“(Dia adalah Tuhan) yang mengetahui yang gaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib tersebut. Kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya, Maka Sesungguhnya dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.”
JERNIH-Dalam perjalanan memahami dunia klenik dengan akal sehat, banyak sekali latar belakang yang saling bertalian dengan benang merah serupa ditemui. Para pencari ilmu macam ini, biasanya memiliki masalah besar dan seolah memporak-porandakan hidup bahkan masa depannya.
Akhirnya, klenik memang tak pernah bisa sesuai dengan akal sehat termasuk juga jika diukur dengan teori apapun. Hanya saja, dia sering dipaksakan dengan kalimat percaya ga percaya.
Dalam konsep dasar kebudayaan yakni cipta, rasa dan karsa, sudah diterangkan bahwa dengan cipta, manusia membuat segala macam peralatan guna memudahkan hidupnya. Dengan rasa dia, menikmati bahkan menciptakan keindahan berupa karya seni. Dengan karsa, dia menyandarkan segala macam persoalan yang tak sanggup lagi dijangkau akal sehatnya kepada Tuhan Yang Maha Esar, Sang Kausa Prima, Allah Subhana Huwwata’ala. Apalagi, ketika dirundung duka berkepanjangan.
Namun sayangnya, dengan minimnya minat baca di tanah air, konsep dasar kebudayaan itu akhirnya jadi acak-acakan, sebab rasa ingin tahu dilaksanakan tanpa pijakan jelas, tanpa intelegensi terukur dan terarah yang sudah dipatok dalam teori-teori dari para ahli ilmu pengetahuan juga agama. Akhirnya, ini menjadi celah bagi para pelaku klenik guna mendulang untung.
Catatan yang sudah digaris bawahi, para pencari ilmu klenik menginginkan semua mewujud di hadapannya. Akibatnya, pikiran terbatas dan sulit sekali memandang segala sesuatu dengan kacamata global yakni, melihat dari segala sisi guna menemukan titik seimbang baru kemudian menentukan sikap berupa keputusan-keputusan yang diambilnya.
Di saat mencari guru spiritual itulah, simpulnya berada. Antara spiritual dan supranatural diaduk-aduk hingga menjadi klenik. Padahal, secara terminologis, spiritualitas berasal dari kata ‘spirit’ yang memiliki dua makna substansial yakni, karakter dan inti dari jiwa-jiwa manusia yang masing-masing saling berkaitan, serta pengalaman dari keterkaitan jiwa-jiwa itu merupakan dasar utama dari keyakinan spiritual. Dalam bahasa lain, spirit merupakan bagian terdalam dari jiwa dan menjadi alat komunikasi manusia yang paling memungkinkan untuk berhubungan dengan Tuhannya.
Sementara kejadian atau peristiwa alam semesta beserta isinya yang melampaui daya nalar manusia, ada di wilayah supranatural. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutnya sebagai ‘ajaib’ yang tak dapat diterangkan dengan akal sehat.
Kejadian macam ini, memang bisa membuat orang tak bisa berpikir normal-normal saja sebab berhubungan dengan energi di alam semesta, makhluk yang belum dikenal manusia dan kemudian disebut sebagai makhluk gaib, serta kejadian alam lainnya. Kemudian, sekali lagi, di tangan pelaku klenik, soal ini dipelintir habis-habisan.
Carl Gustav Jung, seorang psikolog asal Swiss yang mengembangkan konsep psikologi analitik atau psikoanalisis pernah bilang begini :
“Dari sekian banyak pasien yang saya hadapi, tak satu pun dari mereka yang problem utamanya bukan karena pandangan religius. Dengan kata lain, mereka sakit karena tidak ada rasa beragama dalam diri mereka. Apalagi, semuanya sembuh setelah bertekuk lutut di hadapan agama.”
Jadi jelas, spiritual memang ada dalam diri tiap manusia. Persoalannya adalah, bagaimana cara meningkatkannya hingga titik maksimal, sampai tiba di titik kesadaran diri paling tinggi. Jika beruntung, tiap masalah bisa dicarikan jalan keluarnya. Jika tidak, rasa ikhlas sangat mudah dicapai dan menganggap semua persoalan merupakan ujian yang harus dipasrahkan.
Kalau dipaksakan, akhirnya terjebak di wilayah klenik sebab menganggap jin bisa membantu membereskan semua masalah, hajat dan lain sebagainya.
