Solilokui

Catatan Pinggir 14: Kutukan Lambere

Selebihnya, relatif tak ada lagi ulasan pengantar Catatan Pinggir yang berisikan kritik—jamu bagi sebuah tulisan dan penulisnya. Bahkan para penulis pengantar yang lebih muda, seperti F Budi Hardiman, Bagus Takwim, Ayu Utami, Intan Paramaditha, Hairus Salim, apalagi Arzul, lebih memilih mendorong GM ke keranda, dengan hanya memujinya.    

JERNIH—Bila diskursus, apalagi kritik, kita sepakati menjadi keniscayaan untuk kebaikan seorang penulis dan karyanya, barangkali penulis ‘Catatan Pinggir’ (Caping) adalah persona paling menyedihkan di dunia kepenulisan Indonesia. Selama 45 tahun usia esai mingguan tersebut, rasanya tak banyak yang ‘berani’ mengkritik esai-esai yang ditulis wartawan cum sastrawan Goenawan Mohamad (GM) itu.    

Darmawan Sepriyossa

Kini, lewat buku ‘Catatan Pinggir 14’, kumpulan caping-caping GM yang terbit di Majalah TEMPO selama rentang waktu Januari 2019 hingga Desember 2020 itu bahkan telah menjadi ‘kutukan’ tersendiri bagi sang penulis. Arif Zulkifli (Arzul)—mantan pemimpin redaksi Majalah TEMPO, kini dirut PT Tempo Inti Media–, yang memberi kata pengantar untuk buku itu, telah mentahbiskan GM sebagai penulis esai yang sempurna. Setidaknya menurut interpretasi saya atas pengantar tersebut. Artinya, dalam pemahaman saya, Arzul sudah menganggap GM telah selesai. Dan adakah padanan kata lain yang paling tepat untuk ‘selesai’nya pengembaraan (termasuk pengembaraan intelektual) manusia, kecuali kematiannya?

Memang benar, tak hanya Arzul yang sangat bermurah hati dalam memberikan pujian bagi kumpulan caping-caping GM selama ini. Riset kilat saya atas 14 kumpulan ‘Catatan Pinggir’ menegaskan tak banyak dari mereka yang (diminta GM?) menulis pengantar  buku itu, berbaik hati melontarkan kritik.

Mulai dari Th Sumartana (Caping I), Ignas Kleden, William Liddle, Goenawan sendiri, Franz Magnis-Suseno, Haidar Bagir, Bambang Sugiharto, Bagus Takwim, F Budi Hardiman, Ayu Utami, Intan Paramaditha, Hamid Basyaib, Hairus Salim HS, dan Arzul, kebanyakan lebih suka memuji. Saya yang pernah sekian tahun bersentuhan dengan GM manakala bergabung bersama generasi “TEMPO terbit kembali 1998” dan melihat sifat serta perilaku keseharian GM, sangsi kalau GM sendiri menikmati pujian tersebut.

Kita tak pernah tahu—dan mungkin juga tidak harus tahu—alasan mengapa yang muncul hanya pujian. Boleh jadi, sebagai esai, Caping yang tidak terlalu panjang—apalagi pada edisi-edisi awal, yang majalah bekasnya satu dekade kemudian saya guntingi dan dan simpan manakala masih SMP–, membuat peluang penulisnya melakukan kesalahan juga menjadi lebih kecil. Dengan begitu, Caping kemudian dirasa–bahkan oleh orang yang memelototinya dengan serius pun–memang telah sempurna. Tetapi tentu saja, banyak hal lain, termasuk budaya ewuh pakewuh, rikuh karena senioritas, pertemanan, hubungan sosial dan sebagainya, juga bisa jadi berada di balik keputusan untuk ‘hanya’ memberikan pujian tersebut.

Namun paling tidak, hal itu pun dikuatkan fakta menarik: perbedaan usia dan generasi berkorelasi dengan ada dan tidaknya kritik yang dilontarkan para penulis pengantar kumpulan Caping. 

Th Sumartana dan Ignas Kleden, misalnya—yang relatif satu generasi dengan GM, masih tampak merasa rugi menulis kata pengantar untuk kumpulan ‘Caping’ bila tidak melontarkan satu pun kritik. Seolah, keduanya—belakangan ternyata juga dilakukan Haidar Bagir dan Hamid Basyaib—sadar bahwa sesedikit apa pun mereka harus turut memberi andil bagi perkembangan anak rohani GM tersebut.

