Efektivitas “Mimikri” PAN Sebagai “Partai Artis Nasional”
Dengan kata lain, dari sisi jumlah kursi DPR RI, naik turun dari 34, 53, 43, 48, dan 44 kursi dari Pemilu terakhir, tidak menunjukkan adanya perkembangan yang signifikan. Fakta itu terasa berat dihadapkan dengan ambisi PAN untuk meraup 10 juta suara pemilih dan merebut 64 kursi DPR RI ada Pemilu 2024 mendatang. Ada kesan kuat, bahwa kehadiran para seleb itu barangkali hanya menjaga posisi PAN tidak jatuh klasemen, dibandingkan menaikkan partai itu pada papan atas kompetisi politik Tanah Air.
Oleh : Darmawan Sepriyossa
JERNIH–Mendekati momen kontestasi politik akbar 2024, posisi PAN sebagai “Partai Artis Nasional” tampaknya kian kukuh. Bukan hanya itu, partai berlambang pancaran sinar matahari itu pun kini mungkin bisa saja disebut—meski tak elok secara bahasa—“Partai Army Nasional”. Selasa (6/12) lalu, PAN baru saja kedatangan warga baru, beberapa orang artis dan belasan purnawirawan TNI untuk bergabung aktif di partai itu.
Kedatangan darah baru bagi partai tersebut disambut Ketua Umum Zulkifli Hasan atau Zulhas, dengan semringah. “Hari ini kita rutin rapat mingguan partai, tapi malam ini istimewa karena ada banyak sekali yang bergabung dengan PAN, purnawirawan jenderal, tentara, aktivis, artis. Yang (akan) bergabung banyak, membludak,” kata Zulhas, di Kantor DPP PAN, Jakarta. Ia sendiri menilai, bergabungnya kader-kader baru dari berbagai latar belakang itu menjadi bukti betapa partainya komit mengusung nilai keberagaman. PAN, kata Zulhas, selalu terbuka kepada siapa saja yang memiliki visi yang sama untuk memajukan Indonesia.
“PAN itu logonya matahari. Matahari tidak membedakan makhluk Tuhan (untuk disinari). Siapa saja. Filosofinya, siapa saja (bisa) bergabung dalam ruang yang sama, kesempatan sama dan tujuan sama memajukan Indonesia dengan cara yang waras, rasional dan kokoh persatuannya,” kata dia.
Siapa saja sih para politisi ‘rookie’ PAN tersebut? Yang datang dari kalangan artis dan pesohor tercatat ada Surya Utama, Putri Zizi Novianti dan Ery Setia Negara. Kalau nama itu kurang Anda kenal, baiklah, dua nama pertama lebih kita kenal di layar tv dengan sebutan Uya Kuya dan Puput Novel.
Sementara dari kalangan pensiunan tentara ada Mayjen TNI (Purn) Tatang Zaenudin, Brigjen TNI (Purn) Abdul Rahman Made, Kolonel Arh (Purn) Syarif Hidayatullah, Kolonel Cba (Purn) Heri Hermantino, Brigjen TNI (Purn) Yusep Sudrajat, Brigjen TNI (Purn) Catur Sulasdiarso, Kolonel Ckm (Purn) Joni Suhenda, Letkol TNI (Purn) Oman Rukmana, Peltu (Purn) Duladi, Brigjen TNI (Purn) Rosidin, Brigjen TNI (Purn) Yusuf, Kolonel Cba (Purn) Ery Setya, Brigjen TNI (Purn) Agustinus, Brigjen TNI (Purn) Rahmat Triyono, dan Kolonel Czi (Purn) Edy Saptono.
“Penantian cukup lama yang akhirnya terwujud,”kata Uya Kuya, dengan mata berbinar. Ia mengaku, sejak lulus kuliah pada 1999 sebenarnya sudah ingin bergabung dengan PAN. Uya sendiri lulus sebagai seorang sarjana ilmu politik. Sementara jawaban dari kalangan militer seperti biasanya terkesan normatif. “Saya melihat visi PAN jelas. Utamanya visi kebangsaannya,” kata Brigjen TNI (Pur) Yusep Sudrajat.
