Solilokui

Bangsa Kita Memelihara Mental “Miyuni Hayam Kabiri”?

Yang tidak demikian, dianggap antek Nekolim, anti-revolusi, dsb. Ancamannya dibui. Seperti dialami Sutan Syahrir, M Natsir, Prawoto Mangkusasmito, Moh Rum, Mochtar Lubis, Hamka, dll. Bertahun-tahun mereka dipenjara tanpa diadili hanya karena berbeda pendapat dengan Presiden Sukarno.

Oleh   : Usep Romli H.M.

Bangsa Indonesia terkenal sebagai pemberani. Patriot pembela Tanah Air yang gagah perkasa. Pejuang kemerdekaan yang tak takut mati. Melawan penjajah hingga titik darah penghabisan.

Begitulah mitos yang telah tertanamkan di lubuk jiwa anak-anak bangsa dari generasi ke generasi. Sejak generasi pelopor kemerdekaan, zaman Sultan Agung Mataram menyerbu VOC di Batavia tahun 1628-1629, zaman  perang melawan kolonial pimpinan Pangeran Diponegoro (Jawa Tengah), Imam Bonjol (Sumatra Barat), Teuku Umar (Aceh), Trunojoyo (Madura) Sultan Maimun (Ternate), Haji  Hasan Arief (Garut), Zainal Mustafa (Tasikmalaya), Supriyadi (Malang), dll, baik bersifat lokal maupun nasional, hingga generasi perebut, penegak dan penerus kemerdekaan. Tercatat  dengan tinta emas dalam lembaran sejarah Indonesia.

Hanya bersenjatakan bambu runcing (awi seukeut), para pejuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Tak gentar melawan senapan mesin dan meriam. Hanya menggunakan “bom batok”, para pejuang meledakkan tank-tank musuh. Meminjam lirik Chairil Anwar dalam sajak “Prajurit Jaga Malam (1946), “mereka adalah pemuda-pemuda yang lincah, yang tua-tua keras, bermata tajam. Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya kepastian”. Mereka tidak meminta balas jasa apa-apa. Mereka hanya cukup dikenang saja nilai perjuangannya. “Kenang-kenanglah kami, yang tinggal tulang-tulang diliputi debu, “kata Chairil Anwar lagi dalam sajak “Krawang-Bekasi”(1948).

Tapi masih adakah keberanian itu? Kepahlawanan itu ? Kepatriotan itu? Atau telah berubah menjadi “ngeplek jawer ngandar jangjang miyuni hayam kabiri”? Penakut. Pengecut?

Mungkin saja, jika dikaitkan dengan kondisi dan situasi bangsa dan negara masa kini, dan masa empat lima dasa warsa ke belakang. Ketika bangsa dan negara Indonesia terlibat berbagai persoalan krusial di segala aspek: politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya. Seolah-olah semua dibiarkan menggantung. Tanpa solusi. Tanpa penyelesaian.

Padahal, setelah merdeka, berkat kemajuan pendidikan, dari kalangan generasi penerus, telah lahir para ahli yang piawai di bidang masing-masing. Semua berpredikat pakar.

Namun kepakaran tersebut, rata-rata tidak disertai kejantanan. Sehingga tidak mampu mengubah keadaan secara drastis dan total. Seperti ada sebuah bayang-bayang hitam mengancam di belakang, yang membuat nyali kepakaran mereka menciut.

Umpamanya saja, ketika  Orde Lama bekuasa (1945-1966). Tak ada yang berani bersuara mengeritik keadaan. Semua “yes men”. Sumuhun dawuh. Yang tidak demikian, dinggap antek Nekolim, anti-revolusi, dsb. Ancamannya dibui. Seperti dialami Sutan Syahrir, M Natsir, Prawoto Mangkusasmito, Moh Rum, Mochtar Lubis, Hamka, dll. Bertahun-tahun mereka dipenjara tanpa diadili hanya karena berbeda pendapat dengan Presiden Sukarno.

Jika tidak terjadi peristiwa “G-30-S” 30 September 1965, yang didalangi Partai Komunis Indonesia (PKI), Presiden Sukarno yang telah diangkat menjadi “Presiden Seumur Hidup” oleh MPRS tahun 1964, pemerintah Orde Lama mungkin tak akan jatuh. 

Terjadi perubahan kekuasaan dari rezim Orde Lama ke rezim Orde Baru (1966-1998).  Slogan utama Orde Baru adalah “the rule of law”. Penegakan hukum yang lurus, murni dan konsekuen. Namun kemudian, slogan tersebut  hanya tinggal slogan. Perjalanan rezim Orde Baru bahkan dipenuhi aneka macam pelanggaran hukum berskala besar. Antara lain, di bidang politik. Memberlakukan tata-politik yang sangat menyimpang dari aturan hukum politik . Seperti pengangkatan 25 persen  anggota legislatif oleh Presiden. Sehingga yang dipilih melalui pemilihan umum hanya 75 persen. Praktik pemilu juga tidak jujur, tidak adil dan tidak bebas rahasia.