Beberapa hari lalu, kelompok Tunggal Jati Nusantara, memaksa lakukan ritual pemujaan terhadap tokoh mitos ratu pantai selatan Nyi Roro Kidul untuk mengharap berkah. Padahal, penjaga kawasan Pantai Payangan, Jember, Jawa Timur, sudah memperingati agar jangan mandi di pantai sebab ombak sedang ganas-ganasnya. Entah naas atau bukan, kelompok ini tetap memaksa melakukan ritual mandi. Akibatnya, 11 orang anggotanya tewas diseret arus laut.
Padahal jika dibandingkan dengan ibadah Haji yang jelas-jelas ada dalil kuatnya, ritual tahunan umat Islam ini terpaksa harus dibatalkan selama dua tahun berturut-turut sejak 2020 sampai 2021 karena pandemi Corona. Tak ada yang mau memaksa ambil resiko.
Persoalan memaksa inilah yang akhirnya jadi lingkaran setan sebab semua jalan keluar harus berwujud. Entah sudah berapa banyak pihak jadi korban terkait hal ini.
Permisalan
Satu ketika, seorang teman datang ke rumah. Dia, yakin betul kalau dirinya punya kesaktian pemberian Nyi Roro Kidul bahkan dia bilang, sudah kawin dengannya.
“Ah yang bener,” kata saya.
“Gue belajar ilmu ini sampe gue liat kembaran gue yang mewujud di depan gue. Segala penampakan jin gue liat sampe akhirnya gue pake kemampuan jin buat laksanain hajat gue. Gue dibantuin dia,” kata dia dengan bahasa khas Jakarta penuh keyakinan.
Saya pun, kemudian memainkan kalimat yang pada intinya adalah akan melakukan gendam atau hipnotis ala penjahat terhadap dirinya.
“Oh, jadi kita ngadu ilmu nih?” kata dia merasa ditantang.
“Boleh kalo akhirnye dianggap begitu,” sahut saya.
Dalam kalimat yang saya narasikan, teman yang sebut saja bernama Tamborin, meminta pertolongan sama staf Tuhan yang dalam penyebutannya penguasa laut selatan Pulau Jawa. Sementara saya, meminta pertolongan langsung kepada Tuhan. Dia mulai bingung dan keyakinannya soal kemampuan jin suruhannya mulai meluntur setelah saya bilang begitu.
“Caranya gimana, kok bisa seyakin itu melakukan gendam kepada saya dan saya pasti kalah menangkal dengan ilmu yang saya punya?” tanya dia.
“Ya terserah saya. Pokoknya yang penting berhasil kau kena gendam dan nurutin semua kemauan saya,” kata saya menjawab.
“Gimane sih caranye? Kasih tau dong, kok gue mulai ga percaya sama ilmu gue ya. Emang lo pernah belajar ilmu beginian juga? Di mana?” kali ini dia benar-benar penasaran.
“Oke gue jelasin. Lo simak baik-baik nih caranya,” begitu kata saya kemudian.
“Masih punya ibu ga?” tanya saya.
“Kenapa nanya ibu gue?” jawab dia.
“Emak gue masih ada, cuma udah mulai sakit-sakitan. Udah engga sesegar dulu. Maklumlah udah tua,” kata Tamborin melanjutkan.
“Pas,” sahutku.
“Maksudnya?” tanggapnya.
“Begini. Ini misal, jangan dianggap semua serius. Ini misal dan ambil saja yang bisa dipetik dari permisalan ini,” kata saya memulai.
“Boleh kalo begitu,” tanggap dia.
“Satu hari, saya lihat ibumu jatuh dari motor dan tak sadarkan diri. Segera saya bawa ke rumah sakit agar cepat mendapat tindakan dan perawatan medis. Ingat, ini misalnya ya. Setelah itu, kamu saya telpon. Tam, ibumu jatuh dari motor. Panik ga dapat kabar macam itu?” kata saya bernarasi.
“Tentu panik,” kata dia.
“Kepanikan itulah pukulan pertama dalam rangka melakukan gendam. Ibumu jatuh dari motor dan sekarang tak sadar di ruang UGD,” ujar saya melanjutkan.
“Makin panik gue kalo dibilang begitu,” kata dia menimpali.
“Akhirnya, kau Tamborin, datang ke rumah sakit untuk melihat kondisi ibumu secara langsung. Tentu, perasaan dagdigdug. Dan setibanya di sana, saya sudah tak ada di tempat sebab keburu pergi,” kata saya kemudian.
“Ternyata eh ternyata, ibumu kena serangan jantung dan tak sadarkan diri. Pingsan dia. Padahal, ada fakta yang disembunyikan yakni, ibumu kena serangan jantung dan jatuh ketika duduk-duduk di atas motor yang terparkir di depan rumah. Sementara saya cuma bilang, ibumu jatuh dari motor dan pingsan.
