Belum lagi kesadaran bahwa terlambat bergerak hanya akan membuat posisi Golkar persis saat Pilpres 2014, tatkala dipimpin Aburizal Bakrie, waktu parpol besar itu telat berkoalisi. Karena kasip memilih pihak, segala kekuatan partai pun waktu itu tak menolong mengangkat Golkar dari posisi “Wujuduhu Ka’adamihi” alias ada atau tidaknya sami mawon saja.
Oleh : Darmawan Sepriyossa
JERNIH–Bila kita jeli melihat untaian peristiwa yang mengiringinya, kedatangan Ketua Umum Partai Golkar sekaligus orang pertama di Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), Airlangga Hartarto (AH), untuk berbuka puasa bersama Partai Nasdem dan bertemu para elit Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP), bukan hanya strategis, melainkan sangat masuk akal. Di atas kertas, bergabung dengan KPP akan menghidupkan kembali kartu Airlangga, yang sejatinya memiliki kekuatan besar sebagai pimpinan partai yang nyaris memenangi posisi kedua pada Pileg 2019. Partai itu hanya berselisih 0,26 persen suara saja dengan Gerindra di DPR RI.
Beberapa waktu lalu, dalam artikel https://www.inilah.com/nasib-airlangga-hartarto-setelah-kib-jadi-masa-lalu, saya terlalu optimistis saat mengatakan bahwa KIB tidak akan bubar. Saya luput melihat satu faktor yang paling pasti dalam hidup; perubahan. Benar kata Heraclitos saat mengatakan,”Panta rei. Semua mengalir, segala berubah.” Dan dalam sekitar dua pekan ini kita melihat banyak sekali pergeseran dalam faktor-faktor di perpolitikan nasional.
Misalnya, setelah sebelumnya masih maju-mundur atau setidaknya belum memberikan hint yang tegas, dalam dua pekan ini Jokowi seperti ingin menegaskan pilihan sikap politiknya untuk 2024 nanti. Ada dua momen penting yang harus dilihat cermat. Pertama adalah kebersamaan Jokowi-Prabowo-Ganjar di saat panen raya di Desa Lajer, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, 9 Maret lalu. Tidak hanya panen, Jokowi di hari yang sama juga mengajak Prabowo ikut bersamanya, blusukan ke Pasar Kebumen.
Kedua, sepekan kemudian Jokowi kembali mengajak Prabowo Subianto dalam kunjungan kerjanya menghadiri acara Istigasah dan Doa Bersama Rabithah Melayu-Banjar di Kompleks Pendopo Bersinar Tabalong, Kalimantan Selatan. Setelah acara Istigasah, Jokowi dan Prabowo juga menggelar pertemuan dengan para tokoh adat dan tokoh agama Tabalong, berlanjut mendatangi Pasar Rakyat Tabalong untuk menyerahkan sejumlah bantuan kepada para pedagang.
Bahkan, menurut catatan Kompas.com, ada sejumlah momen kebersamaan lain antara Jokowi dan Prabowo yang sebelumnya kurang diperhatikan publik. Keduanya tercatat bersama-sama saat melepas keberangkatan bantuan kemanusiaan untuk korban gempa di Suriah dan Turkiye di Lanud Halim Perdanakusuma,21 Februari 2023. Kemudian, bersama Jokowi, Prabowo juga ikut menyaksikan balapan power boat di Danau Toba pada akhir Februari lalu. Belum lagi waktu kunjungan Perdana Menteri (PM) Malaysia, Anwar Ibrahim, ke Istana Kepresidenan Bogor, pada 9 Januari 2023.
Hampir semua pengamat politik menyatakan momen-momen tersebut, terutama dua momen terakhir, jelas-jelas merupakan sinyal yang diberikan Jokowi. Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah, mengatakan, hal tersebut menunjukkan bahwa Jokowi bisa saja menaruh harapan besar pada Prabowo. “Jika Prabowo yang meneruskan kepemimpinan, bukan tidak mungkin Prabowo tetap setia dan loyal, sehingga Jokowi merasa aman,”kata Dedi.
Dukungan Jokowi kepada Prabowo itu pun bisa diartikan bahwa Jokowi menegaskan sikap berani berseberangan dengan PDIP, partai politiknya selama ini. PDIP tampaknya masih berkeras untuk mengusung putri Ketua Umum Megawati, yakni Ketua DPR RI Puan Maharani. Mengapa justru Prabowo? Bukankah mudah saja bagi Presiden untuk justru mengajak Ketua DPR, Puan Maharani, untuk bersafari menyambangi rakyat?
