
Dari tujuh polisi yang berada di dalam mobil rantis yang melindas Affan Kurniawan—seorang pengemudi ojek online yang tewas saat demonstrasi Agustus lalu—ternyata ada satu nama yang pernah mencuat dalam kasus lama. Ia adalah orang yang sama yang menyiramkan air keras ke wajah penyidik KPK Novel Baswedan, yang membuat Novel kehilangan sebelah matanya. Dua tragedi yang berbeda, dua korban yang berbeda, tetapi pelakunya sama. Dan ia tetap bisa berada di garis depan, tetap berseragam, tetap membawa kewenangan. Di sinilah publik melihat, dengan mata telanjang, betapa rapuhnya mekanisme pengawasan di tubuh Kepolisian. Inilah wajah nyata impunitas: bukan hanya hukum yang gagal memberi efek jera, tetapi juga institusi yang dengan sadar mengulangi kesalahan.
Oleh : Radhar Tribaskoro
JERNIH– Setiap kali polisi melakukan kekerasan, kata “oknum” selalu muncul seperti mantra. Sebuah kata yang berfungsi sebagai pelarian, seolah menutup luka yang terus terbuka.
Namun semakin panjang daftar kasus, semakin sulit mempercayai bahwa semuanya hanya ulah individu. Publik sudah terlalu sering mendengar: pembunuhan Brigadir J oleh Ferdy Sambo, keterlibatan Kapolda Sumbar Teddy Minahasa dalam perdagangan narkoba, tragedi Kanjuruhan yang merenggut 135 nyawa, peristiwa KM50 di jalan tol, kerusuhan Pemilu dengan puluhan korban jiwa, hingga fenomena Parcok—“Partai Coklat”—yang menandai keterlibatan polisi dalam kontestasi politik. Rangkaian peristiwa ini membentuk pola. Dan pola, berbeda dengan insiden, selalu berbicara tentang struktur.
Budaya kekerasan di tubuh Polri, misalnya, bukanlah kejadian kebetulan. Sejak Orde Baru, kepolisian hidup dalam bayang-bayang militer. Selama lebih dari tiga dekade, polisi menjadi bagian dari ABRI. Fungsi utamanya bukan melayani hukum, melainkan mengamankan rezim. Demonstrasi mahasiswa dipandang sebagai ancaman, suara kritis sebagai makar, dan kekerasan menjadi bahasa yang sah. Ketika reformasi 1999 memisahkan polisi dari tentara, yang berubah hanya struktur formal. Kultur tetap bertahan.
Polisi memang resmi menjadi aparat sipil, tetapi warisan militeristik terus direproduksi di akademi, dalam latihan, bahkan dalam cara pandang aparat di lapangan. Warga lebih sering diposisikan sebagai objek yang harus dikendalikan, bukan sebagai subjek hukum yang harus dilayani. Maka tidak heran jika kekerasan selalu kembali, seakan menjadi kebiasaan yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Masalah lain terletak pada pengawasan. Secara formal, banyak instrumen yang dibangun: ada Propam, ada Kompolnas, ada sidang etik. Namun semua itu jarang benar-benar efektif. Hukuman ringan tidak membuat jera, bahkan tidak menutup jalan bagi promosi. Pengawasan yang rapuh juga memperlihatkan wajah lain: kecenderungan Polri menutup diri dari kritik eksternal. Alih-alih membiarkan masyarakat sipil, media, atau lembaga independen melakukan kontrol, institusi lebih sibuk membangun citra bahwa “semua sudah ditangani.” Padahal, justru keterbukaan pada kritik eksternal itulah yang bisa memulihkan kepercayaan publik.
Ilustrasi paling gamblang tentang impunitas bisa kita lihat dari sebuah kebetulan yang pahit. Dari tujuh polisi yang berada di dalam mobil rantis yang melindas Affan Kurniawan—seorang pengemudi ojek online yang tewas saat demonstrasi Agustus lalu—ternyata ada satu nama yang pernah mencuat dalam kasus lama. Ia adalah orang yang sama yang menyiramkan air keras ke wajah penyidik KPK Novel Baswedan, yang membuat Novel kehilangan sebelah matanya. Dua tragedi yang berbeda, dua korban yang berbeda, tetapi pelakunya sama. Dan ia tetap bisa berada di garis depan, tetap berseragam, tetap membawa kewenangan.
