Puisi

5 PUISI ZABIDI YAKUB

Gambir

benar belaka, jelang subuh
di Stasiun Gambir bus berlabuh
gelombang manusia meriak
mataku yang digoda kantuk

terbelalak oleh kobaran api
sangkaku ada yang terbakar
rupanya tidak, hanya serupa api
itu puncak Monas yang memar

terbakar panas matahari
warnanya kuning keemasan
merah tembaga seperti matahari
menggoda mata dari kejauhan

Gambir, sebuah titik persinggahan
yang datang dan pergi bertukar
alamat kedatangan dan tujuan
bukan tempat segalanya berakhir

sebab, alamat tujuan yang abadi
adalah rumah sendiri, besar atau kecil
di dalamnya aku dapat pelukan istri
tawa dan tangis para bocil-bocil

Gambir, 28/04/2025
*

CATATAN REDAKTURIAL

Oleh IRZI

Gambir, Pelukan Terakhir di Stasiun Puisi

Jangan remehkan puisi yang kelihatannya sederhana seperti secangkir kopi di pinggir jendela stasiun. Karena di tangan Zabidi Yakub, bahkan api yang semula disangka kebakaran bisa berubah jadi metafora paling syahdu untuk rindu dan kehangatan rumah. Dalam puisi “Gambir” yang ditulis penyair kelahiran Banding Agung Ranau, OKU Selatan ini, kita diajak menelusuri denyut subuh di salah satu stasiun paling ikonik di Jakarta—dengan mata ngantuk dan dada setengah lapang. Tapi jangan salah, di antara riuh manusia dan deru bus yang merapat, tiba-tiba ada kobaran “api” yang ternyata bukan api, melainkan kilau puncak Monas yang tertangkap mata ngantuk. Nah, di sinilah Zabidi bermain: dengan ambiguitas penglihatan yang secara tak langsung mengantar pembaca pada penglihatan batin yang lebih dalam.

Zabidi bukan penyair karbitan. Ia adalah penyair yang berjalan pelan, tapi pasti, dari ranah sastra daerah hingga meraih Hadiah Sastra Rancage 2023 untuk karyanya Singkapan, kumpulan puisi dalam bahasa Lampung. Ia juga tampil di Ubud Writers and Readers Festival 2023 dan Jambore Sastra Asia Tenggara 2024. Artinya, dalam tubuhnya, bersemayam perpaduan antara akar tradisi dan kosmopolitanisme sastra kontemporer. Dan puisi “Gambir” ini seperti jendela kecil yang membuka ke luasnya lanskap itu. Ia mengambil latar nyata dan menghadirkannya bukan sekadar dokumentasi peristiwa, tetapi jadi ruang kontemplasi tentang arah pulang dan makna perhentian.

Bacalah bagian akhir sajak ini: “…alamat tujuan yang abadi / adalah rumah sendiri, besar atau kecil.” Inilah punchline dari seluruh perjalanan puisi, yang membuat kita kembali berpikir: bahwa stasiun bukan akhir, tetapi hanya jeda. Gambir bukan terminal eksistensial, melainkan tikungan sebelum masuk lorong personal yang disebut rumah. Dan Zabidi, dengan keluwesan bahasanya yang santai namun padat makna, berhasil membuat kita semua—yang mungkin pernah nangis di bangku tunggu Gambir, atau senyum malu-malu waktu jemput kekasih—terhubung dengan sentimen itu.

Yang menarik, puisi ini juga terasa sangat “publik”, tapi sekaligus privat. Ada subuh, bus, kerumunan, Monas, dan stasiun—elemen-elemen yang bisa dialami siapa saja. Tapi Zabidi mengakhirinya dengan rumah dan pelukan istri, yang hanya milik si penyair dan pembaca yang mampu membayangkannya. Ada lapisan emosional yang dibangun perlahan, tanpa gegap-gempita diksi puitik yang pretensius. Puisi ini tidak berusaha menjadi megah, dan justru karena itu ia meresap, seperti embun pada kaca jendela kereta.

