Puisi

5 PUISI SULTAN MUSA

LUKISAN TIGA PEREMPUAN

I
Perempuan yang sedang merakit
tubuh lagi, kelak yang dilahirkannya
kuat tanpa harus tumbang oleh badai
teriring mitos belum tentu bisa dipercaya
namun, ranum di setiap musim berlalu
selalu ada yang abadi dari
sepanjang hayat kasihnya

II
Perempuan yang belum selesai
dengan dirinya
meredam ramainya isi kepala
siapakah dia sesungguhnya ?
berkisah memanjakan diri
dibalik mereka yang tak paham
merajut kegelisahan menjadi
lukisan kehidupan
merangkai keseimbangan serupa
pelajaran hayat
…..benar – benar tidak paham
bahwa ketidaktahuan sumber
ketakutan

III
Perempuan pengelana pikiran
tempat dimana menyukai hujan
membuatnya menari dalam keteduhan
bertarung bila hanya gerimis;
karena ia hanya mempercepat kelam
dan berjalan lambat
dibingkainya langit sebagai
catatan musim yang terlipat
….ia hanya terombang – ambing
di antara tetap menikmati
atau pergi menjauh ?


-2024


CATATAN REDAKSIONAL


Tiga Perempuan dalam Bingkai Musa: Lukisan yang Belum Selesai, Tapi Sudah Menyentuh


oleh IRZI Risfandi

“Perempuan yang sedang merakit tubuh lagi,” begitulah Sultan Musa membuka salah satu fragmen paling menyentuh dalam puisi “Lukisan Tiga Perempuan”. Kalimat itu bukan sekadar bait pembuka, tetapi sebuah ledakan lembut yang langsung mengguncang kesadaran: perempuan bukan objek pujaan, bukan pula korban yang diam—melainkan subjek aktif, seorang perakit dirinya sendiri, yang melahirkan kekuatan dari luka dan badai. Bait ini menghentak karena ia membalik klise menjadi kuasa. Ini bukan puisi yang bicara indah-indah tentang perempuan, tetapi puisi yang memotret keberanian mereka untuk “kuat tanpa harus tumbang oleh badai”, sambil terus dicumbu mitos dan realitas.


Pada bagian pertama, perempuan digambarkan sebagai energi yang melahirkan dan merawat, tak sekadar biologis, tapi spiritual. Musa menyulam sosok ini dalam bingkai ketahanan: “selalu ada yang abadi dari sepanjang hayat kasihnya.” Ia tahu benar, cinta seorang perempuan tak bisa diringkas dalam bentuk bunga atau embun pagi. Cintanya bukan kelembutan saja, melainkan daya tahan yang nyaris suci.


Lalu kita masuk ke bagian kedua yang lebih kontemplatif—di sinilah Musa mengendapkan bunyi: “Siapakah dia sesungguhnya?” tanya yang menggema di tengah kegelisahan perempuan yang belum selesai dengan dirinya sendiri. Musa seperti menampar lembut masyarakat yang selalu menuntut perempuan untuk baik-baik saja. Perempuan dalam puisi ini justru merayakan ketidaksempurnaan, menjadikannya “lukisan kehidupan” yang jujur. Di titik ini, kita mendapati kritik sosial yang subtil tapi tajam: bahwa kita takut bukan karena perempuan terlalu keras kepala, tapi karena kita tidak siap memahami kompleksitasnya.


Bagian terakhir menjadi penutup yang paling puitik dan sendu. “Perempuan pengelana pikiran… menyukai hujan… bertarung bila hanya gerimis.” Sosok ini adalah metafora atas perempuan yang tidak lagi nyaman di ruang domestik pujian dan romantisasi. Ia berjalan lambat, tak tergesa—karena yang ia cari bukan validasi, melainkan makna. Ia tahu kapan harus menetap, kapan harus menjauh. Dan mungkin, ia juga tahu bahwa luka pun bisa menjadi tempat tinggal yang sunyi tapi tak palsu.

Sultan Musa, penyair dari Samarinda yang karyanya telah berkelana dari Kalimantan hingga Turin, Italia, adalah nama yang patut dicatat lebih lantang. Lewat Titik Koma dan karya-karya teranyarnya, ia membuktikan bahwa puisinya adalah ruang yang disediakan untuk merasakan, merenung, dan terkadang berselisih dengan batin sendiri. “Lukisan Tiga Perempuan” adalah karya yang merayakan perempuan dengan cara yang jarang dilakukan: memberi mereka ruang untuk membangun, bersedih, bertanya, bahkan menjauh. Dan dalam keheningan tiap baitnya, ada kekuatan yang tumbuh tanpa suara, tapi memekakkan telinga nurani.
2025


MENJEJAK KEMBANG (MASIH) BERMEKARAN


: teruntuk Perempuan

Sedang kulihat kembang bermekaran
Menjemput sejuta impian tanpa lelah
Disela melancarkan restu perjalanan
Tanpa perlu takutnya jalan nan terjal
Pun saling tersenyum