Affan adalah bagian dari wajah sehari-hari kota: anak muda yang mengandalkan motor dan aplikasi untuk bertahan hidup, menabung rupiah demi rupiah dari setiap perjalanan yang ia tempuh. Malam itu, ketika ribuan orang turun ke jalan menuntut keadilan, ia mungkin tidak menyangka hidupnya akan berakhir di bawah roda baja. Ia tidak pernah kembali kepada keluarganya.
Novel adalah simbol dari keberanian melawan korupsi, seorang penyidik yang berdiri tegak di tengah tekanan. Siraman air keras yang merusak penglihatannya adalah pesan brutal dari mereka yang tidak ingin kasus besar diusut tuntas. Tetapi yang lebih menyakitkan, bukan hanya kejahatan itu sendiri, melainkan kenyataan bahwa pelaku masih bisa terus berseragam, bahkan kembali bertugas di garis depan.
Kedua peristiwa ini, yang dipisahkan oleh waktu dan tempat, pada akhirnya saling menyambung dalam satu benang merah: impunitas. Hukuman tidak benar-benar mengunci pelaku keluar dari sistem. Mereka yang seharusnya dijauhkan dari kewenangan justru bisa kembali, seolah-olah sejarah tidak pernah ada. Di sinilah publik melihat, dengan mata telanjang, betapa rapuhnya mekanisme pengawasan di tubuh kepolisian. Inilah wajah nyata impunitas: bukan hanya hukum yang gagal memberi efek jera, tetapi juga institusi yang dengan sadar mengulangi kesalahan.
Bagi publik, semua ini tampak seperti sandiwara. Koreksi internal lebih sering dipakai untuk merawat citra, bukan memperbaiki perilaku. Maka ketika kasus-kasus besar terjadi, hasilnya selalu sama: ada konferensi pers, ada penjelasan bahwa proses hukum berjalan, lalu cerita pun ditutup. Tetapi rasa keadilan tidak pernah benar-benar dijawab.
Dan di sinilah kita sampai pada masalah paling telanjang: hubungan mesra kepolisian dengan politik. Publik menamai fenomena ini Parcok—Partai Coklat. Sebuah sindiran yang keras, namun juga jujur. Ketika polisi ikut terlibat dalam kontestasi politik, berpihak pada kandidat tertentu, bahkan mengintervensi jalannya Pemilu, maka runtuhlah netralitas yang seharusnya dijaga. Polisi tidak lagi dipandang sebagai pengawal aturan main, melainkan sebagai pemain yang ikut bertarung. Dalam kondisi ini, hukum tunduk pada politik. Kepolisian menjadi perpanjangan tangan kekuasaan, bukan lagi penegak keadilan.
Sejarah memperlihatkan bagaimana hal ini bisa terjadi. Pada masa Orde Baru, polisi hanyalah alat negara. Hukum dijalankan sejauh ia melindungi stabilitas politik rezim. Setelah reformasi, ada harapan bahwa pemisahan Polri dari TNI akan melahirkan kepolisian yang sipil dan netral. Tetapi kenyataannya, perubahan itu hanya kosmetik. Struktur dipisahkan, namun kultur tidak berubah, dan mekanisme pengawasan tidak diperkuat. Pasca-Reformasi, Polri bahkan semakin kuat secara kelembagaan dan anggaran. Ironisnya, kekuatan itu tidak membuatnya independen, melainkan semakin mesra dengan politik. Dari sinilah lahir sinisme publik: polisi dianggap sebagai partai politik berseragam coklat, bukan sebagai aparat hukum yang profesional.
Ketika hukum kalah oleh politik, semua akar masalah itu dipelihara. Kultur kekerasan tetap dianggap perlu karena penguasa membutuhkan aparat yang garang. Pengawasan tetap rapuh karena kekuasaan tidak menghendaki koreksi yang independen. Netralitas dikesampingkan karena polisi justru lebih berguna ketika bisa diarahkan untuk memenangkan kandidat tertentu.
