Solilokui

Attenborough dan Omnibus Law

Seperti bencana Chernobyl, sebagian besar masalah tadi diakibatkan oleh kesalahan manusia (“human error”): sistem transportasi yang boros bensin dan solar; gayahidup serba plastik; listrik rumah dan industri yang bertumpu pada energi kotor batubara; serta menggadaikan ekonomi pada pertanian monokultur seperti sawit.

Oleh   : Farid Gaban*

JERNIH– Tak ada seorang pun yang menjelajahi bumi dan mendokumentasikan alam liarnya seluas David Attenborough.

Kini berusia 93 tahun, Attenborough telah menerobos lebatnya hutan tropis di Amazon dan Kalimantan; mengarungi gurun Sahara dan savana Serengeti di Afrika; menyelami terumbu karang lepas pantai Australia; hingga menjejakkan kakinya di padang es Kutub Utara serta Selatan.

Farid Gaban

Sepanjang 60 tahun karirnya sebagai sutradara dan produser di Televisi BBC Inggris, Attenborough memproduksi puluhan dokumenter tentang alam. Itu membuat dia salah satu jurubicara paling otoritatif tentang Planet Bumi, habitat yang kita huni.

Awal bulan lalu Netflix meluncurkan dokumenter tentang dia: “A Life on our Planet: My Witness Statement and Vision for the Future”. Dokumenter ini merangkum pengetahuan luas dia tentang beragam ekosistem di muka bumi, suatu yang dia tulis pula dalam buku “The Living Planet” (1984), sekaligus menyajikan kesaksian tangan pertama dia tentang kerusakan alam planet ini, dari tahun ke tahun.

Ketika Attenborough kanak-kanak, jumlah manusia di bumi hanya 2,3 miliar dan luas tutupan hutan liarnya masih 65 persen. Kini, jumlah manusia mencapai 7,8 miliar dengan tutupan hutan menyusut menjadi 35 persen.

Dengan laju kerusakan seperti sekarang, Attenborough meramalkan, hutan tropis Amazon dan Kalimantan akan hilang pada 2030. Tanpa hutan tropis, yang menyerap karbon, efek rumah kaca akan makin menyengat.

Pada 2040, es kutub akan meleleh habis, meruntuhkan daratan kutub yang terkelupas sambil melepaskan gas methan ke atmosfir yang secara drmatis akan mempercepat pemanasan global.

Terumbu karang akan punah pada 2050 akibat panasnya laut, serta membuat punah sebagian besar spesies ikan. Pada 2100, suhu bumi empat  derajat Celcius lebih panas, membuat sebagian besar muka bumi tak bisa dihuni manusia.

Selama kurang dari satu abad, umat manusia telah mengubah bentang alam bumi dan secara dramatis menghancurkan keragaman hayatinya. Itu harus dibayar sangat mahal yang mengancam eksistensinya.

Meski ramalannya sangat suram, Attenborough menawarkan harapan. Manusia, kata dia, belum terlambat untuk membuat perubahan. Pertumbuhan jumlah penduduk bukan satu-satunya faktor yang merusak alam. Gaya hidup dan keserakahanlah faktor yang lebih dominan.

Attenborough menyarankan peningkatan standar hidup untuk mengurangi laju pertumbuhan penduduk (warga di negara yang makmur cenderung punya lebih sedikit anak). Namun, menurut dia, kemakmuran  itu tak boleh dicapai dengan mengabaikan alam. Kita harus mengubah paradigma pembangunan, dari mengeksploitasi alam menuju kerjasama dengan alam.

Manusia tak seharusnya terpisah (apart) dari alam, tapi menjadi bagian (a part) dari alam.

Attenborough menyarankan gayahidup yang lebih ramah alam: beralih dari energi fosil ke energi terbarukan; mengembalikan lagi sebagian hutan dan keragaman hayatinya; mengubah pola konsumsi dan aktivitas; beralih dari pertanian monokultur ke sumber pangan yang lebih beragam; mengalokasikan kawasan yang cukup untuk suaka flora dan fauna baik di darat maupun laut.

Attenborough memberi contoh: Marokko, negeri di Afrika Utara, kini hampir sepenuhnya tergantung pada energi surya dan bahkan potensial menjadi pengekspor energi terbarukan itu ke Benua Eropa dan Afrika. Beberapa negeri kepulauan di Pasifik melarang penangkapan ikan di kawasan terumbu karang, yang justru meningkatkan populasi ikan serta menumbuhkan industri perikanan yang makmur dan sehat.

Dokumenter ini dibuka dan ditutup dengan pemandangan kota Pripyat, Ukraina. Inilah kota hantu yang ditinggalkan seluruh penghuninya akibat bencana nuklir Chernobyl pada 1986. Sekitar 35 tahun kemudian saat ini, hutan dan satwa liar kembali menguasai kota yang tak berpenghuni itu. Alam memulihkan dirinya sendiri jika manusia tak mencampuri urusannya.

Apa makna dokumenter Attenborough itu bagi kita di Indonesia?

Kerusakan hutan dan lingkungan hidup telah menghantui kita dengan “kiamat-kiamat kecil” di tingkat lokal: banjir, longsor, kekeringan, kebakaran hutan, polusi udara di perkotaan, hilangnya sumber air bersih, serta pencemaran sungai dan laut.

Seperti bencana Chernobyl, sebagian besar masalah tadi diakibatkan oleh kesalahan manusia (“human error“): sistem transportasi yang boros bensin dan solar; gayahidup serba plastik; listrik rumah dan industri yang bertumpu pada energi kotor batubara; serta menggadaikan ekonomi pada pertanian monokultur seperti sawit. Pada dasarnya, semua masalah itu diakibatkan oleh paradigma pembangunan yang salah arah.

Indonesia memang dihadapkan pada problem jumlah penduduk yang besar. Artinya, kita dituntut untuk mempercepat kemakmuran demi meningkatkan standar hidup. Tapi, kemakmuran yang dimaksud Attenborough bukanlah memperbesar kemakmuran material-fisik-lahiriah belaka, melainkan meningkatkan kesejahteraan penuh lahir dan batin, termasuk bahagia hidup berdamai dengan alam.

Mahatma Gandhi mengatakan: “Dunia ini cukup untuk semua orang, tapi bukan keserakannya.” Dengan segenap kerusakannya, alam Indonesia masih menawarkan banyak hal untuk memenuhi hidup seluruh warganya, tapi takkan cukup untuk melayani keserakahan segelintir orangnya.

Indonesia masih menyandang gelar megadiversity, negeri dengan keragaman hayati tertinggi di dunia. Dibanding banyak negara lain, kita bahkan punya peluang lebih besar untuk mengembalikan liarnya hutan dan laut. Dengan kekuatan kreatif dan imajinasi, serta pengetahuan-pengetahuan baru, kita bisa mengerakkan ekonomi sekaligus melestarikan alam.

Attenborough tidak bicara soal Omnibus Law yang belakangan ini menjadi kontroversi di negeri kita. Tapi, dokumenter ini menjadi pengingat keras untuk kita: pertumbuhan ekonomi dan investasi yang mengabaikan kelestarian alam akan menjerumuskan kita ke jurang bencana. Tak hanya bencana untuk kita, tapi juga bencana untuk generasi anak-cucu kita. [Farid Gaban]

*Wartawan senior, termasuk dalam kelompok wartawan pendiri Republika dan kelahiran kembali majalah TEMPO pada 1998.  

Back to top button