Inilah kekuatan Zabidi Yakub yang perlu kita acungi jempol dua jari dan mungkin satu cangkir kopi: kemampuannya menyulam momen biasa jadi momen luar biasa, tanpa harus meninggikan suara atau memaki zaman. Ia cukup melihat, mencatat, dan membiarkan metafora bekerja seperti api yang membakar kantuk kita—dan menyala sebagai cahaya kecil, namun hangat, di antara dinginnya stasiun dan deru kota.

2025
*

Puisi Zabidi lainnya:

Cikini

Cikini ke Gondangdia
aku ke sini karena dia
dia, si “aku” binatang jalang
dari kumpulannya terbuang

yang tanggal kematiannya
dirayakan sebagai hari puisi
tanggal yang terukir di pusara
Chairil Anwar, nama abadi di hati

jalanan ibu kota di tengah hari
aku tuju Taman Ismail Marzuki
melacak dan menemukan kembali
penyair yang sering kongkow di sini

wajah-wajah dan nama-nama
yang tak asing, sering aku baca
di surat kabar, puisi-puisi mereka
dahulu, ketika surat kabar berjaya

kini, nama mereka ikut terkubur
bukan dalam pusara, melainkan
di portal berita yang tumbuh subur
setelah disrupsi media mematikan

surat kabar-surat kabar tumbang
penyair tetap beternak kata-kata
kendati kehilangan ladang tambang
honor tulisan yang tidak seberapa

menulis bagi mereka sebuah terapi
agar eksistensi diri tetap menyala
“hidup adalah menunda kekalahan”
Chairil Anwar memahatkan ke puisi

Jakarta, 28/04/2025

*

Toko Buku 1

penjaga toko buku di mal itu
sabar menunggu aku datang
telah dibukanya lebar pintu
buku di meja sudah terhidang

ada yang sudah dingin
ada yang masih hangat
yang dingin sudah lama terbit
yang hangat baru saja diangkat

mata penjaga mengawasi aku
jangan sampai aku lepas
pada pintu mata mereka terpaku
dengan wajah sedikit mengeras

di depan kasir disediakan kopi
pengganti uang pengembalian
bagi yang masih bayar tunai
menyerahkan uang kontan

di masa orang bayar pakai QRIS
masih ada yang terjerat cara lama
mereka, generasi baby boomers
tak punya dompet digital, kilahnya

penjaga toko itu, generasi Z
di ponselnya tersemat m-banking
membayar apa saja dengan Flazz
tak ada yang membuatnya pusing

26/04/2025

*

Toko Buku 2

toko buku di zaman perjuangan
nilainya setinggi tiang kemerdekaan
memerdekakan pikiran
dari belenggu tipu daya penjajahan

toko buku di masa itu
menjual tidak sekadar tulisan
tapi ilmu bernas, berisi, bermutu
alat meraih derajat kesetaraan

tak ada penjaga, barangkali
sehingga orang bisa mencuri buku
yang tak mampu membeli
tak terkecuali Chairil Anwar itu

ia haus buku, sayang tak berduit
bacaan bermutu, baginya gizi
mencuri buku, bukan penyakit
hanya hasrat tak terkendali

Jakarta, 28/04/2025

*

Toko Buku 3

awas, jangan coba-coba
berbuat iseng seperti Chairil dulu
menyelipkan buku ke dalam baju
sekarang, tak akan bisa

mungkin kau bisa melepaskan diri
dari jeli pengawasan penjaga
tapi, CCTV tak bisa kau kelabui
matanya lebih tajam dari penjaga

Jakarta, 28/04/2025

*

Zabidi Yakub lahir di Banding Agung Ranau, OKU Selatan, Sumatra Selatan, 28/10/1961. Buku yang sudah ditulis ‘Sehirup Sekopi, Antologi Rasa, Singkapan (Sang Rumpun Puisi bahasa Lampung) memenangi Hadiah Sastera Rancage dari Yayasan Kebudayaan Rancage Bandung, 2023, dan ‘Hari Makin Senja’. Diundang ke Ubud Writers and Readers, 18 – 22 Oktober 2023. Menghadiri Jambore Sastra Asia Tenggara, Banyuwangi, 24-26 Oktober 2024. Bisa dihubungi melalui surel: zabidi303@gmail.com atau WhatsApp 082290414695.

Check Also
Close
Back to top button