5 PUISI RIRI SATRIA

KEMBALI AKU DENGAR AZAN SUBUH DI MASJID NABAWI
Kembali aku tertunduk
Bersimpuh menghadap-Mu
di pelataran Sang Nabi jelang pagi
Orkestra memuja kebesaran-Mu menggema
memenuhi ruang-ruang kefanaan
di semua penjuru Semesta Raya
Aku semakin terasa kecil
lalu aku tenggelam
dalam pusaran
keagungan-Mu
Akankah kecilnya aku
berarti pada kebesaran-Mu?
(Masjid Nabawi, Madinah Al-Munawaroh, Mei 2025)
CATATAN REDAKSIONAL
Kembali Aku Dengar Azan Subuh Di Masjid Nabawi
oleh IRZI Risfandi
Puisi “Kembali Aku Dengar Azan Subuh di Masjid Nabawi” karya Riri Satria adalah sebuah perenungan ruhani yang mengkristal dalam sebaris azan dan lanskap spiritual Madinah. Tidak ada pengantar yang berbelit: bait pertama langsung menundukkan pembaca pada suasana hening nan khusyuk di pelataran Masjid Nabawi saat fajar menyingsing. Azan Subuh bukan hanya panggilan ibadah, tetapi gema transenden yang membelah ruang-ruang duniawi, menjadi orkestra ilahiah yang menggetarkan batin manusia yang mencari makna. Sang aku liris menyimbolkan manusia modern—mungkin profesional urban, cerdas dan digital, namun tetap merasa kecil saat ditundukkan kehadiran Yang Maha Agung. Maka, pertanyaan pamungkasnya “Akankah kecilnya aku berarti pada kebesaran-Mu?” bukan retorik, tapi jeritan eksistensial.
Karya ini berbicara dalam bahasa kontemplasi yang sangat sunnah way; sebab kehadiran di Masjid Nabawi bukan hanya ziarah fisik, tapi perjalanan maqamat (tingkatan ruhani) seperti yang ditunjukkan Rasulullah ﷺ kepada para sahabat. Dalam sebuah hadith yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah ﷺ bersabda: “Antara rumahku dan mimbarku adalah taman dari taman-taman surga.” (HR. Muslim). Puisi ini, dengan elegan, menangkap nuansa taman surga itu—sebuah ruang spiritual yang bukan hanya realitas tempat, tapi keadaan jiwa. Riri Satria menuliskan ketakjuban bukan dengan kekakuan religius, tapi dengan kekaguman intuitif, lembut dan reflektif, sangat sesuai dengan etos Qurani yang penuh tazakkur: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal…” Quran Surah 3:190
Riri Satria, lahir di Padang pada 14 Mei 1970, bukan hanya penyair—ia adalah intelektual digital dan pejabat negara yang mengemban peran dalam dunia teknologi siber Indonesia. Namun puisi ini memperlihatkan sisi lain darinya: manusia yang melepaskan segala atribut duniawi dan bersimpuh dalam diam. Menarik bahwa ia menulis puisi ini dari Masjid Nabawi pada Mei 2025—di tengah rangkaian ibadah Haji yang masih akan berlangsung.
Keindahan puisi ini juga terletak pada kekiniannya. Ia tidak sibuk dengan diksi klasik yang berbunga, tapi menawarkan tafakur dalam bahasa yang bisa diresapi generasi milenial dan digital. Menggunakan metafora musikal “orkestra memuja kebesaran-Mu”, ia menarik pembaca untuk membayangkan harmoni kosmik dalam format akrab. Di sinilah kekuatan syair Islami kontemporer: bukan sekadar mengutip ayat atau hadith, tetapi menghidupkannya dalam realitas batin manusia kini. Al-Qur’an sendiri menyuruh manusia untuk “melihat” bukan hanya dengan mata, tapi dengan hati: “Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka memahami…” Quran Surah 22:46
Puisi ini bukan sekadar nostalgia religi atau romantisme ziarah, tapi ajakan untuk kembali ke asal penciptaan manusia—yakni makhluk yang diciptakan “lemah” (Quran Surah 4:28) namun diberi kehormatan “khalifah.” Maka justru dalam rasa kecil, ia menjadi berarti, sebab dalam Islam, keagungan tidak bertumpu pada kekuatan, tapi pada tunduk. Maka, puisi ini tidak hanya pantas dibaca, tapi direnungkan sebagai pengalaman ruhani yang sesuai dengan semangat hadith Nabi ﷺ: “Barangsiapa merendahkan diri karena Allah, maka Allah akan mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim)
2025
AKU RINDU AZAN MAGRIB DI MASJID AL-HARAM
Partitur Keagungan itu menyala
Menundukkan hati yang tafakur
Dalam pusaran energi Ilahiah
Megisi ruang-ruang kosong batiniah
Aku rindu lafaz-lafaz itu
kala dulu pertama kali bersimpuh di depan Baitullah
lalu keagungan-Mu dalam gema itu
merengkuhku
Keagungan-Mu
menudukkan ego
duniawi-ku
(Masjid Al-Haram, Makkah Al-Mukarramah, Mei 2025)
TAWAF
Suatu saat aku kan kembali ke sini
menjemput sepotong puisi
direngkuh Cahaya Langit
berteman ayat-ayat kebenaran
serta ayat-ayat kesabaran
Puisiku
mengitarimu
mengalir
menembus Sang Waktu
Kutinggalkan puisi di sini
tentangku
tentang-Mu
dalam tawafku
(Masjid Al-Haram, Makkah Al-Mukarramah, Mei 2025)
MUNAJAT
Jika itu jalan kebaikan
lanjutkanlah
berkahilah
rahmatilah
Jika itu jalan kesalahan
hentikanlah
luruskanlah
tunjukilah
Hanya ada satu alan cinta
jalan dari-Mu
Sang Maha Cinta
Kembali kumunajatkan
lengkapilah puisi panjangku
dengan tanda-tanda dari-Mu
di depan Taman Agung
Aku mohon
dalam pemujaanku
dan shalawatku
(Rawdah, Masjid Nabawi, Madinah Al-Munawaroh, Mei 2024/2025
TUNDUKKU, TAFAKURKU
Lewat tengah malam
dari ruang pusaran energi Semesta
kukirimkan doa dalam puisi
tentang rindu kepada-Mu
memohon maghfiroh
Aku hanyut
dalam gelombang dan arus
ayat-ayat-Mu
Aku dipeluk erat
Ar-rahman dan Ar-rahim
(Masjid Nabawi, Madinah Al-Munawaroh, 2024/2025)
BIODATA :
Riri Satria, lahir di Padang, 14 Mei 1970, adalah Ketua Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM). Ia telah menerbitkan empat buku puisi tunggal: Jendela (2016), Winter in Paris (2017), Siluet, Senja, dan Jingga (2019), serta Metaverse (2022), selain turut berkontribusi dalam lebih dari 60 antologi puisi bersama. Selain menulis puisi, ia juga menulis esai, di antaranya buku Untuk Eksekutif Muda: Paradigma Baru dalam Perubahan Lingkungan Bisnis (2003), trilogi Proposisi Teman Ngopi (2021), serta Jelajah (2022).
Dalam kesehariannya, Riri adalah Staf Khusus Menkopolhukam RI bidang teknologi siber dan digital, dosen di Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, Komisaris Utama PT ILCS (Pelindo Solusi Digital), serta Anggota Dewan Penasihat ILUNI UI.