Namun akar masalah ini bukan takdir. Budaya kekerasan di tubuh kepolisian pada dasarnya hanyalah habitus—pola yang berulang karena diwariskan, dipelajari, dan dianggap wajar. Habitus bisa berubah bila struktur berubah. Jika kepolisian sungguh-sungguh independen dari politik, orientasinya pun bisa bergeser. Polisi tidak lagi dipaksa menjadi alat penguasa, melainkan benar-benar bekerja sebagai aparat hukum yang melayani warga. Dengan independensi, insentif bagi kekerasan berlebihan bisa dikikis. Yang dihargai bukan lagi seberapa keras aparat menundukkan rakyat, tetapi seberapa tegas mereka menegakkan hukum secara adil.
Prabowo dan Independensi Kepolisian
Dalam situasi penuh keraguan inilah, langkah Presiden Prabowo memberi warna baru. Ia memilih memberi amnesti kepada Hasto dan abolisi kepada Tom Lembong. Publik tentu bisa memperdebatkan motifnya. Tetapi ada satu hal yang tidak bisa diabaikan: langkah ini dilakukan secara terbuka, menggunakan kewenangan konstitusional yang sah, bukan dengan cara-cara gelap yang dulu begitu lazim.
Prabowo tidak mempengaruhi hukum dengan menunjuk hakim yang lemah, tidak mengatur jaksa atau polisi yang bisa dikompromikan. Ia tidak bermain di balik layar dengan memelintir logika hukum menggunakan kuasa dan uang. Ia justru memilih jalan terang, memakai instrumen hukum yang memang disediakan oleh undang-undang.
Di sini kita bisa membaca sebuah pesan: koreksi terhadap hukum tidak harus berarti menguasai aparat. Koreksi bisa dilakukan tanpa merusak independensi. Dengan menggunakan jalur resmi, presiden memberi contoh bahwa ia tidak perlu mengendalikan hakim, jaksa, atau polisi untuk mengoreksi keadaan. Ia cukup memakai kewenangan yang sah, secara terbuka, dengan alasan yang bisa dipertanggungjawabkan.
Jika cara pandang ini konsisten, maka ada peluang besar untuk mendorong reformasi, bukan saja Kepolisian tetapi juga Kejaksaan dan Kehakiman. Logika hukum dipertahankan bahkan dikukuhkan, sehingga semua aparat hukum bisa bekerja secara profesional. Kultur kekerasan bisa diputus bila polisi ditegaskan bukan sebagai alat politik, melainkan pelindung warga. Struktur pengawasan yang rapuh bisa diperbaiki bila tidak ada lagi kepentingan politik yang melindungi pelanggar. Dan fenomena Parcok bisa dihentikan bila polisi dipaksa netral dalam kontestasi elektoral.
Independensi kepolisian bukan berarti polisi hidup tanpa kontrol. Justru independensi adalah syarat agar polisi bisa benar-benar dikontrol oleh hukum, bukan oleh politik. Selama ini yang terjadi sebaliknya: karena polisi dekat dengan kekuasaan, ia lebih sering lolos dari kontrol hukum. Jika kepolisian diposisikan independen, ia bisa dipertanggungjawabkan secara adil.
Optimisme ini tentu masih perlu diuji oleh waktu. Tetapi untuk pertama kalinya setelah sekian lama, publik melihat sinyal positif: presiden bisa mengoreksi hukum tanpa merusak independensi hukum itu sendiri. Langkah ini mungkin belum sempurna, bahkan bisa saja disalahartikan. Tetapi ia membuka ruang harapan: bahwa koreksi terhadap aparat hukum bisa dilakukan secara sah, bukan dengan intrik. Bahwa presiden bisa menegakkan otoritasnya tanpa harus mengorbankan kemandirian hukum.
Jika langkah ini berlanjut, maka kita berhak berharap reformasi kepolisian tidak lagi berhenti sebagai jargon kosong. Ia bisa menjadi jalan nyata untuk membangun aparat hukum yang berpihak pada warga, bukan pada kekuasaan. Polisi yang bekerja dengan keberanian, bukan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk menegakkan hukum dengan adil. Polisi yang akhirnya tidak lagi ditakuti, melainkan dipercaya. [ ]