Fakta yang disembunyikan ini, kecil kemungkinannya dipertanyakan. Apalagi, setelah tahu kalau semua urusan administrasi termasuk biaya sudah saya urus. Yang cuma ada di pikiranmu saat itu, ibumu selamat atau tidak. Sudah itu saja,” kata saya mulai panjang lebar.
“Kemudian, sangat besar kemungkinannya kalau kau akan sangat berterima kasih kepada saya yang menurut persepsimu, sudah menolong ibumu. Inilah pukulan-pukulan yang sudah saya masukkan ke dalam pikiranmu. Dan tentu akan ada rasa hutang budi yang sangat besar,” ujar saya kemudian
“Pastinya. Tapi kan sekarang berobat pake BPJS, jadi gratis,” katanya.
“Ya anggaplah, membawa orang ke rumah sakit itu masih kaya dulu yang kudu bayar ongkos pendaftaran di muka,” kataku.
“Selanjutnye, tiga hari kemudian ibumu sudah pulih. Dia sudah boleh pulang ke rumah. Tapi sejak setelah membawa ibumu ke rumah sakit, saya menghilang,” kataku melanjutkan.
Sampai sini, jika ada sisi baik yang kuat dalam diri Tamborin, rasanya dia akan mencari saya untuk mengucapkan rasa terima kasih. Namun, menelpon tak pernah aktif. Kirim pesan lewat WA, cuma ceklis satu. Di hari keempat, saya baru muncul di tempat biasa kita nongkrong.
Tentu saja, dalam pikiran dan batin Tamborin, ada ungkapan seperti ini :
‘Saya adalah orang yang sangat dia rindukan untuk mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya’. Dan tentu juga, dia akan mengembalikan uang yang sudah dikeluarkan untuk membayar ongkos rumah sakit itu.
“Kau memaksa, tapi saya tetap menolak sambil memesan ojek online yang begitu datang, saya langsung pergi. Jadi, kamu tak punya kesempatan sedikit pun untuk mengembalikan uang itu,” kata saya masih mengumpamakan modus gendam.
“Uang itu buat kamu saja. Duit saya sudah kebanyakan,” kata saya sambil memperlihatkan gepokan uang di dalam tas. Padahal, dia tak tahu milik siapa dan untuk apa uang itu.
“Hmm,” sahutnya singkat saja.
Sudah pasti, Tamborin akan berupaya mengembalikan uang itu dengan terus mengirim pesan lewat aplikasi WA.
“Nah, lewat WA itulah saya mulai betul-betul melakukan serangan gendam. Saya bahas soal nolongin orang, rejeki dari Tuhan dan segala macamnya. Pokoknya, di matamu, saya ini orang yang sangat baik dan murah hati. Saat itulah, kucucuk hidungmu supaya nurut apapun perkataanku,” kata saya.
Di hari berikutnya, kata saya kepada Tamborin, mulai muncul lagi ke tempat biasa kita nongkrong sambil memasang tampang masam sebagai sinyal yang saya kirim kepadanya agar dia bisa merasakan kalau saya tengah butuh pertolongan.
“Kalau dilihat dari penampilan, tebakanku, kau punya tabungan sekitar 25 hingga 30 jutaan di bank. Sedangkan ongkos rumah sakit yang saya tolak dikembalikan, cuma habis dua juta rupiah. Kemungkinan, setelah kamu merasakan kalau saya butuh pertolongan, pasti ada pertanyaan lanjutan dan menawarkan pertolongan semampumu,” kata saya mulai mengerucut perumpamaan modus gendam.
“Ya kalo gue mampu, pasti gue tolonglah,” kata Tamborin.
“Oke, gue butuh pertolongan dipinjami duit 25 juta. Dalam jangka dua bulan gue kembaliin,” kataku.
“Kok lo tau gue punya tabungan segitu?” kata dia heran, sebab perumpamaan ini nampaknya pas dengan jumlah uang yang dia punya.
“Nah, kan misalnya,” timpal saya.
“Oh oke oke, lanjut,” katanya meminta.
“Lalu, kau bilang mau menolong meminjami uang sebanyak itu. Cuma dalam waktu tiga bulan ke depan harus dikembalikan sebab mau dipakai untuk membiayai pernikahanmu,” ujar saya.
Saya pun kemudian berjanji sesuai harapannya. Sebab Tamborin merasa punya hutang budi yang begitu besar, loloslah uang itu dari rekeningnya menyebrang ke rekening bank milik saya.
