SolilokuiVeritas

Batal, PPN Tidak Naik!

Namun, di balik senyum optimistis itu, apakah semua benar-benar baik-baik saja? Atau kita sedang menyaksikan lakon bertajuk “PPN dan Politik Janji” dengan plot hukum yang membingungkan?

Catatan Cak AT

JERNIH– Jika tahun 2024 diibaratkan panggung teater, maka pengumuman Presiden Prabowo Subianto tentang PPN 12 persen adalah klimaks yang penuh tawa, cemas, dan tepuk tangan skeptis. Pernyataan tersebut, secara implisit, seolah menjadi “pembatalan” kenaikan tarif yang sebelumnya telah diatur dalam undang-undang.

Sebuah kado Tahun Baru 2025 yang manis? Atau sekadar penghiburan sementara? Menteri Keuangan Sri Mulyani ikut tampil dengan perannya, lengkap dengan tanda seru dalam unggahan Instagram: “PPN tidak naik!” Ya, dengan tanda seru. Ditambah selfie ceria bersama Presiden dan pejabat Kemenkeu berlatar banner “Agenda Tutup Kas APBN Tahun 2024 dan Launching Coretax.”

Namun, di balik senyum optimistis itu, apakah semua benar-benar baik-baik saja? Atau kita sedang menyaksikan lakon bertajuk “PPN dan Politik Janji” dengan plot hukum yang membingungkan?

Kenaikan PPN menjadi 12 persen bukanlah kebijakan sembarangan. Ia adalah amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Hukum ini tidak memberikan celah pengecualian tanpa peraturan baru yang secara resmi mengubah ketentuan tersebut.

Namun, Presiden Prabowo secara tegas menyatakan bahwa kenaikan PPN hanya berlaku untuk barang dan jasa mewah, seperti pesawat jet pribadi, kapal pesiar, dan properti bernilai fantastis. Ini dikatakannya berkali-kali, hingga puncaknya di pengujung tahun.

Di sisi lain, Menteri Keuangan Sri Mulyani mendukung pernyataan ini dengan menegaskan bahwa PPN untuk barang dan jasa lainnya tidak akan berubah. Tapi, pertanyaan mendasar muncul: Apa dasar hukum pernyataan para pejabat ini?

Di tengah riuh narasi politik, salah satu komentar publik berbunyi, “Saya baru percaya kalau sudah ada peraturan tertulis.”

Ini bukan sekadar kritik nyinyir, tetapi pengingat bahwa dalam negara hukum, segala keputusan harus berbasis pada aturan tertulis, bukan hanya retorika podium. Hingga artikel ini ditulis, belum ada Perppu, Peraturan Pemerintah, atau Peraturan Presiden yang mendukung pernyataan Presiden.

Jika demikian, bukankah Presiden bisa dianggap mengabaikan amanat UU HPP? Dalam teori hukum, tindakan menunda atau mengubah implementasi UU tanpa payung hukum baru dapat dikategorikan sebagai pelanggaran.

Apakah ini pertanda bahwa hukum mulai kehilangan otoritasnya, digantikan oleh narasi politik? Tidak sedikit yang menduga ini adalah bagian dari strategi politik. Dengan mengklaim bahwa kenaikan PPN hanya berlaku untuk barang mewah, pemerintah tampak berpihak pada rakyat kecil.

Namun, tanpa peraturan tertulis yang tegas, kebijakan ini rawan berubah sewaktu-waktu. Rakyat kecil, yang sudah terbiasa menjadi korban inkonsistensi, mungkin hanya diberi harapan palsu.

Sri Mulyani tampaknya paham dinamika ini. Maka, ia mencoba membangun narasi positif, meski latar belakang hukum narasi tersebut masih buram.

Sementara itu, Presiden Prabowo terkesan berhati-hati, mungkin enggan menantang warisan kebijakan Presiden Jokowi secara frontal, mengingat UU No. 7/2021 adalah buah tangan pendahulunya. Akan selalu beginikah cara Prabowo bersikap pada peninggalan Jokowi?

Namun, satu hal yang perlu diingat, jangan sampai ada pihak yang iseng memanfaatkan situasi ini untuk menuntut Presiden Prabowo di-impeach dengan alasan telah mengabaikan, tidak melaksanakan, atau bahkan melanggar undang-undang.

Hal semacam itu tentu tidak adil, mengingat ia baru beberapa bulan menjabat. Langkah yang terlalu jauh hanya akan memperkeruh situasi politik yang sudah cukup kompleks.

Drama ini belum selesai. Jika pemerintah serius ingin mengecualikan barang non-mewah dari kenaikan PPN, langkah pertama adalah mengeluarkan peraturan tertulis yang jelas. Tanpa itu, janji Presiden dan optimisme Sri Mulyani hanya akan menjadi episode lain dalam serial panjang politik janji di Indonesia.

Sebagai rakyat, kita hanya bisa berharap bahwa babak berikutnya tidak berakhir sebagai tragedi baru, di mana rakyat kecil kembali menjadi korban. Atau, barangkali kita memang telah terlalu lama tertidur dalam ilusi politik janji-janji yang tak pernah ditepati, utamanya oleh Jokowi. [ ]
Cak AT – Ahmadie Thaha, Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 1/1/2025

Back to top button