Solilokui

Kenangan Lama Bersama “Bimbo”

Pada ilustrasi-ilustrasinya, Kang Sam membubuhkan nama “Samsudin Dayat”. Sayang, pada cetakan berikutnya (Sumur Bandung, 1980), buku “Lembur Kuring” tidak lagi dihiasi ilustrasi karya Samsudin Dayat alias “Sam Bimbo”.

Oleh :  Usep Romli H.M.

Pada musim Corona Covid-19 sekarang ini, muncul lagu “Corona” ciptaan dan  dinyanyikan grup musik asal Bandung “Bimbo”. Lagu bernuansa relijius, mengingatkan keagungan Allah SWT dan kelemahan mahlukNya. Dengan Corona, Allah SWT mengingatkan manusia agar selalu memohon perlindungan Khaliqnya, dari gangguan mahluk-mahluk lain.

Lagu tersebut beredar luas melalui WA Gruop dan Facebook, serta sesekali terdengar dikumandangkan di radio dan televeisi.   

H Usep Romli HM

Kemunculan lagu itu, menunjukkan grup musik “Bimbo”, masih mampu bertahan di dunia  permusikan nasional.  Padahal, banyak rekan-rekan seangkatannya, perorangan atau grup, yang sudah tinggal nama. Tidak lagi aktif berkreasi. Sebut saja, umpamanya, “The Mercy’s”, “Panbers”, “God Bless” (Jakarta) “Aka” (Surabaya), “Bentoel” (Malang), “Giant Step”, “Super Kid”, “Freedom of Rhapsodia”,“The Rollies”, “(Bandung), dll., yang pada tahun 1960-70-an malang melintang dengan corak dan gaya masing-masing. Menyemarakkan panggung-panggung pertunjukan yang disesakpadati para “fans” di tiap kota yang dikunjungi. Nama dan kiprah mereka sudah tercatat dalam lembaran sejarah permusikan Indonesia moderen, bersama “Bimbo” yang tampakna “tua-tua keladi”.

Penulis memiliki kedekatan khusus dengan “Bimbo”. Dimulai dari kedekatan emosional sebagai penggemar lagu-lagu jenis “balada”. Tahun 1974, muncul lagu “Melati dari Jayagiri” karya Iwan Abdurahman yang dilantunkan Acil “Bimbo. Segera lagu tersebut menjadi idola dan “mode” anak-anak muda waktu itu. Dengan celana potongan “cutbray”, kemeja ketat warna mencolok, kelompok-kelompok remaja pra dan pasca-ABG itu, beriringan ke Jayagiri, Lembang, atau ke tempat-tempat wisata alam pegunungan lain. Sambil menenteng gitar dan melantunkan bersama-sama “Melati dari Jayagiri”, tanpa peduli suara “rebek” seperti kaleng robek. Yang penting, membayangkan keindahan perasaan hati bersama kekasih, yang membiarkan bibirnya dikecup. Padahal, banyak di antara mereka itu,  “jomblo-jomblo” semua.

Kemudian kedekatan pribadi. Tahun 1976 “Bimbo” merilis album kasidah. Dengan lirik karya penyair Taufik Ismail, seperti “Ada Anak Bertanya Pada Bapanya”, “Rindu Rasul”, “Tuhan”, dsb., “Kasidah Bimbo” edisi pertama, meledak di pasaran. Bahkan dapat dikatakan langsung menjadi pelopor lagu-lagu kasidah moderen.

Untuk menyambut Ramadhan tahun 1977, “Bimbo” berencana membuat lagi album kasidah. Berkat bantuan seorang kawan pengurus “Bimbo Fans Club” Bandung, penulis menyerahkan dua buah puisi yang pernah dimuat di majalah “Panji Masyarakat” Jakarta. Masing-masing berjudul “Fajar Satu Syawal” dan “Lagu Puji Dinihari”.

Alhamdulillah, kedua puisi itu terpakai. Bersama karya KH EZ Muttaqien (almarhum), KH Endang Saifuddin Anshari (almarhum), KH Dr.Miftah Faridl, dan HR Ading Affandi (RAF), direkam dalam kaset “Kasidah Bimbo 2”. Bahkan lagu “Fajar Satu Syawal” yang diaransemen “One’s Dee” dan dinyanyikan Sam, menjadi “lagu wajib” selama Idul Fitri 1397. Mengalahkan lagu “Selamat Hari Lebaran” Oslan Hussein.