Padahal, segala macam persepsi yang ada di pikirannya itu termasuk rasa hutang budi sudah direncanakan secara spontan ketika saya melihat secara kebetulan ibunya jatuh dari sepeda motor yang terparkir di depan rumah. Setelah uang didapat, saya menghilang entah kemana.
Sebulan, dua bulan bahkan hingga berbulan-bulan, tak pernah lagi saya kelihatan. Akibatnya, Tamborin kebingungan membiayai perkawinannya dan bisa jadi gagal total sebab uangnya saya bawa kabur.
“Berhasil kan gue gendam lo, dengan modus kaya gitu?’ tanya saya.
“Pertanyaannya, antara persepsi yang sebelumnya sudah terbentuk jika dipertentangkan dengan rasa kecewa, sewot dan dongkol setelah sadar duitmu saya bawa kabur, kira-kira lebih besar mana? Rasa hutang budi atau sewot?” tanya saya.
“Ya Sewotlah, nikah gue gagal,” kata dia.
Rasa hutang budi, kadung kalah dengan rasa kesal sebab gagal nikah. Orang dengan kondisi macam inilah yang sering tak memakai akal sehatnya jika enggan berlutut di hadapan Tuhan. Tak jarang, akhirnya melarikan diri ke dukun dalam rangka cari jalan pintas sebab dendam terlanjut besar, dan ingin sekali saya yang menarasikan permisalan itu menderita sebagai balasannya.
Sebab, hal pertama yang menjadi pintu masuk gendam ala penjahat bisa dilakoni adalah paniknya Tamborin begitu mendengar ibunya pingsan setelah jatuh dari motor. Akibatnya, dia tak mampu menerjemahkan modus hipnotis itu secara utuh. Padahal, si penjahat sengajat menutup aliran akal sehatnya.
Sebenarnya, ini cuma persoalan bagaimana caranya mengolah komunikasi di tengah kejadian yang kebetulan saja terjadi. Dicarikan celah guna mendapat keutungan sebesar-besarnya. Sekecil apapun celah itu. Setelah masuk, kesempatan betul-betul dimanfaatkan.
Pahitnya Masa Lalu
Tiba-tiba saja, dari matanya mengalir air mata yang membasahi kedua bagian wajahnya. Tamborin yang bertampang seram dan mengaku punya kesaktian di luar batas kebiasaan manusia, ternyata menyimpan luka di dalam hatinya.
Kisah perumpamaan yang saya sodorkan tadi, rupanya pernah terjadi pada dirinya. Harta bendanya, dikuras habis-habisan oleh seseorang yang belakangan mengaku sebagai dukun sakti kemudian mengangkatnya sebagai murid.
Ternyata, pada masa lalu, Tamborin pernah menjalin asmara dengan seorang gadis. Tapi naas, perempuan yang cuma berstatus sebagai pacar dan sudah dimanja habis-habisan, main serong di belakangnya.
Kebetulan pula, wanita itu cinta pertamanya dan sungguh tergores hingga meninggalkan luka mendalam batinnya ketika dia ketahuan selingkuh. Tamborin pun menyandarkan keinginan kembali dan bertekuk lutut si perempuan itu, pada dukun sakti gurunya. Tapi sekali lagi naas, dia cuma habis harta benda dan nyaris dipecat dari tempatnya bekerja lantaran pekeraan berantakan sebab pikiran kacau balau.
Si dukun bilang, mampu mengembalikan perempuan itu ke pelukannya bahkan bertekuk lutut memenuhi semua keinginannya. Bahkan dia meramalkan, kelak antara Tamborin dan wanita tersebut, bakal hidup bahagia, damai dan sentosa di masa depan.
Menurut Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bariadalah, pengakuan seseorang yang dapat mengetahui ilmu gaib, seperti mengetahui tentang apa yang akan terjadi di bumi. Asal-muasal kahānah (peramalan) adalah pendengaran jin terhadap malaikat kemudian disampaikan kepada dukun atau paranormal.
Dukun memang sering mengaku tahu tentang yang gaib. Padahal Tuhan, Allah SWT, sudah menegaskan bahwa yang mengetahui persoalan gaib hanyalah Dia. Allah hanya memberitahukan ilmu gaib itu, kepada para Rasul yang Dia ridhoi saja, seperti yang difirmankan dalam surah Al-Jinn ayat ke 26 dan 27 yang berbunyi :
“(Dia adalah Tuhan) yang mengetahui yang gaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib tersebut. Kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya, Maka Sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.”
Bersambung.[]