Solilokui

Awas, Nanti Sama Ibu Diusir dari Rumah!

Segala macam usaha dia dan suami lakukan biar punya anak. Mulai dari posisi bersetubuh, diet, senam, periksa ke dokter (yang biayanya mahal), ke dukun, retreat agama dan meditasi, ke luar negeri… semua hasilnya negatif.

Oleh  : Anwar Holid

Aku kerap prihatin atas berbagai dampak buruk kepadatan penduduk. Persaingan atas sumber daya alam, kemiskinan, masalah kesehatan, kebiasaan jelek, kriminalitas. Semua itu sering membuatku sinis dan skeptis atas keinginan suami-istri punya anak, bahkan yang paling ngarep sekalipun. “Sudah kebanyakan manusia di bumi ini. Bersenang-senang saja kalian dengan pasangan. Mending fokus meningkatkan kualitas manusia yang sudah ada.” Begitu kerap aku bilang ke teman-teman.

Anwar Holid

Aku pernah baca naskah memoar seorang ibu yang ngarep banget punya anak setelah puluhan tahun menikah. Punya anak itu pelengkap dan keniscayaan rumah tangga, demikian pikirnya. Segala macam usaha dia dan suami lakukan biar punya anak. Mulai dari posisi bersetubuh, diet, senam, periksa ke dokter (yang biayanya mahal), ke dukun, retreat agama dan meditasi, ke luar negeri… semua hasilnya negatif. Padahal dia dan suami normal. Tak ada kelainan atau kebiasaan jelek yang membuat mereka bisa sulit punya anak. Bahkan mereka mengangkat anak biar jadi ‘pemancing’ dan menggembirakan rumah tangganya. Tapi tetap saja ibu ini nggak hamil. Akhirnya dia pasrah sambil terus berdoa.

Aku lupa detilnya bagaimana, setelah lebih lama lagi berharap suatu hari si ibu ini positif hamil… oleh laki-laki lain. Bukan… itu mah plot twist. Dia sulit percaya. Tentu dia bersyukur banget dan memelihara kandungan sebaik-baiknya. Anaknya lahir normal. Sehat. Tambah bahagia dan bersyukur suami-istri ini.

Yang heran, kata dia, setelah tumbuh ternyata pandangannya tentang punya anak jadi berubah. Dia jadi diuji soal kesabaran memelihara anak. Sayang anak ternyata tak menghalanginya dari marah, mencubit, mengancam, dan lain-lain yang sebenarnya jelek dan bisa bikin trauma. “Ke mana janji aku pengen baik ke anak dulu, ya?” kata dia. Dia sedih dan suka menyesal tiap kali marah. Menjadi ibu yang baik atau mendekati sempurna itu berat — bahkan tak bisa dialihkan ke Dilan.

Fase ngarep anak, punya anak, memelihara anak punya drama masing-masing yang tak dia bayangkan sebelumnya.

Proses pertumbuhan setelah pertemuan sperma dan sel telur memang menakjubkan. Tapi, aku lebih suka mengingat persetubuhan daripada  mengurus anak. Mengurus anak itu penuh tanggung jawab, bersetubuh itu bersenang-senang dan  melegakan.

Memang ada saja orang begitu ngarep punya anak, dengan beragam motif, bahkan sengaja melahirkan banyak anak demi alasan agama. Buatku, punya banyak anak itu tak sensitif pada kepadatan penduduk dan lingkungan hidup.  Ada banyak anak terlantar, jadi gelandangan, traumatik, ditinggalkan dan disiksa orangtua, depresi, dirisak orang,  tanpa masa depan… bahkan bunuh diri. Lebih menarik memikirkan masa depan anak-anak yang rentan risiko bermasalah daripada terus melahirkan anak baru.

Pernah kebetulan aku di belakang seorang ibu lagi mengantarkan anak berangkat sekolah. Rupanya ibu ini lagi kesel banget ke anaknya. Sambil menggendong anaknya yang lebih kecil, dia bilang ketus dalam bahasa Sunda: “Awas ya, kalo kamu besok gak mau ngerjain PR, sama ibu diusir dari rumah!”  

Batinku tercekat. Ya ampun ibu… ngeri banget ancamannya pada bocah  sekecil itu. Anaknya sendiri. Apa tak terbayang sedihnya anak diancam ibu sendiri? Bagaimana kalau anaknya bener-bener kabur? Kalau dia mendoakan keburukan bagi orang tuanya, bagaimana? Bagaimana kalau dia menyesal hidup…. merasa dunia bakal menguburnya begitu masuk kelas?

Kok tega orangtua jahat pada anak, batinku. Saking hati-hati, seorang temanku berprinsip jangan sampai melibatkan anak pada urusan orang tua, misalnya soal kesulitan ekonomi. Biarlah anak menikmati tumbuh dan kembangnya tanpa diganggu oleh sesuatu yang belum jadi urusannya. Biar dia jadi manusia sadar diri. Nanti juga dia paham. Memahami kondisi keluarga — apalagi kalau perkawinan bermasalah — perlu dikasih tahu sewajarnya, tapi jangan sampai anak terbebani oleh risiko orangtua, apalagi disalahkan. Menurutku itu prinsip yang baik.

Apa yang ada dalam pikiran orang tua ketika mengancam anaknya? Ingin jadi lebih baik? Lebih disiplin? Perlu proses dan cara yang baik, kali… Aku langsung ingat perlakuan jelekku ke anak-anak. Merasa bersalah. Apa perbuatan burukku pada anak-anak bakal bikin trauma? Bisa jadi. Tak percaya? Coba tonton ‘The Royal Tenenbaums’.[ ]

Anwar Holid, editor dan penulis, tinggal di Bandung. Blog: halamanganjil.blogspot.com. Twitter: @nwrhld. IG: @anwarholid.

Back to top button