Sayang, lagu “Lagu Puji Dinihari”, yang dinyanyikan Acil, jarang terdengar berkumandang. Mungkin kurang “ngepop”, karena lirik dan iringan musiknya, mirip-mirip lagu musik klasik.

Dari Kang Acil, penulis menerima honor Rp 60.000 (enam puluh ribu rupiah). Ternyata besar dan barokah. Setelah memberi “komisi” kepada penghubung, sisanya penulis gunakan membeli lensa tele 200 mm, untuk melengkapi kamera “Pentax”. Cukup menunjang kegemaran penulis memotret sambil bertualang ke pedesaan, mencari bahan-bahan tulisan.

Soal honor, perlu diutarakan, sebagai contoh kejujuran grup “Bimbo” sebagai penyanyi sekaligus produser, kepada penulis lirik.  Ketika “Fajar Satu Syawal” direkam-ulang bersama lagu lain, pada kaset berlabel “Hidup” tahun 1989, Kang Sam datang sendiri ke kantor redaksi “PR”. Sengaja menemui penulis, untuk menyerahkan honor Rp 250.000 (dua ratus lima puluh ribu rupiah). Alhamdulillah, walaupun angkanya lebih besar dari tahun 1977, nilainya telah merosot, tapi tetap manfaat dan barokah.

Begitu pula pada tahun 1997, Kang Sam datang lagi menemui penulis di kantor redaksi SK “Hikmah” Jl.Belakang Factory, Banceuy. Kembali menyerahkan honor lagu “Fajar Satu Syawal” yang direkamulang. Rp 500.000 (lima ratus ribu rupiah). Manfaat dan barokah pula, karena kebetulan hari itu, anak asuh penulis yang kuliah di IPB kehabisan bekal. Sehingga uang dari Kang Sam langsung disidkohkan kepada anak asuh itu.

Terakhir, tahun 2002, Kang Sam menelepon penulis. Memberitahu, bahwa lagu “Fajar Satu Syawal” akan dinyanyikan oleh Ike Nurjanah dan akan direkam oleh Sony Music, Jakarta. Penulis disuruh datang ke kantor Sony Music untuk menerima royalti. Alhamdulillah, penulis langsung menerima uang muka, dan hingga sekarang perhitungan royalti masih berjalan.Jadi selama 30 tahun (1977-2007), rejeki lewat “Bimbo” mengalir terus.     

Sebelum menjadi “fans”, serta ikut memberi setitik andil dalam sejarah perjalanan panjang grup “Bimbo”, penulis sudah memiliki kekaguman terhadap “Bimbo”, khususnya Kang Sam. Yaitu melalui ilustrasi-ilustrasi indah penghias buku “Lembur Kuring” karya Syarif Amin, terbitan PT Ganaco, 1967. Ilustrasi yang memperkuat ketinggian gaya bahasa sastrawan Sunda terkemuka, dan tokoh perintis pers nasional itu. Pada ilustrasi-ilustrasinya, Kang Sam membubuhkan nama “Samsudin Dayat”. Sayang, pada cetakan berikutnya (Sumur Bandung, 1980), buku “Lembur Kuring” tidak lagi dihiasi ilustrasi karya Samsudin Dayat alias “Sam Bimbo”.

Pak Dayat adalah Dayat Hardjakusumah, ayah kandung personel “Bimbo” (Sam, Acil, Jaka, Iin Parlina), dan personel “Yanti Bersaudara” (Yani, Tina, Iin) – grup penyanyi gadis remaja yang juga cukup “ngetop” tahun 1966. Terutama dengan lagunya “Abu Nawas” yang penuh kritik terhadap rezim Orde Lama.

Dalam bukunya “Ucang-Ucang Angge” (2004),  Ajip Rosidi mengisahkan riwayat hidup dan perjuangan Dayat Hardjakusumah sebagai wartawan penuh dedikasi, jujur dan teguh pendirian. Walaupun menjabat Kepala Perwakilan LKBN “Antara” Jawa Barat, sejak tahun 1950-an, hidupnya sederhana. Bahkan mesin tik pribadi pun tidak punya. Baru punya mesin tik pribadi, baru dan bagus, setelah mendapat hadiah ulang tahun dari anak-anaknya yang menjadi penyanyi. Ya, grup “Bimbo” dan grup “Yanti Bersaudara” itu.

Kisah ini penulis angkat, sekedar ikut bergembira atas usia panjang “Bimbo” yang mampu diisi dengan kreativitas disertai amal kebajikan melalui karya-karya dan silaturahminya. Jazakallohu khoiron katsiro.  [  ]          

Back to top button