Belum lagi pasangan AH-Ganjar tampaknya kurang seksi di mata Jokowi untuk dipertarungkan pada Pilpres 2024. Dalam konteks itu semua, sangat wajar bila Jokowi pun melirik Prabowo dengan Gerindra-nya, partai pemenang kedua yang memenangi Pileg 2019 dengan 17.594.839 suara rakyat atau 12,57 persen suara.
Pergeseran sikap itu sepenuhnya disadari Partai Golkar dan Airlangga Hartarto. Alhasil, AH yang sebelumnya mungkin saja berpikirmasih mengharapkan adanya pendukung Jokowi untuk menambah dukungan pada Pilpres 2024, patah arang. Bila Jokowi tampaknya memilih formula Prabowo-Ganjar atau mungkin masih bisa sebaliknya, buat apa lagi Partai Golkar memelihara harapan kosong limpahan suara pendukung Jokowi?
Belum lagi kesadaran bahwa terlambat bergerak hanya akan membuat posisi Golkar persis saat Pilpres 2014, tatkala dipimpin Aburizal Bakrie, saat parpol itu besar telat berkoalisi. Karena kasip memilih pihak, segala kekuatan partai pun waktu itu tak menolong mengangkat Golkar dari posisi “Wujuduhu Ka’adamihi” alias ada atau tidaknya sami mawon saja.
Dengan posisi yang nyaris tak menguntungkan itu, undangan buka puasa bersama dari Nasdem jelas sebuah kesempatan yang tak bijak dilepaskan. Apalagi dengan menghadiri momen buka bersama tersebut, AH dan Partai Golkar pun bisa memaksa publik (politik nasional) untuk kembali sadar akan posisi penting Partai Golkar. AH dengan cerdas menegaskan bahwa Golkar—apalagi dengan masih adanya KIB– masih punya taring. Kehadiran itu pun memperkuat posisi AH ke dalam internal Partai Golkar, setidaknya untuk memperkuat kesan bahwa ia sama sekali bukanlah subordinasi tanpa reserve dari Jokowi.
Mengapa bahkan di awal tulisan ini saya menyatakan kehadiran AH pada buka puasa bersama Nasdem itu strategis? Jika seperti kata Indonesianis terkemuka Herbert Feith, bahwa negara ini memerlukan tipe kepemimpinan laiknya Soekarno-Hatta, di mana yang satu adalah solidarity maker dan lainnya bertipe administrator, pasangan Anies-Airlangga tampaknya memenuhi karakteristik yang dibutuhkan itu.
Sebagai solidarity maker, Anies bisa lebih mengedepankan strategi retorik guna mengumbar gelora dan penyatuan solidaritas dengan memainkan simbol-simbol identitas. Sedangkan di sisi lain, sebagai administrator, Airlangga bisa berperan mengedepankan kecakapan administratifnya yang telah terbukti selama ia menjalankan tugas di kabinet Jokowi, guna kelancaran implementasi visim misi dan program pembangunan kabinet mereka ke depan.
Bila ada yang bertanya, bagaimana dengan rencana bakal calon wapres KPP yang seringkali disebut-sebut akan datang dari komunitas Nahdlatul Ulama (NU)? Tampaknya, dengan melemahnya PKB setelah kepengurusan NU berada di bawah para simpatisan Gus Dur, bukan hal yang berat untuk meminta dukungan kalangan Nahdliyin buat men-support pasangan AB-AH tersebut. Apalagi, baik Anies maupun AH pun selama ini mengesankan memiliki silaturahmi yang baik dengan komunitas kyai dan warga NU. Memilih AH, menurut pandangan saya yang bisa jadi rabun, bahkan lebih baik dibanding memasangkan Anies dengan Khofifah, sebagai pemisalan untuk mewakili bagian dari komunitas NU.
Semata melihat peta 2019, dengan Partai Golkar dan AH, kekuatan KPP akan berlipat kuat, kalau pun—katakan, dan tentu jangan terjadi–Partai Demokrat ngambek. Apalagi urusan dengan Partai Demokrat ini tampaknya jauh telah sangat cair. Setidaknya bila kita mencermati pernyataan Sekretaris Jenderal Partai Demokrat, Teuku Riefky Harsya. Sabtu (25/3) lalu.
Saat itu Teuku Riefky menyatakan, pihak Demokrat tidak mempersalahkan apabila Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) tidak menjadi calon wakil presiden pendamping Anies Baswedan.
“Kita berbesar hati, (memilih) kebaikan untuk kemenangan pilpres ini,” ujar Riefky di Sekretariat Perubahan, Jakarta, Sabtu (25/3) lalu. Menurut dia, Demokrat tidak akan memaksakan AHY menjadi calon wakil presiden, dan akan mengikuti alur bagaimana proses Anies mencari cawapresnya. [INILAH.COM]