganjil (2022) menunjukkan gaya penulisan yang konsisten dalam memelintir kenyataan dengan humor pahit. Dalam puisi ini, dia tampil sebagai orang yang lelah dan sadar: bahwa menjadi penyair bukan berarti selalu berteriak dari menara gading, tapi bisa juga menggerutu sambil membayar parkir liar dan tetap kehilangan.

Ada permainan diksi yang subtil dan jitu di dalam puisi ini. Repetisi seperti “tetapi aku mencintainya / tetapi aku juga tak mencintainya” atau “tidak ada, salahnya / tidak, ada salahnya” membentuk irama internal yang menjebak pembaca dalam pusaran ambigu. Ini bukan hanya soal keraguan personal, tapi cerminan kondisi sosial-politik yang pelik. Kita tak lagi yakin pada cinta, pada kota, bahkan pada puisi. Apakah ia cukup untuk menyentuh realitas? Azis tahu jawabannya, dan ia tak malu menyebut: puisi ini tak mengalahkan apa-apa. Bahkan ketika ia menulis tentang UMR dan guru honorer, atau tentang penggusuran dan cagar budaya, semuanya kembali pada “memori hampa” dan “slogan kopong kampanye.”

Namun justru karena mengakui kekalahan itulah, puisi ini menang di tempat lain: pada kedalaman perasaan dan ketajaman sindiran. Ini adalah puisi tentang cinta yang tak heroik, tentang kota yang dicinta-dibenci, tentang hidup yang berjalan terus meski kita tahu semuanya kacau. Dan seperti ironi pamungkasnya: bahkan setelah semua ditelanjangi dan disesali, kita masih mencintai kota keparat ini. Masih menulis puisi, walau tahu puisi pun tak bisa menyelamatkan zaman.

Dengan teknik minimalis, bunyi repetitif, dan ironi getir yang dibungkus santai, Azis berhasil membuat puisi ini seperti sepotong roti tawar basi yang tetap disantap karena kita lapar, bukan karena enak. Ia tahu betul bahwa revolusi kadang hanya tinggal nostalgia, dan bahwa kadang satu-satunya hal yang bisa kita lakukan adalah mencintai apa yang tak layak dicinta—dan menuliskannya dengan jujur, serapuh itu.

2025
*

Neng

bulan lagi gendut
ombak pasang cinta menerang

sunyi batin leluhur
bergetar di awang-awang

kemudian dingin puisi
ditinggalkan dibiarkan

mati dalam rahasia
dalam akal sempit manusia

2022
*

Sebelum Puasa

—Ilham Mift

sudah ditunggu juga
ia di sana

dijemput dan dikawal
sebelum hari makin pejal

dan kita akan jumpa juga
dengan si Cinta nantinya

yang paling inti
dari keasingan diri

2024
*

Seruan, Seruan

orang-orang papa lama tiarap
bangunlah! bangunlah!

jiwanya mesti dihidupkan
raganya basuh disucikan

dan apabila kita tersadar
rawatlah! rawatlah keprihatinan!

kewarasan bukan warisan
hanya dalam catatan perjuangan

ia mesti ditemukan di perut lapar
di nasib buruh serabutan

anak-anak yang belajar berdiri
yang lusa bakal dewasa

mesti diajar berjiwa besar
mesti berani berkata benar

sebab suara orang-orang papa
penting didengar! penting didengar!

2025

*


Januari

ular mimpi hitam
dari barat laut

seberkas kelam
dan sejengkal maut

2025
*

R. Abdul Azis

Tinggal di Bandung. Bekerja sebagai penulis lepas. Beberapa karya sempat dimuat di media massa, dan telah menerbitkan buku kumpulan cerpen “Situasi yang Tak Menyenangkan” (2019), buku kumpulan puisi “Halaman Ganjil” (2022).

Back to top button