SolilokuiVeritas

Catatan IPB: Luas Lahan Pertanian Terus Menyusut

Alih-alih memproduksi bahan pangan nasional, lahan pertanian di Indonesia kecil dibanding negara lain. Lahan mending dijual dengan harga tinggi untuk komersialisasi.

JERNIH –  Setiap tanggal 16 Oktober, dunia memperingati Hari Pangan Sedunia sebagai momentum untuk meninjau kembali tantangan global dalam mewujudkan ketahanan pangan berkelanjutan.

Bagi Indonesia, refleksi tahun ini terasa semakin mendesak. Dua guru besar dari IPB University, Prof. Suryo Wiyono dan Prof. Baba Barus, menegaskan bahwa ancaman terbesar terhadap masa depan pangan nasional bukan hanya perubahan iklim atau gangguan rantai pasok global, melainkan alih fungsi lahan pertanian yang terus meluas tanpa kendali.

Lahan Pertanian Indonesia Terus Menyusut

Data menunjukkan kondisi yang memprihatinkan. Berdasarkan Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik (BPS), luas lahan sawah di Indonesia menyusut dari 8,1 juta hektar pada tahun 2015 menjadi sekitar 7,4 juta hektar pada tahun 2019.

Penurunan ini berarti kehilangan hampir 700.000 hektar lahan produktif hanya dalam empat tahun. IPB University mencatat, laju konversi mencapai 60.000–80.000 hektar per tahun, bahkan pernah menyentuh 96.512 hektar per tahun dalam periode 2000–2015.

Prof. Suryo, Dekan Fakultas Pertanian IPB University, memperingatkan bahwa bila tren ini berlanjut dan mencapai 100.000 hektar per tahun, Indonesia akan kehilangan satu juta hektar lahan sawah dalam satu dekade. “Dampaknya akan luar biasa pada ketahanan pangan nasional,” tegasnya.

Saat ini, Indonesia memiliki sekitar 7,3 juta hektar lahan sawah, angka yang relatif kecil jika dibandingkan dengan kebutuhan penduduk yang mencapai lebih dari 280 juta jiwa. Secara global, Indonesia hanya menempati peringkat ke-130 dari 180 negara dalam hal ketersediaan lahan pertanian per kapita — posisi yang menandakan kerentanan struktural terhadap krisis pangan.

Lemahnya Perlindungan Lahan dan Implementasi Kebijakan

Prof. Baba Barus menyoroti akar masalah yang lebih dalam: lemahnya perlindungan formal terhadap lahan pertanian. “Sekitar tiga juta hektar lahan sawah di Indonesia belum dikategorikan sebagai lahan yang dilindungi secara formal,” ujarnya.

Padahal, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) yang seharusnya menjadi payung hukum utama dalam menjaga eksistensi lahan pangan.

Sayangnya, implementasi di tingkat daerah masih jauh dari optimal. Banyak peraturan daerah (perda) dibuat tanpa peta spasial yang akurat, sehingga sulit menegakkan batas dan fungsi lahan secara efektif.

Akibatnya, data Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN) menunjukkan bahwa 23 provinsi kini mengalami defisit lahan sawah, sementara hanya 14 provinsi yang masih surplus. Fenomena ini memperlihatkan kesenjangan spasial antara pusat produksi pangan dan pusat konsumsi nasional.

Tekanan Ekonomi dan Paradoks Lahan Subur

Alih fungsi lahan paling banyak terjadi di wilayah dengan kesuburan tinggi seperti Jawa, Sumatera, dan Bali, di mana tekanan ekonomi dan pembangunan perkotaan semakin kuat. “Satu meter persegi lahan bisa bernilai miliaran rupiah untuk perumahan atau industri, sementara hasil panen padi tak sebanding dengan nilai itu,” jelas Prof. Suryo.

Dalam konteks ekonomi mikro, petani sering kali menghadapi dilema: mempertahankan lahan yang semakin tidak menguntungkan atau menjualnya untuk kebutuhan hidup yang lebih mendesak.

Fenomena ini diperkuat oleh data Kementerian ATR/BPN tahun 2023, yang mencatat lebih dari 200.000 hektar lahan sawah produktif telah beralih fungsi menjadi kawasan non-pertanian dalam kurun satu dekade terakhir, terutama di sekitar kawasan industri dan urban baru seperti Cikarang, Karawang, dan Serang.

Meski Indonesia sering diklaim sebagai negara yang “aman pangan” dengan produksi beras mencapai 31 juta ton per tahun (BPS, 2023), Prof. Baba mengingatkan bahwa persoalan pangan tidak berhenti pada ketersediaan.

“Isu utama kita justru pada distribusi dan akses masyarakat terhadap pangan. Banyak daerah surplus, tetapi daerah lain mengalami defisit karena hambatan logistik dan daya beli,” jelasnya.

Fakta menunjukkan bahwa sekitar 8,7% penduduk Indonesia (setara 23 juta jiwa) masih mengalami rawan pangan (Badan Ketahanan Pangan, 2022). Di sisi lain, Indeks Ketahanan Pangan Global (Global Food Security Index 2023) menempatkan Indonesia di posisi 69 dari 113 negara, tertinggal dari negara tetangga seperti Malaysia (35) dan Thailand (51).

Strategi Menuju Kemandirian Pangan

Menghadapi situasi tersebut, Prof. Suryo menekankan tiga langkah strategis, antara lain;

  1. Melindungi lahan subur yang tersisa melalui penegakan hukum dan penataan ruang berbasis peta spasial.
  2. Membuka lahan pertanian baru di wilayah potensial luar Jawa dengan prinsip keberlanjutan lingkungan.
  3. Meningkatkan produktivitas dan diversifikasi pangan, dengan mendorong komoditas bernilai tinggi seperti jamur pangan, hortikultura, dan rempah-rempah.

Sementara itu, Prof. Baba menekankan pentingnya transisi yang adil bagi petani serta kebijakan yang konsisten dalam perlindungan lahan. “Petani harus sejahtera agar pasokan pangan kita terjamin,” pungkasnya.(*)

BACA JUGA: Reforma Agraria Dibincangkan di Great Institute: Ironi Kesuburan Tanah, Ketimpangan, dan Tuntutan Keadilan

Back to top button