Bagi Th Sumartana, GM dengan ‘Caping’-nya menunjukkan “posisi yang ambivalen, sering terlihat sangat gamang untuk ‘hanya’ memilih ‘ya’ dan ‘tidak’”. Ini, kata Sumartana, terutama bila dilihat oleh mereka yang bergerak di politik—artinya sasaran pembaca TEMPO—, kalangan yang minatnya untuk mengubah dan menyebabkan perubahan kondisi sesegera mungkin, paling besar.

Dengan kalimat berbeda plus nada yang agak menyesalkan, Ignas melihat bahwa lewat Caping, GM memang tak hendak menekankan sebuah solusi. Bagi Ignas, Caping tak punya pretensi untuk memberikan sebuah solusi. Esai itu hanya berusaha mendeskripsikan (persoalan) dengan cara memikat. Lain tidak. Apakah itu sebuah kritik, atau justru pujian atas kesadaran GM untuk ‘handap asor’ dan berendah hati menyilakan pembaca sendiri yang memberikan solusi, sebenarnya tidak begitu jelas.

Ignas menulis,”…siapa pun yang membaca Caping akan segera merasa bahwa Caping adalah catatan seseorang yang dengan sadar memilih berdiri di pinggiran, mencatat dari suatu jarak…sering bukan untuk menyampaikan suatu gagasan kepada orang lain, tetapi untuk mengingatkan diri sendiri tentang apa yang terjadi dan tentang apa yang tengah jadi bahan pembicaraan orang banyak…

Dan mungkin karena sikap untuk tetap kukuh hanya berdiri di pinggir, mencatat dan menyampaikan itu, maka fokus GM pun lebih banyak—kalau tak boleh disebut selalu—terarah ke tengah, menyorot manusia yang sedang naik pentas . Seingat saya, Caping tak banyak menyoal kehidupan kalangan papa, orang-orang yang tengah dirundung nestapa, dan mereka yang tak berpunya.

Sedangkal pengamatan saya, hanya satu dua Caping saja yang menyoal kalangan itu. Yang termasyhur tentu saja “The Death of Sukardal”, catatan GM tentang nestapa tukang becak dari Majalengka yang terjaring operasi Tramtib di Bandung hingga memilih gantung diri di pusat kota saat itu. Caping itu dimuat TEMPO di edisi 19 Juli 1986, yang pasti tak dibaca kalangan milenial kecuali dari kumpulan esai yang terbit kemudian. Atau “Rudy”, kisah tentang Rudy Singgih, mantan pewarta foto TEMPO yang meninggal ditembak polisi. Caping menuliskannya pada edisi 6 Mei 2001.

Dari kalangan ‘muda’, mungkin hanya Haidar Bagir dan Hamid Basyaib yang ‘berani’ mengkritik Catatan Pinggir GM. Kritik Haidar bahkan menjadi judul pengantarnya untuk buku “Catatan Pinggir 6” : ”Sekumpulan Tulisan dengan Banyak Sekali “Barangkali””. Meski isinya pun kembali memuji GM, bagi saya setidaknya judul itu terlihat memendam semangat untuk ‘mengkritik’. Semangat adalah niat, dan karena Nabi SAW bersabda bahwa amal itu sejatinya berdasarkan niat yang melatarbelakanginya —innamal a’malu binniyat—itu pun cukuplah.

Hamid, generasi yang lebih muda, lebih berani dengan menegaskan bahwa “Isi esai-esai GM mungkin tak ada yang baru.” Persis seperti kredo orang-orang Roma kuno, nil nuvo sub sole—tak ada yang baru di bawah matahari. Hamid memperkuat argumennya dengan mengatakan,” Bukankah ia gemar sekali mengutip begitu banyak kutipan orang lain dari masa lalu?” Fakta tersebut, menurut Hamid,”…artinya apa yang ia katakan sudah lama dikatakan orang lain.

Hamid juga punya kritik lain. Ia melihat GM sangat kurang peduli—jika bukan cenderung merendahkan– perkembangan mutakhir di bidang sains. Sementara menurut Hamid, perkembangan sains di tiga dekade terakhir nyaris eksponensial, sungguh menakjubkan, dan mustahil luput dari pengamatan GM. Yang dimaksud Hamid kurang peduli adalah terbatasnya Caping yang membahas sains dan perkembangannya. Saya sendiri tidak berani mengamini kesimpulan Hamid, karena belum melakukan kategorisasi isi Caping, minimal sampai kumpulan ke-12 yang diulas Hamid tersebut.   

