Maya—Tentang Masturbasi yang Kita Pandang Sebagai Dosa Dahsyat
Masturbasi itu sendiri tetap sehat, tidak ada efek samping apa pun, baik jasmaniah maupun rohaniah. Yang tidak sehat adalah sikap rohaniah yang salah terhadap masturbasi itu. Dan yang paling tidak sehat adalah hubungan seks di luar perkawinan!
Oleh : Faisal Baraas*
JERNIH—Maya menghilang dari rumahnya karena malu. Malam itu, ketika ia sedang asyik-asyiknya menyentuh dirinya sendiri, ibu masuk ke kamar. Alangkah terkejutnya orang tua itu.
“Babi!” makinya sambil membanting pintu kamar. Reaksi itu sangat tidak tersangka. Begitu besarkah dosa masturbasi sehingga Ibu memberikan reaksi yang begitu dahsyat? Semula hanya kebetulan saja Maya menyentuh dirinya ketika ia sedang mandi. Dan pengalaman itu cukup mengejutkannya.
Kemudian dari cerita teman-temannya di sekolah diketahuinya bahwa mereka juga sering melakukannya.
“Apakah itu terlarang?”bisik hatinya dalam ketidaktahuan. Bukankah pengalaman itu mau tak mau pasti akan dialaminya juga, sebab sewaktu mandi ia toh akan menyabuni seluruh tubuh termasuk alat kelaminnya itu? Waktu itulah ia merasakan bahwa menyentuh-nyentuh alat kelamin itu mendatangkan kenikmatan. Apakah itu salah? Dan…apakah bisa dihindari?
Ibu cemas sekali karena Maya tidak muncul sejak malam itu. Telah tiga hari ia menghilang. Ibu sedih sekali. Ibu menyadari bahwa menyesal selalu terlambat. Menyesal adalah pengalaman manusia yang terburuk.
Tapi ayah tenang-tenang saja dan bahkan dengan kalemnya berkata,”Reaksimu terlalu dahsyat untuk sebuah pengalaman yang alamiah.”
“Tapi, Pak, bukankah itu dosa, hina…”
“Ya..ya…ya…”potong ayah cepat. “Aku sudah tahu apa rentetan kata-katamu selanjutnya.”
“Tapi marilah kita renungkan baik-baik dan marilah kita jujur dengan pengalaman kita sendiri,”kata ayah lagi.
“Sewaktu kita masih remaja, seperti Maya sekarang, kita toh mempunyai pengalaman yang sama. Ketika sedang cebok, tiba-tiba sadarlah kita betapa nikmatnya mengusap-usap alat vital kita itu. Kita malu sebenarnya membicarakannya, bukan?”
Ayah mengisap pipa rokoknya.
“Perasaan seksual sejak bayi memang sudah ada. Bayi yang mengisap ibu jarinya memperoleh kenikmatan. Bayi yang suka meraba alat kelaminnya, dan sebagainya. Ketika menjelang remaja, perasaan seksual itu akan berkembang semakin kompleks.”
“Remaja harus tahu,” kata Ayah lagi,”bahwa berhubungan seks hanya boleh dilakukan kalau sudah kawin. Sebab hubungan seks merupakan keterlibatan emosional dan biologis yang terintim antara dua orang yang saling mencintai, yang diperbolehkan oleh agama hanya lewat perkawinan.”
Dan bagaimana dengan remaja sekarang, sebelum siap memasuki jenjang perkawinan? Tidak ada alternatif lain, kecuali menunggu! Ini prinsip jika kita hendak beragama secara baik.
Tapi sementara itu, desakan seksual itu selalu minta dipuaskan. Kita tahu, seks mengandung elemen emosional dan biologis. Dan seks memang tidak bisa disublimasi dalam artian biologis. Hanya factor emosional yang bisa disublimasi, misalnya dengan mengalihkan perhatian pada kegiatan olahraga, kesenian, teknik dan sebagainya. Dan hal itu sudah banyak membantu. Tapi factor biologis yang merupakan mekanisme hormonal dalam tubuh tidak bisa disublimasi, tapi harus disalurkan, baik melalui wet-dream (ejakulasi selagi mimpi) maupun dengan masturbasi.
Masturbasi adalah outlet yang normal, hanya entah mengapa, secara alamiah menyebabkan malu. Karena itu sebaiknya dilakukan dengan diam-diam pula. Masturbasi itu sendiri tetap sehat, tidak ada efek samping apa pun, baik jasmaniah maupun rohaniah. Yang tidak sehat adalah sikap rohaniah yang salah terhadap masturbasi itu. Dan yang paling tidak sehat adalah hubungan seks di luar perkawinan!
Nah, bagaimana sikap kita sebaiknya menghadapi realitas itu? Jika kita menyadari hal itu, mengapa sampai bereaksi demikian dahsyat? Mengapa sampai bereaksi yang tidak sesuai dengan kesalahan yang dilakukan?”
Ayah mengisap pipanya dalam-dalam.
Sambil menjerembabkan diri ke dalam kursi malasnya, ia berkata lagi,”Jika kita bisa menahan emosi kita sendiri, jika kita bisa berbicara dengan intim dengan Maya, jika kita jujur dengan pengalaman masa lalu kita sendiri…itu jauh lebih baik.”
Dan Ibu sejak itu diam saja.
Ia hanya menatap ayah dengan pandangan kosong. Tidak, ia tidak menatap ayah, melainkan kursi malas yang sudah lama kosong itu. Dan ia tidak mendengar ucapan-ucapan ayah, sebab memang tak ada yang berkata-kata sejak tadi. Semua itu hanya menggaung dalam pikirannya, dalam bayang-bayangnya. Selalu begitu, bila ia merasa sepi, sendiri, dan sedang menghadapi problem yang menyedihkan hatinya.
“Seandainya Engkau masih hidup, Mas,” keluhnya, pilu. [ ]
*Dokter ahli jantung dan penulis. Tulisan ini diambil dari buku beliau,”Beranda Kita”, Jakarta, Grafitipers, 1985