Solilokui

Andika Perkasa; Pejuang Independensi Militer Indonesia

Dalam posisinya sebagai panglima militer sebuah negara kepulauan besar, Andika sadar bahwa wanti-wanti yang pernah dikumandangkan jenderal Romawi, Flavius Vegetius Renatus, beribu tahun lalu benar adanya. Jenderal itu menyatakan apa yang hingga kini dipegang banyak pejuang besar dan negarawan. ”Si vis pacem, para bellum. Jika kau mengidamkan perdamaian, persiapkan kemungkinan untuk berperang.”

Oleh   : Darmawan Sepriyossa

JERNIH–Muhammad Andika Perkasa adalah tentara professional hingga ujung kariernya yang segera menjelang. Di masa persiapan pensiun pun, publik tak melihat gelambir lemak menumpuk di perut dan sekeliling pinggang, laiknya kebanyakan tentara yang tugasnya siap purna. Alih-alih itu, yang tersaksikan adalah lambung yang rata, dengan dada bidang, perkasa sebagaimana nama yang disandang.

Darmawan Sepriyossa

Bukan hanya jasmaninya yang mengundang kekaguman. Andika juga seorang tentara yang pemikir. Dia sedikit di antara prajurit yang memegang tiga gelar master sekaligus, MA, MSc dan M.Phil dari universitas-universitas terkemuka di Amerika Serikat, salah satunya Harvard University. Lebih jauh, Andika bahkan seorang pemegang gelar doctor filosofi (PhD) dari The Trachtenberg School of Public Policy and Public Administration, George Washington University. Maka tak heran kalau ia juga seorang pengagum berat Sun Tzu, ahli strategi militer Cina kuno.  

Jika ada yang berkata bahwa karier Andika melesat laksana kilat, apalagi bila dihubungkan dengan mertuanya yang punya nama besar, AM Hendropriyono, kita bisa berkata ia alpa membuka literatur dan membaca media massa. Lihatlah kariernya yang Panjang membentang, mengikuti alur yang biasa dan lumrah saja.  Ia bahkan tercatat sebagai panglima TNI tertua sepanjang sejarah. Lima puluh tujuh tahun usainya saat resmi diangkat.

Dalam posisinya sebagai panglima militer sebuah negara kepulauan besar, Andika sadar bahwa wanti-wanti yang pernah dikumandangkan jenderal Romawi, Flavius Vegetius Renatus, beribu tahun lalu benar adanya. Jenderal itu menyatakan apa yang hingga kini dipegang banyak pejuang besar dan negarawan. ”Si vis pacem, para bellum. Jika kau mengidamkan perdamaian, persiapkan kemungkinan untuk berperang.”

Lalu, manakala dilihatnya Republik Rakyat Cina dengan jumawa memamerkan kekuatan militer sekaligus menggertak negara-negara yang berada di kawasan Laut Cina Selatan, pasti ia merasakan perih. Bagaimana mungkin kepada Indonesia yang telah berpuluh tahun berkongsi dan bekerja sama, Cina tega-tega saja melakukan hal itu? Bagaimana mungkin Cina yang seharusnya menghormati wilayah yang dipersengketakan berpuluh-puluh tahun itu mereklamasi dan membangun pulau di wilayah itu, kemudian mempersenjatainya dengan kesan menantang perang?  

Dan alih-alih mengkeret dalam ketakutan serta bersegera mendaulat negara Cina, wawasan luas Andika menemukan jalan pemecahannya sendiri.  Wawasan yang tentu saja terkuak karena tegaknya keberanian di jiwanya. Sebab sebagaimana penyair besar WS Rendra percaya bahwa ada hubungan resiprokal atau timbal balik antara wawasan dan keberanian. Keberanian akan membuka cakrawala seseorang, sementara cakrawala pun akhirnya pula yang memberi seseorang keberanian.

Maka wajar bila Andika melirik Amerika. Kebijaksanaan yang tak bisa dinafikan akan kurang sejalan dihadapkan dengan kian mesranya hubungan Indonesia-RRC, yang bagi banyak kalangan mulai memperlihatkan ketidakmandirian dan dominasi. Kita tahu, bagaimana mesranya sikap Presiden Jokowi kepada Cina, terlihat dari banyak hal, terutama dalam persoalan investasi dan aturannya. Publik yang cermat tentu masih ingat bagaimana Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe terburu-buru meninggalkan Indonesia tanpa mengikuti rangkaian acara Konferensi Asia Afrika (KAA) pada 2015 lalu. Ia kecewa karena tanpa ba-bu dan alasan rasional, Indonesia menyerahkan begitu saja proyek kereta api cepat Bandung-Jakarta–yang telah lama dijajaki pihak Jepang–kepada Cina.   

Dimulai dengan berbagai kerja sama militer, terutama latihan gabungan, hubungan TNI-militer AS pun kian erat dan hangat. Beragam Latihan perang pun seolah tak henti-hentinya digelar Indonesia tahun ini bersama AS dan kekuatan militer negara-negara sahabat. Ada latihan USINDOPACOM yang melibatkan Komando Indo-Pasifik Amerika yang digelar Maret lalu. Ada kerja sama yang melibatkan 10 negara tetangga dalam Indo-Pacific Chief of Defence Conference, termasuk Australia dan Papua New Guinea, yang baru digelar September lalu.

Ada Latihan antara TNI AL dengan US Marine Corp, hingga Latihan perang yang gaungnya mendunia seperti Super-Garuda Shield (SGS) yang digelar Agustus lalu. Pada saat Super-Garuda Shield digelar, dalam kemarahannya Republik Rakyat Cina menggelar Latihan tandingan dengan Thailand, yang mereka namai China-Thailand Falcon Strike 2022, di kawasan Udon Thani, Thailand.

“Di tengah meningkatnya ketegangan akibat serangkaian langkah provokatif AS di kawasan Asia-Pasifik,”kata Dekan Lembaga Penelitian Universitas Laut Tropis Hainan, Gu Xiaosong, yang diberitakan media pelat merah Cina, Global Times,” Thailand yang secara luas dianggap sekutu penting AS justru memilih untuk menggelar latihan bersama dengan Cina.”

Saking kian eratnya hubungan militer Indonesia-AS untuk menandingi hegemoni Cina di Laut Cina Selatan, Juli lalu Kepala Staf Gabungan Tentara AS, Jenderal Mark Milley, datang mengunjungi Markas Besar TNI Cilangkap, Jakarta Timur. Milley dalam pidatonya mengatakan, Indonesia selalu merupakan negara penting bagi Amerika Serikat.

Jangan lupa, ada pula berkah tak terduga. AS akhirnya setuju untuk melakukan kerja sama penjualan 36 pesawat jet tempur F15EX dan peralatan militer senilai 13,9 miliar dollar AS atau sekitar Rp 200,8 triliun kepada  Indonesia.

Jadi, jika Partai Nasdem dengan jeli memilih Andika sebagai salah satu calon Capres yang akan mereka ajukan pada Pilpres 2024, itu tak hanya karena Nasdem punya pengamatan yang cermat dan cerdas. Tapi karena Andika pun memang menampakkan potensi besarnya. Potensi besar yang kadang tertutup aneka protokoler militer, tentu. [INILAH.COM]

Back to top button