Di lain kesempatan, bukan pada pengantar Caping 12 yang ditulisnya, Hamid menambahkan seraya menyindir soal ‘filsafat sudah mati’ (yang dikatakan Stephen Hawking dan dikutip GM). Itu artinya kekuatan eksplanasi dan intelektual filsafat sudah pudar, semakin jauh tertinggal dari kekuatan sains yang ditopang oleh metodologi yang justru terus-menerus disempurnakan. Hamid, yang melihat kesetiaan GM untuk mengikuti arus perjalanan pemikiran, seolah mempertanyakan ‘kealpaan’ GM akan perkembangan sains itu.

Selebihnya, relatif tak ada lagi ulasan pengantar Catatan Pinggir yang berisikan kritik—jamu bagi sebuah tulisan dan penulisnya. Bahkan para penulis pengantar yang lebih muda, seperti F Budi Hardiman, Bagus Takwim, Ayu Utami, Intan Paramaditha, Hairus Salim, apalagi Arzul, lebih memilih mendorong GM ke keranda, dengan hanya memujinya.     

Sebenarnya, tampilnya Arzul untuk menulis pengantar “Caping 14” pun merupakan hal di luar kebiasaan. Ketiga belas penulis pengantar sebelumnya, dari Th Sumartana hingga Hairus Salim, semuanya orang di luar TEMPO. Arzul-lah orang pertama di lingkaran dalam (inner circle) TEMPO yang menulis pengantar “Caping”. Mengapa ia yang diminta, tampaknya tak terlampau perlu untuk dikejar jawabannya. Sebab secara alamiah pun, Arzul yang sekian lama menjadi anak buah GM, jelas bukan orang yang bisa diharapkan untuk mengkritik. Ia tahu banyak, tentu. Tapi tahu juga lebih dekat kepada mengerti, atau setidaknya mencoba memahami mengapa seseorang melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Orang dekat, cenderung akan menjawab sendiri kalau pun ada banyak pertanyaan kecil menyangkut orang dekatnya itu.

Oh ya, sebenarnya bukan juga tak ada orang muda yang mengkritik GM. Pada 2009 lalu, novelis muda ES Ito melayangkan tulisan pedas berjudul “Gugatan untuk Goenawan Mohamad”. Tulisan tersebut dengan segera menjadi perbincangan di dunia maya. Namun, selain karena pilihan bahasanya cenderung vulgar, gugatan ES Ito saat itu tergelincir menjadi ad-hominem. Yang diserang lebih terhadap pribadi GM—terutama pilihan politik GM yang terang-terangan mendukung Boediono dalam paket SBY-Boediono. Barangkali hal-hal tersebut yang membuat gaung ‘gugatan’ ES Ito saat itu tak lama bersipongang. 

Sejatinya, Caping pun bukan tanpa cacat. Dan itu sangat wajar, bahkan untuk Caping yang usianya merentang lebih dari empat dekade, kesalahan-kesalahan kecil yang terjadi sangatlah layak untuk dilupakan. Namun boleh jadi, bagi para pecinta Caping—atau lebih spesifik lagi pecinta GM—, yang mengibaratkan esai tersebut sebuah Lamborghini di dunia penulisan, tampaknya cela yang remeh pun bisa jadi dianggap persoalan (besar).

Itu terbukti manakala seorang reporter baru Majalah TEMPO menemukan kesalahan pada sebuah Caping di tahun 1998; tepatnya edisi 28 Desember 1998. Pada Caping berjudul ‘Wiyasa’ tersebut, GM menulis : Para Pandawa dikalahkan dalam judi dadu. Para Pandawa dibuang ke dalam Hutan Kiskendha.

Reporter itu kemudian menulis di maling-list Majalah TEMPO—saat itu rasanya belum ada SMS, pesan Blackberry, apalagi grup WA—, mengkritik secara halus. Bahkan rasanya tidak pas disebut kritik, karena ia hanya mengulas kesalahan yang terjadi. Ia mengoreksi dengan mengatakan bahwa Pandawa tak pernah dibuang ke Hutan Kiskendha. Pandawa dibuang dan harus menjalani hukuman itu selama 13 tahun di Rimba Kamiaka.

