Duka Cita Saya Untuk Petiga
Kami pun melakukan demonstrasi di luar pagar Asrama Haji. Sebelum aksi, kami disuruh minum masing-masing sebotol aqua dari tangan Eggie Sudjana. “Biar kebal,”kata Eggie. Entah karena sugesti atau Eggie memang sakti, saat dipukuli tentara (bukan polisi ya) kami tetap melawan.
Oleh : Marlin Dinamikanto*
JERNIH– Sedih juga. Petiga, sebutan oral untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sebagai satu di antara tiga konstentan Pemilu yang sudah berpartisipasi sejak Pemilu Orde Baru, dan tereliminasi dari kursi DPR-RI. Diberitakan, PPP meraih kurang dari empat persen suara yang menjadi ambang batas Parlemen.
Banyak kenangan menggenang bersama partai Islam ini. Terutama saat Sri-Bintang Pamungkas pada tahun 1994 berniat mengambil alih kursi ketua umum. Kalau tidak salah ingat, pernyataan itu tercetus dalam diskusi di rumah orang tua Ferry Juliantono, di kawasan Mampang Prapatan IX. Hadir dalam diskusi itu, antara lain, Tri Agus Susanto Siswowihardja (TASS), Febby Lintang, Gembul, Jay, Diva dan lainnya, saya lupa.
Setelah itu, saya, Gembul, Tendri, Asep Rahmat KJ (HMI) sering rapat di rumah Ibu Rosna di daerah Tanjung Priok. Maka, saat muktamar Petiga, kami pun ikut terlibat, mendukung Timses Sri-Bintang, yang dipimpin Ketua Petiga Solo, Mudrich Sangidu. Markasnya di Jalan Asem, samping Terminal Bus Pinangranti. Namun, sepertinya pencalonan Sri-Bintang yang didukung oleh Petiga Solo dan Petiga Bolaangmongondow, tidak direspons baik oleh panitia muktamar.
Singkat cerita, kami pun melakukan demonstrasi di luar pagar Asrama Haji. Sebelum aksi, kami disuruh minum masing-masing sebotol aqua dari tangan Eggie Sudjana. “Biar kebal,”kata Eggie. Entah karena sugesti atau Eggie memang sakti, saat dipukuli tentara (bukan polisi ya) kami tetap melawan.
Itulah kenangan kami bersama tokoh (sempalan) Petiga, melawan tirani Orde Baru. Selanjutnya tahun 1997, kami kaum urakan lagi-lagi bersama sejumlah oknum tokoh Petiga, melakukan kampanye perlawanan bertajuk Mega Bintang untuk menggembosi suara PDI Suryadi. Yang terpenting sekali, terus mencari gara-gara bagaimana perlawanan terhadap Soeharto tak bisa dibungkam. Paling tidak, kami bisa lampiaskan amarah kepada Soeharto dengan mengganggu kampanye Golkar di sekitar Dewi Sartika, Cawang, dan Mampang Prapatan.
Bersama Petiga, paling tidak oknum-oknum pimpinannya seperti Haji Moedrich Sangidoe, kami pernah bikin keributan melawan Pemilu curang. Sejak itu ngaso sejenak. Serem. Musim penculikan. Tapi setelah pemerintahan hasil Pemilu curang terbentuk pada 11 Maret 1998, maka eskalasi perlawanan terus meluas. Sejarah mencatat, Soeharto tumbang pada 21 Mei 1998 atau 71 hari setelah pemerintahan hasil Pemilu curang disahkan oleh Sidang Umum MPR.
Tapi terus terang, saya juga turut bersuka cita atas gagalnya Partai Solidaritsa Indonesia (PSI) ke Senayan. Bukan karena nggak berusaha curang. Tapi konangan. Memang, tidak boleh seorang pun nggege mangsa, menggunakan kekuasaan keluarga ketua umumnya yang dipilih secara mendadak, untuk meraih kursi empuk ke Senayan. Kasihan partai politik lainnya yang “berdarah-darah”, bahkan sekadar untuk pertarungan menyabung nasib ke Senayan.
Padahal, banyak sahabat saya menjadi bagian dari partai politik anak muda yang mencitrakan diri sebagai partai yang plural dan memiliki daya pukau di kalangan kaum terdidik perkotaan itu. Namun citra itu mendadak pudar akibat pilihan politik yang memaksanya menjadi bagian dari politik keluarga yang secara etik dan moral bertentangan dengan fatsun, demarkasi atau apa pun Namanya, terkait keadaban yang dipegang teguh oleh para pembela demokrasi di Republik ini.
Lupakan PSI. Mari beralih ke PPP yang secara empati saya turut berduka cita atas kenyataan pahit ini, dan saya berharap, mereka berjuang lewat kanal-kanal konstitusi yang ada dan berhasil memperjuangkan nasibnya. Terus ke mana larinya kursi PPP seandainya mereka gagal melakukan perjuangan penghabisan di Mahkamah Konstitusi?
Kursi PPP kemungkinan tercatat sekitar 9-10 kursi yang tersebar di sejumlah dapil. Dalam penghitungan saya berdasarkan rekapitulasi suara KPU dI Dapil Jateng II kursi PPP jatuh ke PDIP. Di Dapil Jateng III kursi PPP jatuh ke PKB. Di Sulawesi Selatan 2 kursi PPP di 2 Dapil jatuh ke Nasdem dan Partai Golkar. Terus ke mana lagi suara PPP di Sumbar dan lainnya?
Maaf, saya mengantuk dan tidak sempat melakukan riset kecil yang sebenarnya tidak terlalu sulit. [ ]
Kaki Merapi, 21 Maret 2/24
*Akvitis dan budayawan