Solilokui

Catatatan Harian Covid-19 (6) : Jarum-Suntik

Don’t get me wrong, saya menikmati semua kiriman sahabat-sahabat saya  sebab saya tahu mereka ingin saya bahagia dan segera sembuh. Tapi kok yo rekoso je. Suster paling bilang, “Ibu banyak gerak ya?”, sambil memompa cairan di selang infus karena darah sudah membuntu selang infus.

Oleh  : Dian Islamiati Fatwa

JERNIH– Seharian saya tidur, sampai lewat sholat dzuhur. Semalam saya  tidak bisa tidur nyenyak. Diare lagi sejak jam 3 pagi lalu dan dada sesak jam 4.30. Saya menunggu sampai sholat subuh dan tidur lagi.

Tapi tak lama, karena ritual pagi datang. Suster bergantian datang; ambil darah untuk diperiksa di lab, lalu harus mendapat suntikan pengencer darah, suntikan vitamin C, dan cairan untuk peradangan. Ini rada nyeri, kadang saya menjerit bila suster mendorong cairan lewat jarum infus terlalu kencang.

Setelah itu infus antibiotik. Bergerak dikit, infus tidak jalan, karena terhambat darah yang membeku. Pembekuan darah saya masih tinggi, ini efek dari virus Covid yakni 750, mestinya kurang dari 500. Bila darah kental akan kesulitan mengalirkan oksigen.

Ini membuat saya tidak bisa meleng, bergerak dikit, darah akan keluar, lalu membeku, menutup selang cairan infus.

Karena itu, setiap 35-40 jam sekali jarum infus harus berganti. Selain untuk membuka tumpukan darah yang membeku di selang, juga melancarkan cairan atau pun obat-obatan masuk serta mencegah infeksi.

Tangan kanan yang bengkak-bengkak karena keseringan disuntik dan ditusuk jarum infus

Masalahnya tangan kiri saya tidak boleh terkena coblosan jarum setelah saya operasi kanker payudara. Semua coblosan jarum, ambil darah dan infus harus di tangan kanan. Jadi bisa dibayangkan bentuk tangan kanan setelah seminggu di rumah sakit: biru-biru dan bengkak.

Awal-awal saya masih tidak peduli, sholat masih menggunakan infus. Saya seret tiang infus, lalu sholat, eh malah kesrimpet selang, darah keluar dan buntu, terpaksa ganti coblosan lagi..ewh.

Hal yang paling membahagiakan adalah setelah ritual cairan infus dicabut. Saya bisa jalan dan bergerak leluasa membuka kiriman dari kawan-kwan, entah snack, buah, makanan dan supplemen. Pokoknya kayak buka kado ultah, seneng banget.

Tapi kawan-kawan lupa, mereka membungkus rapat kiriman dengan tali dan selotip. Tangan kanan saya masih berbalut jarum infus. Tidak ada pisau, karena saya dirawat di rumah-sakit darurat Covid. Tentu ini dilakukan dengan pertimbangan, sisi hygine dan lain-lain bila ada perpindahan tangan.

Sementara gunting harus diminta ke ruang administrasi suster. Saya harus berjalan agak jauh. Bisa sih mencet bel, tapi saya orang yang tidak mau merepotkan.

Tidak ada rotan akar pun jadi, saya menggunakan jarum suntik untuk membuka kiriman snack, madu, supplemen yang dibungkus cukup rapi dan indah.

Termasuk alpukat kiriman Hasanuddin dari hasil panen kebunnya. Juga Driantama – kolega lama di RCTI yang mengirimkan mangga. Harumnya melemahkan iman. Tentu saja utuh dan belum dikupas.

Lagi-lagi saya menggunakan jarum suntik mengupas alpukat dan mangga. Pipi jadi clemotan dengan mangga, tapi saya menikmatinya.  Jarum suntik benar-benar menjadi semacam pisau Macgiver, pokoknya jadi pisau sapu jagat.

Don’t get me wrong, saya menikmati semua kiriman sahabat-sahabat saya  sebab saya tahu mereka ingin saya bahagia dan segera sembuh. Tapi kok yo rekoso je. Suster paling bilang, “Ibu banyak gerak ya?”, sambil memompa cairan di selang infus karena darah sudah membuntu selang infus.

Hal lain yang sering dialami penderita covid hilangnya nafsu makan secara drastis. Padahal asupan makan penting untuk imunitas tubuh. Saya mengakali dengan melihat food porn di instagram, untuk meningkatkan appetite.

Hari ini saat ngelamun melihat food porn, baru mikir, gimana caranya beli. Eh, Ella Jufri mengirim sup paru. Mbak Etty Sobana juga mengirim pesan, menawarkan Siomay Bandung. Wah langsung ngeces, bener-benar looking foward.

Juga ketika madu kiriman madu Mbak Sita Aripurnami –Agung Wicaksono mulai habis, saya hendak menelepon orang rumah untuk membawakan. Tanpa memberitahu,  Mbak Lely Soebekty mengirimkan madu, Ahmad Muzani, juga Mas Raden Wisnugroho mengirim madu segambreng.

Efek lain covid adalah mulut menjadi pahit. Setelah makan, semua menjadi pahit. Untungnya saya merasakan pahit setelah saya telan habis. Coba sebelum saya kunyah sudah pahit, bisa kurus kering badan. Mbak Dwi Ria Latifa mengirimkan snack, mungkin seisi lemarinya dia kirim ke rumah-sakit.

Dengan nafsu makan yang terbatas, dan mulut pahit, buah-buahan, snack, kurma, coklat dan permen jahe membantu saya memenuhi nutrisi yang tertinggal.

Tuhan begitu sayang, seperti bisa membaca apa yang sedang saya pikirkan. Baru ngelamun, tiba-tiba barang muncul di depan saya. Kadang sampai mikir, who the hell am I? Masak Tuhan mikiran receh-receh soal Siomay Bandung atau madu yang hampir habis buat saya?

Ya Rahman Ya Rahim benar-benar nyata guys.

Mama tahu saya suka buah, beliau mengirim pepaya ranum dan mangga Arumanis sore kemarin. Buahnya besar-besar dan tentu saja dikirim, utuh belum dikupas. Njur piye bukanya?

Ada batasnya tugas si jarum suntik, selain menyedot darah dan membuka bungkusan tapi tidak untuk mengupas pepaya.

Bagi saya ini adalah saat yang tepat untuk berbagi dengan para suster yang merawat saya dengan sabar dan telaten. They deserve it.

Berbagi itu indah, Kawan! Ingat, great satisfaction comes from sharing with others. [  ]

Dini hari, 21 Oct 2020-Duren Tiga

Back to top button