SolilokuiVeritas

Apakah Mahkamah Konstitusi Masih Layak Dipertahankan?

Dalam beberapa tahun terakhir, persepsi publik terhadap MK mulai berubah. Sebagian masyarakat memandang MK tidak lagi netral dan independen. Putusan-putusan yang dianggap sarat kepentingan politik, serta adanya dugaan konflik kepentingan dalam pengambilan keputusan, membuat kepercayaan publik merosot tajam. Yang lebih memprihatinkan, kasus etik yang melibatkan hakim konstitusi bahkan sampai menyebabkan pencopotan pimpinan MK menjelang Pemilu lalu.

Oleh     :  Iswadi*

JERNIH– Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia kembali menjadi sorotan publik setelah sejumlah putusan kontroversial menyita perhatian. Terbaru, putusan yang menyangkut persoalan Pemilu, baik mengenai sistem pemilu terbuka, penggabungan atau pemisahan Pemilu legislatif dan Pemilu presiden, hingga yang terkait syarat usia calon presiden mengundang kritik tajam dari berbagai kalangan.

Banyak pihak mulai mempertanyakan integritas, independensi, bahkan relevansi MK dalam sistem demokrasi Indonesia. Di tengah krisis kepercayaan ini, muncul pertanyaan penting: apakah Mahkamah Konstitusi masih layak dipertahankan?

Sebagai lembaga tinggi negara yang lahir dari semangat reformasi, Mahkamah Konstitusi sejatinya memegang peran yang sangat vital dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. MK dibentuk untuk menjadi penjaga konstitusi (guardian of the constitution), penafsir utama UUD 1945, dan pengendali agar kekuasaan tidak melampaui batas. Fungsi utamanya antara lain menguji undang-undang terhadap konstitusi, menyelesaikan sengketa hasil Pemilu, hingga memutus pembubaran partai politik.

Dalam berbagai peristiwa penting, MK pernah tampil sebagai pembela hak konstitusional warga negara dan pelindung demokrasi. Misalnya, putusan yang memperkuat hak-hak sipil, menolak aturan yang diskriminatif, atau membatalkan undang-undang yang merugikan rakyat kecil. Tidak sedikit kasus di mana MK justru menjadi harapan terakhir masyarakat sipil untuk mendapatkan keadilan konstitusional.

Namun sayangnya, dalam beberapa tahun terakhir, persepsi publik terhadap MK mulai berubah. Sebagian masyarakat memandang MK tidak lagi netral dan independen. Putusan-putusan yang dianggap sarat kepentingan politik, serta adanya dugaan konflik kepentingan dalam pengambilan keputusan, membuat kepercayaan publik merosot tajam. Yang lebih memprihatinkan, kasus etik yang melibatkan hakim konstitusi bahkan sampai menyebabkan pencopotan pimpinan MK menjelang Pemilu lalu. Ini mencoreng wajah lembaga yang seharusnya berada di atas semua kepentingan.

Dalam situasi semacam ini, mudah bagi sebagian pihak untuk menyimpulkan bahwa MK telah kehilangan legitimasi dan karenanya tidak lagi layak dipertahankan. Namun, pandangan ini patut dikritisi lebih lanjut. Menyingkirkan atau membubarkan Mahkamah Konstitusi karena kekecewaan terhadap putusan-putusan tertentu sama saja dengan menghapus salah satu pilar utama negara hukum modern.

Di banyak negara demokratis, lembaga konstitusi seperti MK justru menjadi benteng terakhir dalam membendung kekuasaan yang berlebihan. Kehadirannya sangat penting sebagai pengimbang antara lembaga legislatif dan eksekutif. Tanpa MK, tidak ada lembaga yang dapat menguji dan membatalkan undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi. Tidak ada pula mekanisme formal yang dapat menyelesaikan sengketa pemilu secara yudisial. Dengan kata lain, membubarkan MK justru akan melemahkan demokrasi, bukan menguatkannya.

Yang lebih relevan untuk dilakukan adalah mendorong reformasi kelembagaan Mahkamah Konstitusi. Ada kebutuhan mendesak untuk memperkuat sistem seleksi hakim konstitusi agar benar-benar transparan, akuntabel, dan bebas dari intervensi politik. Selain itu, sistem pengawasan etik harus diperkuat. Dewan Etik atau Majelis Kehormatan MK harus diberi kewenangan yang jelas dan efektif untuk menindak pelanggaran kode etik, bahkan jika pelanggaran itu dilakukan oleh pimpinan sekalipun.

Kita juga perlu menumbuhkan budaya yudisial yang kuat di kalangan hakim konstitusi. Mereka bukan hanya harus cakap dalam ilmu hukum tata negara, tetapi juga memiliki integritas moral yang tinggi, serta keberanian untuk berdiri di atas semua tekanan politik. Dalam konteks ini, pendidikan etik dan profesionalisme hakim perlu menjadi perhatian utama dalam sistem peradilan konstitusional ke depan.

Tak kalah penting, keterlibatan publik dalam pengawasan MK perlu diperluas. Proses judicial review dan pengambilan putusan harus dilakukan secara transparan, dengan membuka ruang partisipasi masyarakat sipil, akademisi, dan media. Kepercayaan publik hanya akan tumbuh jika ada keterbukaan dan akuntabilitas.

Kritik terhadap MK memang penting dan harus terus dilakukan demi perbaikan. Tapi kita perlu membedakan antara kritik terhadap individu hakim atau putusan tertentu dengan eksistensi lembaga itu sendiri. Lembaga Mahkamah Konstitusi masih sangat dibutuhkan oleh bangsa ini. Justru dalam situasi politik yang kian kompleks dan rentan akan penyalahgunaan kekuasaan, MK harus diperkuat agar dapat menjalankan fungsinya secara optimal.

Sejarah telah menunjukkan bahwa institusi hukum yang kuat hanya bisa terbangun lewat konsistensi, akuntabilitas, dan pengawasan publik yang ketat. Tidak ada lembaga yang sempurna, tetapi menyerah pada ketidaksempurnaan justru akan membawa kemunduran. Yang diperlukan bukan pembubaran, melainkan pembenahan secara menyeluruh.

Maka, menjawab pertanyaan “apakah MK masih layak dipertahankan?” jawabannya adalah ya, sangat layak dengan catatan bahwa reformasi mendalam perlu segera dilakukan. Indonesia masih memerlukan Mahkamah Konstitusi sebagai penyangga demokrasi dan penjaga konstitusi. Tapi untuk itu, kita juga perlu keberanian politik dan komitmen moral untuk memastikan bahwa lembaga ini tidak menjadi alat kekuasaan, melainkan tetap menjadi pelindung hak-hak konstitusional seluruh rakyat Indonesia. [ ]

*Dr. Iswadi, M.Pd, dosen Universitas Esa Unggul Jakarta

Back to top button