Sudah kusaksikan kembang bermekaran
Bercerita tentang suatu kehidupan
Melukiskan diri sebagai seorang ibu
Meski mulanya airmata mengalir
Pun saling menumbuhkan

Kupeluk syair ini adalah
Mengabadikan kasihku atas kembang
Ataupun sekedar menorehkan
Akan ranumnya wangi kembang ini

Sambil berbisik ;
Berilah sedikit waktu agar kembang terus
Bermekaran, pada lingkaran terdalam
Atas nama cahaya jiwa
Meski kelak akan layu berpulang dengan
Jalan ranum yang berbeda-beda

Dan hari ini, bila ada yang melihat tarian kembang sembari bermekaran
Sampaikan ‘doaku selalu teriring untuknya’
Sejauh angin yang tiada penghujung

(maka kusebut mereka perempuan tanpa mendebat sebagai apa dalam kebesaran cinta-nya, dan mereka tersenyum di sini…..di taman kehidupan tempat kembang beradu mekar)
-2023


PEREMPUAN BERSELIMUT KABUT


Walaupun kabut diam, namun selalu berbisik diantara remah dalam kesaksian
Dan mengurai dalam ketenangan

Melihat luas samudera pada kedalaman hati,
Jauh nan memancarkan keteduhan
Tak perlu dijawab, perempuan ini tahu
Yang mana hati indah atau pun sebaliknya

Di pangkal talu berpacu kekuatan, mengubah hikmah kebaikan dibaliknya
Menghadirkan himmah dari sang pendahulu
Dalam wujud atau bayangan limpahan ruhani mengucur pada perempuan ini
Lewat dzikir nurnya tiada batas, tauhidnya tiada usai
Menjelma semesta yang tak meredup, dzikir tanpa suara
Kabutnya bertualang menuju mata rantai
Dalam damai yang selalu tersenyum

Dalam kabut perempuan ini, menjelma dalam kebaikan
Menebar kebaikan, berprasangka pun bersama kebaikan
Meskipun tidak diperlakukan secara baik

Perempuan ini yakin ada yang terbuka,
Meski akhirnya setiap orang mempunyai pandangannya masing – masing
Sebelum atau sesudah perempuan ini dihadirkan

Perempuan ini mengarungi tapak, tanpa berhenti
Berlelah – lelah dalam kabut hanya mencari ridho-nya
Tujuan yang pasti sampai, bagi hari baru untuk setiap napas

-2023


MENYIBAK PERJALANAN SUNYI AIR

Setiap air mengalir memiliki ceritanya sendiri
Menalamkan rantai dingin kehidupan
Dari menyimak makna dan rahasia semesta
Setiap tetes punya ribuan cerita

Setiap air menyusuri perihal kebaikan
Keseimbangan yang tak pernah usai
Tempat tenang untuk bercermin diri
Dari siluet waktu terus berkejaran

Setiap air menyapa rentang usia
Berkelana lewat rencana tuhan
Menelisik kedalaman riak jiwa
Di tengah kisah dunia yang gaduh

Jauh dari pada itu semua,
Air menyemaikan tempat pertemuan
Antara sayap kenangan dan impian
Memecah kebingungan perihal
Yang mungkin belum kita mengerti
Sampai waktunya tiba untuk kembali

“setiap perjalanan adalah juga kepulangan”

-2025

AIR , LEBIH BAIK MENJAGA DARIPADA MENETESKAN AIR MATA

Tak ada perjalanan dari hulu menuju ke hilir, berhenti sejenak di tempat tenang itu
Terdiam serupa memaknai kehidupan—-dalam ramai sepi kurindu

“ya ! Yang kamu cari itu, aku” ujar air
Lamat-lamat mengalir bersama, namun tak menambatkan ke arah yang sama
Beradu melintasi ragu dan takut diantara musim yang tak usai
Kadang terburu kisah rapuh kehangatan mentari
Atau terbakar makna diantara baris-baris riak

Kini kutahu betapa ranumnya menemani saat hulu mengalir, atau
Menghilangkan keruh gemericik hilir yang terpendam
Serupa merangkai pesan : lebih baik menjaga, daripada meneteskan air mata

-2025


BIODATA :


Sultan Musa berasal dari Samarinda, Kalimantan Timur. Karya-karyanya telah tersiar di berbagai media cetak dan daring, baik nasional maupun internasional. Puisinya juga terhimpun dalam sejumlah antologi bersama penyair Indonesia dan mancanegara.


Buku puisi tunggalnya berjudul Titik Koma masuk sebagai nomine Buku Puisi Unggulan Penghargaan Sastra 2021 dari Kantor Bahasa Provinsi Kalimantan Timur. Puisinya juga terpilih dalam ajang “Challenge Heart and Art for Change” di Collegno Fòl Fest, Turin – Italia (2024), serta lolos kurasi dan dipamerkan dalam “Kalang Exhibition” yang digagas oleh Triaksara Pengairan – Malang (2025).


Namanya tercatat dalam buku Apa & Siapa Penyair Indonesia yang diterbitkan oleh Yayasan Hari Puisi Indonesia (2017).


Instagram: @sultanmusa97

Check Also
Close
Back to top button