Puisi

5 PUISI VITO PRASETYO

Elegi dalam Sebotol Champaigne

Terkadang kita hanya mampu meratap panjang dalam elegi puisi yang tidak berkesudahan, yang memaksa diksi menjadi frasa terindah bagi para hedonis.

Kita adalah kata-kata yang kehilangan muara kebebasan, yang tidak memiliki pilihan dalam kebenaran, selain berlari; bersembunyi di kolong-kolong ketakutan.

Kita hanya mampu menabuh angin kosong, dalam doa-doa yang tidak lebih indah dari percakapan penista makna.

Mereka tetap bercengkerama; mungkin dengan cerutu di bibirnya; mungkin juga sebotol Champaigne telah melumuri meja jamuan sajak, yang berisi omongan-omongan kotor mereka

Tetap saja, itu menjadi frasa terindah dalam penindasan.

Ada baiknya kita harus diam, dengan bahasa masing-masing, melatih kesabaran kita; memaknai ketabahan seperti perahu-perahu nelayan yang tetap mengarungi lautan.

Biarkan angin mendera, biarkan matahari merajam kulit kita.

Sebab hanya itu yang membuat kata-kata menjelma nyala api, yang tidak perlu disulut di hadapan wajah-wajah tanpa nurani

Malang, 2025
*
CATATAN REDAKTURIAL

Menenggak Champaigne di Jamuan Pahit Puisi

Oleh IRZI

Kalau elegi biasanya dibacakan dengan nada lirih, penuh air mata, maka Vito Prasetyo memilih meminumnya dengan sebotol Champaigne dan sebatang cerutu. Tapi jangan buru-buru membayangkan pesta. Puisi berjudul “Elegi dalam Sebotol Champaigne” ini justru seperti pesta pora di tengah reruntuhan—komikal, getir, dan nyinyir dengan gaya elegan. Vito, yang lahir di Makassar pada Februari 1964 dan telah menulis sejak 1983, adalah penyair senior yang tahu betul cara menyembunyikan peluru kritik di balik serbet kata-kata mewah. Pengalamannya yang panjang—dari Kompas hingga Utusan Borneo, dari Majalah Pusat hingga Jawa Pos—membuat puisinya terasa seperti martini sastra: tajam, berkelas, tapi memabukkan secara batiniah.

Vito membuka puisinya dengan keluhan puitik yang, jujur saja, terdengar seperti gumaman penyair yang sudah terlalu lama melihat kemunafikan beredar di meja-meja sastrawi. Ia menulis, “Terkadang kita hanya mampu meratap panjang dalam elegi puisi yang tidak berkesudahan…” dan boom! Kita langsung digeret ke dalam dunia yang penuh diksi cantik, tapi dengan makna yang ditikam dari belakang. Ada kecentilan di sana, ketika ia menyebut “para hedonis” sebagai konsumen utama puisi—seolah menyindir segelintir penyair dan pembaca puisi yang lebih peduli pada estetika kemewahan ketimbang penderitaan yang dilisankan.

Dan jangan lewatkan permainan metaforanya yang agak nakal: cerutu, meja jamuan, angin kosong, kolong ketakutan—ini semua seperti pementasan opera absurdis yang aktornya sedang membaca puisi sambil menyumpahi kenyataan. Vito tahu benar cara menabur sindiran, terutama pada mereka yang bercengkerama sambil menindas, seolah berkata, “Kalian pikir kalian sedang berseni, padahal sedang berdusta dengan kata-kata.” Di sinilah kekritisan Vito terasa centil tapi menggigit, seperti orang tua yang pura-pura tersenyum saat melihat anak muda bicara kebebasan, padahal mereka sendiri tak tahu dari apa mereka ingin bebas.

Lalu, Vito memberi kita satu momen kontemplatif—semacam ruang jeda setelah kritik sosial yang meletup. “Ada baiknya kita harus diam, dengan bahasa masing-masing…” Ini bukan menyerah. Ini adalah taktik. Karena Vito tahu: melawan dengan puisi tidak berarti berteriak. Kadang justru diam yang membuat kata menjadi peluru. Dalam diam, ia memperbandingkan kita dengan perahu nelayan: tabah, sabar, dan terus melaju. Lagi-lagi, bahasa sederhana ini menyimpan lapisan kritik sosial yang dalam—bahwa ketabahan rakyat jelata selalu menjadi latar dari pementasan para elite dengan cerutu dan champaigne mereka.

Maka jangan kaget kalau puisi ini terasa seperti satire kelas menengah rasa sastra tinggi. Vito Prasetyo menyusunnya seperti lukisan realis yang dicoret dengan grafiti sarkasme. Ia tidak sedang mengeluh, ia sedang menyindir dunia yang terlalu pandai bermain kata, tapi lupa bagaimana merasakan. Di akhir puisinya, ia menuliskan, “…kata-kata menjelma nyala api…” —dan sungguh, dalam puisi ini, api itu terasa. Tidak membakar tubuh, tapi membakar nurani. Dan jika kamu merasa panas, barangkali kamu sedang duduk di meja yang sama dengan para penista makna itu. Sudah siap meneguk elegi ini, atau masih mencari sedotan kata-kata yang nyaman?