Setelah rezim Orde Baru jatuh, Mei 1998, pemilihan umum 1997,  diulangi lagi tahun 1999. Alasannya, karena pemilu 1997 tidak sesuai dengan hakikat pemilihan umum yang jujur, adil, umum, langsung, bebas, rahasia. Bagaimana mana pemilu-pemilu sebelumnya zaman Orde Baru (1971,1977,1982,1987,1992), apa tidak curang? Apa langsung, umum, bebas, rahasia? Tidak! Sama saja dengan pemilu 1997 . Anehnya, tokoh-tokoh politik penikmat Orde Baru, tampil lagi dalam Pemilu 1999.

Seandainya rezim Orde Baru tidak runtuh, kemungkinan sistem yang diterapkannya akan terus langgeng, sekalipun bertentangan dengan asas demokrasi dan sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Pada masa Orde Baru,semua pakar tiarap. Hanya mengangguk-angguk mengiyakan.  Mungkin takut dijebloskan ke penjara seperti dialami Mohtar Lubis, Adnan Buyung Nasution, Prof. Sarbini, dll (1974), yang berani bersuara mengkritisi ketidakbijakan pemerintah rezim Orde Baru.

Atau takut kehilangan hak perdata, seperti A.H. Nasution, Ali Sadikin, H.R. Dharsono, M. Natsir, dkk yang tergabung dalam kelompok “Petisi 50” (1985), yang berani menunjukkan penyimpangan-penyimpangan rezim Orde Baru. Atau mungkin gentar dibabad habis seperti pada kasus Tanjungpriok (Jakarta), Talangsari (Lampung), Sampang (Madura), Haurkoneng (Majalengka) oleh peluru tentara dan polisi, pada 1980-1990-an.

Rezim Orde Baru dengan segala noda dan dosanya, telah lenyap terkubur waktu. Rezim Orde Reformasi masih terus melaju membawa jutaan harapan rakyat, selama hampir dua dasa warsa di bawah pimpinan lima presiden (BJ Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Jokowidodo). Masih terus mencari bentuk yang berbeda dari rezim Orde Lama dan Orde Baru.

Adakah perubahan substansial? Sulit untuk menjawabnya. Berdasarkan berbagai pendapat, pada era reformasi justru mentalitas anak bangsa  makin parah. Ditandai korupsi merajalela, melibatkan segenap lapisan dan tingkatan. Pe-langgaran hukum menjadi-jadi tanpa upaya penegakan yang jujur, adil dan berani.

Ketika terjadi “kudeta” terhadap pimpinan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), tahun 2017, semua pihak yang faham hukum dan ketatanegaraan, serempak berpendapat, itu merupakan pelanggaran hukum. Semua media menulis berita pelanggaran hukum tersebut di halaman pertama.

Namun  tindakan hukum terhadap pelanggar hukum, tidak ada sama sekali. Bahkan pimpinan baru DPD semakin peraya diri, karena telah resmi diundang hadir pada sebuah acara kepresidenan.

Begitu pula pembentukan Pansus Hak Angket DPR untuk “menghabisi” KPK. Para pakar hukum menyatakan, pembentukan Hak Angket melanggar hukum, baik tata caranya maupun sasarannya. Tapi tak ada satu pihak pun penegak hukum (kepolisian, kejaksaan) yang bertindak. Semua diam. Semua membiarkan Pansus Hak Angket “merajalela” menjalankan tugasnya. Maka  para “wakil rakyat” yang bergabung dalam Hak Angket, tenang-tenang saja melaksanakan tugas sebagai “wakil koruptor”. Padahal dibiayai dana APBN yang notabene uang rakyat. Hingga lahirlah UU KPK baru (2020) yang jauh berbeda dengan UU KPK lama (2002)

Kehidupan rakyat yang semakin hari semakin sulit, lebih dipersulit lagi oleh keadaan semrawut di tingkat elit. Wajar jika rakyat bertanya-tanya, apakah tidak ada lagi yang berani menghadapi pelanggaran-pelanggaran hukum terang-terangan tersebut?

Memasuki usia 75 tahun kemerdekaan, apakah mentalitas anak bangsa yang semula berwatak banteng, garuda, singa, telah berubah   menjadi “hayam kabiri” (ayam kebiri)? [  ]

Back to top button