PAN memang dikenal publik sebagai parpol yang paling terbuka untuk masuknya kalangan artis dan selebritas. Sejak awal 2000 lalu, partai yang lahir dan dianggap paling mewakili era pasca-reformasi karena didirikan lokomotif Reformasi, Amien Rais, itu sudah menerima banyak artis. Di awal-awal era pasca-reformasi beberapa seleb seperti Dede Yusuf, Primus Yustisio, Marisa Haque, Anang Hermansyah, Desy Ratnasari, Eko ‘Patrio’, Jeremy Thomas, dan Hengky Kurniawan, sudah dikenal publik sebagai bagian dari pasukan PAN. Belakangan, kedatangan para artis yang memasuki ‘rumah PAN’ tersebut kian kerap dan terkesan ‘biasa’, saking seringnya.
Penerimaan PAN juga tidak mengesankan sikap setengah hati. Saat ini, skuad seleb di PAN itu mulai merambah posisi-posisi strategis di partai. Sebagai contoh mudah, selain Desy yang kini menjabat ketua DPW PAN Jawa Barat dan Eko ‘Patrio’ pada posisi yang sama di DKI, PAN tidak tanggung-tanggung mempercayakan posisi ketua umum sayap pemuda partai, BM PAN, kepada Pasha ‘Ungu’. Sementara posisi juru bicara partai yang strategis juga diberikan kepada komedian Denny Wahyudi alias Denny Cagur.
Oh ya, jangan pula menyangka bahwa masuknya hampir 20 kader baru dari kalangan seleb dan purnawirawan Selasa lalu itu sebuah rekor di internal PAN. Bukan. Berduyun-duyunnya para artis memasuki PAN dalam jumlah yang lebih besar terjadi pada 29 Mei 2008, di era kepemimpinan Soetrisno Bachir. Berlangsung di Hotel JW Mariott Surabaya, saat itu Soetrisno mengukuhkan 30 seleb, antara lain, violis Mayla Fayza, bintang iklan Adrian Maulana, aktor Deri Drajad, Silvana Herman, komedian Jimmy Gideon, model Astrid Darmawan, Ismail AFI, model Intan Sevila, Eka Sapta, Popy Mareta, Feri Bulu, Erna Sari, pencipta lagu Tito Sumarsono, Surya “Kondang In”, Tesa Mariska, Ikang Fawzi, Dona Harun, dan lain-lain.
Namun munculnya kias atau lebih tepat candaan sebagai Partai Artis Nasional, tampaknya baru muncul lima tahun kemudian, 2013. Datang dari lisan Bima Arya, salah seorang ketua DPP PAN di saat bersama Ketua Umum Hatta Rajasa dan actor Jeremy Thomas mengunjungi kampung nelayan di Desa Gebang Mekar, Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon, 9 Juni 2013. Waktu itu, dibanding mengerubungi para elit partai, para ibu-ibu dan warga nelayan lebih banyak meminta berfoto dengan Jeremy. “Di sini (PAN) memang banyak artis,”kata Bima Arya. Ia lalu berseloroh, “Salah satu kepanjangan dari PAN adalah Partai Artis Nasional.”
Tak ada yang salah dengan fenomana tersebut, tentu. Kalau pun dianggap ada persoalan, paling pertanyaan seputar seberapa efektif kebijakan pintu terbuka PAN untuk para seleb itu bagi kebaikan partai. Sebagai parpol, tampaknya ukuran paling standard adalah perolehan suara pada Pemilu.
Ikut lima kali Pemilu sejak era-Reformasi, posisi PAN memang tak pernah beranjak dari papan tengah. Pada Pemilu 1999, PAN memperoleh 7.528.956 suara (7,1 persen) atau setara 34 kursi di DPR RI (7,4 persen). Lima tahun berikutnya, Pemilu 2004, PAN meraih 7.303.324 suara (6,4 persen), atau setara 53 kursi DPR RI (9,6 persen). Pada Pemilu 2009, PAN meraih 6.254.580 suara (6,0 persen), setara 43 kursi DPR RI (7,7 persen). Waktu Pemilu 2014, yang menandai krisis kohesivitas nasional, PAN meraih 9.481.621 suara (7,6 persen) atau setara 48 kursi DPR RI (8,8 persen). Sementara pada Pemilu terakhir, 2019, persentase suara PAN anjok meski meraih 9.572.623 suara, jadi 6,84 persen. Perolehan itu setara dengan 44 kursi DPR RI atau sekitar 7,65 persen. Dengan kata lain, dari sisi jumlah kursi DPR RI, naik turun dari 34, 53, 43, 48, dan 44 kursi dari Pemilu terakhir, tidak menunjukkan adanya perkembangan yang signifikan.