2025

Simphoni Kematian

setajam angin, mengiris tulang
liang tanah menanti
aroma pemakaman pun
mendengus di tubuh rerumputan
di atas sana,
gemintang berjalan serupa
penyiksaan aib
hujan hanya teduh letih
yang ucapkan: amin
malam kian rapuh
terpasung ingatan
sepasang jagal menghampiri
bagaikan malaikat tanpa sayap
sorot mata ini pasrah
sunyi dan sepi, terpaku bisu
tak bergeming
hanya terbaca: kematian
adakah cara bijak untuk tidur
berjalan teratur, seperti sinar
membungkuk, menyelusup dan mengendap
atau berlari serupa mimpi
: menunda ajal

awal malam, juga akhir
episode yang ternoda
cangkul dan linggis
mendera keras
daging terkuliti, api menjulur
tungku membara, perapian cinta
tulang makin memutih
seperti sinar dalam salju
melintasi tanah: liang lahat
itu jalan terindah
tak ada kabut
kubaca sekali lagi
di penggalan bait
beraroma anyir dan amis membungkus paragraf kata
hidupkan doa, meracik
pengadilan akhir
setumpuk dosa
kibarkan rasa sesal
tak ada lagi tempat
kepala bersujud
bukankah kematian itu indah
airmata pun sirna
mengering di tungku membara
langit bersorak, senandungkan
simphoni kematian
karena itulah keabadian
musang dan serigala
datang berziarah
kalungkan sajak, di atas pusara
rimbun ilalang memainkan
kecapi dan seruling
suara-suara memekak
jalan telah buntu

Malang, 2021
*

Ritual Asmara Li Bai

Li Bai,
lidahmu mengusap matahari
terik siang seakan mengukus air Sungai Yangtze
engkau duduk menanti malam dan merenda gelisah
bukankah rembulan mengelupas, wajahnya sembab
sebab tidak ada gadis yang menawarkan cinta

Li Bai,
engkau meracik sajak dengan merica, garam, bumbu dapur  untuk menjaring asmara
dan itu membuat lengkingan purnama kian tersayat
seperti menabuh angin, engkau lalui hari-hari kosong
menggenapi kesunyian rembulan di malam hari
Li Bai terkadang aku melihat sosok Li T’ai Po
dalam botol arak pada jamuan sajak
seperti mengeja mantra di secawan kosong
dan engkau meracau hingga pagi menyambut
sedingin salju dalam dekap gigil puisimu
mungkin engkau akan meratapi uban rambutmu
pada musim-musim yang mencengkeram kematianmu

2024
*

Kereta Terakhir Hedonis

kereta bergegas tinggalkan musim
rodanya merintih, terseok-seok memanggul beban
matanya tajam, seakan menjelma jagal
sepanjang jalan, kemarau kian murka
sorak-sorai kerikil, suaranya terdengar gemeretak bagai percikan api
sebab petang kian dekat merangkak, nyalakan perjuangan
di ujung senja, anak  kecil menggelar ritual musim
perjalanan bagai mengurai rasa tabah
dalam duka tanpa penghujung
impiannya berkelana jauh, seakan ingin memecah tembok waktu
biarkan masa menyusunnya kembali menjadi orbit peradaban
menindih kisah, sebab sejarah terkadang melukai impian
bukankah parutan kelapa tinggalkan ampas
dan santapan baru disajikan dalam pesta sajian sajak
agar aroma tetap mengudap kata-kata polos
biarkan kereta tetap berlari dalam kudapan hedonis
sebab malam telah menanti dalam impian baru
tetapi bagi penguasa tidak perlu tidur untuk meraih impian
“mulutku lebih buas dari singa dan harimau!”

2024
*

Fragmen Kata-kata

kita kecil bukan karena menjadi rakyat
kita besar bukan karena menjadi raja
karena kita semua adalah sederet huruf
yang membuat kata-kata menjadi  bermakna
telah adilkah huruf itu bagi huruf yang lain?
apakah kata-kata memang harus tetap polos dan tabah
di tengah kegetiran dan kebisingan hidup
hanya puisi, tempat semesta cinta bagi kata-kata itu

2024
*

VITO PRASETYO, dilahirkan di Makassar, Februari 1964 — Agama: Islam — Bertempat tinggal di Kab. Malang–  Bergiat di penulisan sastra sejak 1983.

Karyanya telah dimuat puluhan media cetak nasional, dan Malaysia, antara lain: Koran TEMPO Media Indonesia  Jawa Pos – Pikiran RakyatKompas.id Kedaulatan Rakyat  –  Republika Solopos  Majalah Pusat Suara Merdeka – Utusan Borneo, dll.

Termaktub dalam puluhan buku antologi, antara lain “Apa dan Siapa Penyair Indonesia “ (2017)

Beberapa kali masuk nominasi dan juara, antara lain: Juara 3 Lomba Cipta Puisi Grup FB HPI Tahun 2022

E-mail : vitoprasetyo1964@gmail.com

WA: 085336361115

Check Also
Close
Back to top button