Namun persoalannya–bila dipersoalkan–memang tidak sesederhana itu. Kiskendha bukan nama hutan, melainkan nama gua tempat dua kera sakti bersaudara, Sugriwa dan Subali, bertikai sampai berusaha saling bunuh. Cerita itu tidak berada di epik “Mahabharata”, kisah termasyhur yang antara lain ditulis Resi Wiyasa, berisikan cerita panjang pertikaian keluarga besar Pandawa dan Kurawa. Gua Kiskendha berada dalam epic lain yang tak kalah besar, “Ramayana”, yang ditulis Resi Walmiki, sastrawan besar India yang lain.

Reporter itu merasa sangat wajar bila GM tertukar untuk urusan yang remeh seperti itu. Banyak urusan yang lebih besar yang harus dipikirkan GM yang saat itu masih menjadi pimpinan redaksi Majalah TEMPO. Apalagi, GM, yang saat itu tengah berada di New York dalam rangkaian pementasan opera—kalau tak salah—“Gandhari”, bersama Tony Prabowo, meresponsnya dengan sangat baik dan rendah hati. Lewat mailing list itu GM langsung mengakui hal itu sebagai sebuah kesalahan. GM bahkan tak lupa mengucapkan terima kasih, yang membuat reporter pemula tersebut tak hanya merasa girang dan bangga, melainkan justru kikuk.   

Namun, tak semua awak majalah TEMPO—atasan si reporter–tampaknya bisa menerima hal itu. Paling tidak, si reporter merasa ada beberapa atasannya yang tak begitu ‘happy’ manakala si reporter baru itu ‘sok-sokan’ melayangkan kritik.

Sejatinya, bagi orang-orang di luar GM, mungkin pembetulan itu pun sama sekali tak dianggap punya arti. Paling tidak, buktinya cetakan kedua kumpulan “Catatan Pinggir 5”, yang terbit tahun 2012 pun masih berisikan kesalahan tersebut. Padahal, sekali lagi, meskipun kecil, itu kesalahan. 

Hanya itu yang bisa saya temukan sebagai kesalahan di Caping. Bayangkan, satu dalam 40-an tahun. Tetapi tentu saja, saya pun tidak menutup kemungkinan adanya kesalahan lain, yang akan terlihat oleh mata lain yang lebih awas di bidang itu. Karena GM menulis macam-macam, maka ‘kekurangan’ atau bahkan salah tulis yang beliau lakukan, akan jelas bagi mereka yang memiliki latar belakang pendidikan, bacaan, dan minat di bidang tersebut, dan kurang jelas bagi pembaca dengan minat dan latar belakang lain.

Dengan latar belakang sebagai ‘orang dalam’ di TEMPO, saya memahami kesulitan Arzul menulis pengantar “Caping 14”. Tetapi barangkali, hal itu tak lantas harus membuat dirinya terkesan berlebihan dalam memuji. Tak hanya memuji lead sebuah Caping GM sebagai ‘pemandangan yang unik’, pujian Arzul bertebar di sepanjang 10 halaman pengantar tersebut. Ada ‘permenungan yang dibumikan’, ‘berupaya selalu keluar dari kungkungan tarikh tak sebagaimana jurnalisme’, ‘persisten’ (dalam mengingatkan), ‘senantiasa berdisiplin dalam mutu, termasuk cara bertutur’, ‘reportase yang memikat’, dan sebagainya. Tentu saja semua itu benar, tetapi tak setiap yang benar harus selalu digemakan, bukan?

Jadi, jika Arzul kemudian menyatakan bahwa GM sudah kena kutuk: untuk menulis esai yang sempurna, kutukan baru telah datang kepada karyanya: lambere. Itu kata asing asal comot, sekadar menggantikan kata Indonesianya yang barangkali tak semua orang bisa nyaman menerima.

Sebagai penulis, GM tak akan pernah merasa telah ‘selesai’. Kita yang memaksanya ‘selesai’. Paling tidak, memaksanya untuk mengaku bahwa pengembaraan kreativitasnya telah usai. Dalam bahasa Arief Zulkifli: telah menulis dengan sempurna. [darmawan sepriyossa]

Back to top button