
Empat bulan pemerintahan Probowo belum ada kebijakan fundamental yang dirasakan positif oleh rakyat. Label “omon-omon” menjadi olok-olokan pengamat dan orang-orang berpendidikan. Saat ini yang terjadi adalah antitesis janji presiden, pajak naik bahkan semua dipajaki, sekolah masih bayar, kurs rupiah tidak terkendali, kelas menengah turun, PHK di mana-mana, pertumbuhan ekonomi stagnan, akses usaha hanya untuk golongan tertentu, dan masih banyak PR janji yang tak terwujud
Oleh : Agung Sudjatmoko*
JERNIH– Menarik menyimak tulisan Bung Syahganda Nainggolan tentang “diplomasi sayur lodeh”, sebelumnya. Indonesia butuh pemimpin negarawan yang berintegritas, komit, bersih dan jujur serta mempunyai akal sehat yang waras untuk menyelesaikan semua masalah kebangsaan diatas nasionalism dan kepentingan rakyat.
Ukurannya dibuat sederhana, di mana semua kebijakan memberikan kejelasan dan kemudahan lapangan kerja, harga sembako yang terjangkau, ketersediaan pangan, sandang dan papan bagi semua rakyat pada golongan kelas sosial ekonominya masing-masing.

Eksistensi sejati peran pemerintah adalah membuat akses ekonomi, sosial, politik yang adil dan merata. Kelas sosial ekonomi di masyarakat baik yang miskin maupun kaya tersenyum bahagia karena kebijakan dan akses yang pembangunan pemerintah di segala bidang. Empat bulan pemerintahan Probowo belum ada kebijakan fundamental yang dirasakan positif oleh rakyat. Label “omon-omon” menjadi olok-olokan pengamat dan orang-orang berpendidikan. Saat ini yang terjadi adalah antitesis janji presiden, pajak naik bahkan semua dipajaki, sekolah masih bayar, kurs rupiah tidak terkendali, kelas menengah turun, PHK dimana-mana, pertumbuhan ekonomi stagnan, akses usaha hanya untuk golongan tertentu, dan masih banyak PR janji yang tak terwujud. Intinya masih banyak kebijakan pemerintah yang amburadul dan tidak berpihak ke rakyat.
Kopdes? Alaah Mak
Menyoal Kopdes, oleh kaum gemoy disanjung, namun bagi saya yang sejak mahasiswa menggeluti koperasi, ini antithesis, karena Presiden menjalankan paradoks dalam bukunya bukan menjalankan transformasi bangsa. Kenapa saya membuat label tersebut?
Karena: 1) tidak ada konsep dan sejarah dunia dan nasional koperasi sukses di bangun dengan pendekatan top down. Koperasi gerakan sejati dari kepentingan dan kebutuhan rakyat anggota yang mendirikan. Koperasi gerakan sosial, ekonomi dan budaya, BUKAN kepentingan konsolidasi sosial politik untuk kepentingan elektabilitas dan mempertahankan kekuasaan.
2) Banyak fakta dan sejarah kegagalan koperasi yang dibentuk secara top down secara nasional, provinsi dan kabupaten/kota yang mengham-burkan dana triliunan rupiah dengan tingkat keberhasilan persentase kecil sekali. Program PNPM, KUD, Koptan, BUMP, Bumdes, Kopwan di Jatim, Koperasi RT/RW dibeberapa Kab/Kota. Keberhasilannya tidak sebanding dengan uang negara yang di gelontorkan. Apakah ini akan diulangi lagi? Jangan sampai pendekar ekonomi pro-rakyat, seorang nasionalis, Presiden Prabowo, mengulangi kesalahan yang sama karena akan dicatat dalam sejarah seperti keledai yang terantuk batu berkali-kali.
3) Pertanyaannya, mengapa yang dibangun kekuatannya dari kelembagaan yang sudah ada dan sudah sukses untuk implementasi program hilirisasi industri, kedaulatan pangan dan pemberdayaan ekonomi rakyat di pedesaan dan kelompok marginal? Jika program ini dipilih akan lebih cepat hasil jadinya, produktivitasnya, konsolidasi institusinya dan budaya komunitasnya sudah terbentuk. Presiden masih punya waktu untuk melakukan perubahan kebijakan, urungkan Kopdes Merah Putih, perkuat kelembagaan di pedesaan yang sudah ada, dengan pendekatan yang lebih intensif untuk mendampingi rakyat berdikari secara ekonomi dan sosial.
Catatan atas tulisan Bang Ganda ini untuk dibincangkan dalam perdebatan wacana, dalam merumuskan model pemberdayaan sosial ekonomi yang lebih menjamin keberhasilan. Tetapi jika pemerintah tidak mau menerima masukan ini karena gengsi birokratik politik, maka bangsa ini masuk kategori bangsa yang tidak demokratis, yang pemimpinnya sok pintar dan merasa paling hebat. []
*Dr. Agung Sudjatmiko, ketua harian Dekopin RI dan eks ketua Koperasi Pemuda Indonesia