Bandul Politik
![](https://jernih.co/wp-content/uploads/2023/08/Slave_trade_africa_Wellcome_Wiki.jpg)
Tatkala kita mendapati negara tak hadir saat diperlukan (saat warga perlu perlindungan, pelayanan dan kesejahteraan); justru hadir saat tak diperlukan (dengan menerapkan aneka pajak dan pungutan, aturan dan prosedur berbelit, ragam modus koruptif dan represif), mungkin terlintas di benak: bagaimana seandainya kita hidup tanpa negara?
Oleh : Yudi Latif
JERNIH–Saudaraku, tatkala kita mendapati negara tak hadir saat diperlukan (saat warga perlu perlindungan, pelayanan dan kesejahteraan); justru hadir saat tak diperlukan (dengan menerapkan aneka pajak dan pungutan, aturan dan prosedur berbelit, ragam modus koruptif dan represif), mungkin terlintas di benak: bagaimana seandainya kita hidup tanpa negara?
![](https://jernih.co/wp-content/uploads/2023/08/yudi-latif-bicara.jpg)
Menurut Thomas Hobbes (1651), kondisi kealamiahan (state of nature) manusia sebelum ada negara itu berupa kehidupan yang “buruk”, tanpa kriteria baik dan buruk yang dapat diterapkan. Orang-orang mengambil apa yang bisa bagi dirinya, menjelmakan kehidupan yang: “menyendiri, miskin, menjijikan, kasar, dan rendah”. Manusia hidup sebagai serigala bagi sesamanya; mengobarkan perang semua lawan semua.
Representasi kontemporer dalam aliran Hobbesian ini diwakili oleh Yuval Noah Harari dengan karya utamanya, “Sapiens: A Brief History of Humankind” (2014).
Di sisi lain, Jean-Jacques Rousseau (1754) memandang “state of nature” itu relatif “baik”. Kehidupan manusia bersifat netral secara moral dalam kondisi damai. Manusia hidup bebas dan setara; umumnya bertindak soliter menurut dorongan dasarnya (seperti rasa lapar) dan keinginan alamiahnya untuk pelestarian diri; namun dorongan naluri tersebut dapat dikendalikan secara setimbang dengan rasa belas kasih (compassion).
Representasi kontemporer dalam jalur Rousseauian ini diwakili oleh Rutger Bregman dengan karyanya, “Humankind: A Hopeful History” (2021).
Kedua aliran pemikiran tersebut bersifat tesis dan anti-tesis. Sintesisnya bisa ditemukan dalam buku karya David Graeber dan David Wenggrow. Judulnya, “The Dawn of Everything: A New History of Humanity” (2021).
Buku setebal 692 hal ini ringkasnya menyimpulkan: sepanjang sejarah kehidupan, sifat manusia itu sama: bukan malaikat, bukan setan. Selalu ada sisi baik dan sisi buruknya; ada kelompok baik, ada yang jahat. Adakalanya menerapkan hierarki, bisa pula egaliter. Manusia dapat mengembangkan sistem sosial yang dalam istilah Claude Levi-Strauss bersifat “double morphology“– berayun antara otonomi (individu) dan otoritas (institusi kekuasaan). Dan tugas kemanusiaan adalah mencari sistem politik yang dapat menjaga keseimbangan antara kedua kutub tersebut. [ ]