Solilokui

Lagi, Cerita Rakyat Melata

Bagaimana satu keluarga menyiasati hidup sehari-hari dengan uang Rp 800 ribu sebulan? Terlalu gelap buatku untuk membayangkannya. “Dengan gaji segitu, incu saya sering minta dibeliin buat paket data juga. Jadi weh pengeluaran teh tambah besar,” Sopir angkot itu melanjutkan.

Oleh  : Anwar Holid

Kemarin waktu aku ngobrol dengan sopir angkot. Dia cerita putranya yang sudah menikah jadi penjual kebab pinggir jalan. Gajinya Rp 800 ribu per bulan. Terkadang kalau beruntung dia dikasih tambahan oleh bosnya sekitar Rp 200 ribu.

“Rp 800 ribu cukup buat apa?”tanya Pak Sopir, retorik. Dia bilang sambil merokok. Garis-garis di wajahnya tergurat dengan jelas dan tajam. Topi kumal yang dia kenakan menambah kesan betapa dirinya sudah puluhan tahu disepuh waktu dan alam.

Aku terdiam mendengar ucapannya. Antara kaget dan prihatin atau tak bisa berbuat apa-apa. Termangu. Sering aku kaget sendiri dengan pengakuan warga yang ada di lapisan sosial-ekonomi paling bawah.

“Oh, penjual kebab itu digaji ya Pak?” tanyaku tanpa bermaksud mengalihkan topik. “Saya kira dapat dari jualannya…”

Enggak. Kan semua sudah dipasok sama bosnya. Anak saya tinggal ambil dan jual.”

Pikiranku langsung terpelanting ke zaman pra-Reformasi ketika aku kerja dengan gaji sejuta lebih sedikit. Dengan gaji segitu saja rasanya aku masih prihatin. Sekarang di rezim Jokowi—dua puluhan tahun setelah reformasi, aku mendengar ada seseorang digaji di bawah sejuta perak. Tapi, untunglah aku sedang malas nyinyir soal politik atau isyu keadilan sosial yang jelas-jelas di luar kontrolku.

Bagaimana satu keluarga menyiasati hidup sehari-hari dengan uang Rp 800 ribu sebulan? Terlalu gelap buatku untuk membayangkannya.

“Dengan gaji segitu, incu saya sering minta dibeliin buat paket data juga. Jadi weh pengeluaran teh tambah besar,” Sopir angkot itu melanjutkan.

Jujur saja aku ingin membensini ucapannya biar langsung melalap emosi yang sedang meluap-luap. Tapi coba aku tahan. Aku juga sudah lama niat berhenti beli paket data, tapi enggak bisa. Malah sekarang harganya tambah mahal, tapi terpaksa aku beli demi berbagai keperluan dan kepuasan bersenang-senang. Aku sudah menyarankan agar berhenti beli air dalam galon (kembali minum air jerang), berhenti beli tisu, juga jangan beli dvd bajakan… tapi itu semua gagal. Kalau bisa menghemat pengeluaran untuk beberapa kebutuhan mewah, aku pikir bisa sedikit merasa lebih lega atau bahkan bisa mulai menabung untuk beli kamera Leica.

Rasanya aku harus lebih prihatin. Tapi mendengar obrolan Pak Sopir hatiku jadi lebih perih dan bergetar lagi. Aku cuma bisa coba berempati.

Banyak orang bekerja keras tiap hari sampai badannya mengeluarkan bau memuakkan, berjalan belasan kilo untuk mendapatkan nafkah, menahan lelah sampai tengah malam, memulai mencari rezeki sejak dini hari… tapi hasilnya masih saja di bawah pengharapan dan mustahil protes lagi. Sebab kalau protes keadaan bisa jadi lebih buruk lagi.

Cerita Pak Sopir membuat pikiranku perlahan-lahan kabur. Aku memandang ke luar. Hari itu Bandung sedang ditaburi air begitu banyak dari atas. Udara yang rapat dan dingin seolah-olah memaksa hawa untuk mengeluarkan kabut. Cuaca seperti itu membuatku suasana hatiku jadi nelangsa, sampai entah kenapa, mendadak aku teringat sebuah lirik lagu balada Queen yang artinya: apa seperti ini dunia yang telah kita ciptakan? [  ]

Anwar Holid, editor dan penulis, tinggal di Bandung. Blog: halamanganjil.blogspot.com. Twitter: @nwrhld. IG: @anwarholid.

Back to top button