Fakta itu terasa berat dihadapkan dengan ambisi PAN untuk meraup 10 juta suara pemilih dan merebut 64 kursi DPR RI ada Pemilu 2024 mendatang.Ada kesan kuat, bahwa kehadiran para seleb itu barangkali hanya menjaga posisi PAN tidak jatuh klasemen, dibandingkan menaikkan partai itu pada papan atas kompetisi politik Tanah Air.
Bila pertanyaan seterusnya adalah mengapa, tampaknya PAN yang sangat berkepentingan dengan hal itu harus menjawabnya dengan serius. Mungkin, dengan melibatkan sekian panjang diskusi dengan beragam para cendikiawan dan ahli.
Sementara di sini, dalam keterbatasan waktu dan kapasitas, saya hanya mengajak pembaca membuka-buka ulang beberapa temuan lama yang relevan. Misalnya, hasil kajian lama dari lembaga tangki pemikiran The Indonesian Institute (2009), menyatakan perekrutan artis-seleb ke partai politik masih efektif sebagai pengumpul suara (vote getter) dalam Pemilu legislatif. Pasalnya, masih terbukti mereka bisa menaikkan citra Parpol dan merangsang warga untuk memilih. “Tapi untuk jabatan eksekutif, seperti bupati, walikota dan gubernur, apalagi presiden, masih sulit bagi masyarakat untuk berspekulasi dengan memilih artis,”kata Direktur Eksekutif TII, Jeffrey Geovanie, saat itu. Perkecualiannya hanya bagi para seleb yang sangat populer dan memiliki konsistensi yang panjang di dunia hiburan.
“Misalnya artis senior kita itu populer dan konsisten di dunia hiburan, seperti halnya Ronald Reagan di AS,” kata dia. Fakta terakhir di Filipina, terlihat betapa ‘pahlawan olahraga’ sepopuler Manny Pacquiao pun kalah jauh saat bertarung dengan Ferdinand Marcos Jr, putra bekas presiden dan koruptor kakap negeri itu.
Mengomentari banyaknya caleg seleb dalam Pemilu 2009 lalu, pengajar politik Universitas Indonesia yang kemudian menjadi Kepala Bappenas, Andrinof Chaniago, termasuk yang skeptis. Baginya—saat itu–, untuk jadi anggota legeslatif diperlukan pemikiran dan keahlian khusus untuk menjalankan tugas, seperti membuat undang-undang, menyusun anggaran, dan melakukan pengawasan. Saat itu Andrinof berpendapat, artis-artis yang nanti terpilih karena dirinya terkenal, hanya akan pasif dan semata jadi aksesoris di gedung DPR.
Hasil kajian HB Habibi Subandi dan Ahmad Hasan Ubaid, keduanya dari Program Studi Ilmu Politik Universitas Brawijaya, Malang, mengurai lebih detil lagi. Artikel mereka, “Selebritis Menjadi Politisi: Studi tentang Bagaimana Selebritis Menang atau Kalah dalam Pemilu Legislatif” yang dimuat Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan, edisi 5 tahun 2020, sedikit banyak memberikan cermin betapa popularitas tidak selamanya berkorelasi positif dengan elektabilitas.
Artikel itu salah satunya mencoba menjawab pertanyaan mengapa seleb-seleb sangat popular seperti Andre Hehanusa, Manohara Odhelia, Denada (yang kebetulan dari PAN) dan Ahmad Dhani, misalnya, gagal melenggang ke Senayan sebagai anggota DPR RI. Manohara bahkan hanya mampu meraih 6.865 suara, dibandingkan puluhan ribu suara yang diraih para seleb lain seperti Arzetti Bilbina (53.185 suara), Krisdayanti (132.131 suara) atau bahkan calon non-seleb seperti Abdul Hakim Bafagih—saingan separtai Denada–yang memperoleh suara 56.848.
Ternyata, pada akhirnya semua berpulang kepada upaya, keseriusan dan konsistensi calon. Para seleb memang punya modal awal, yakni popularitas mereka. Keunggulan itu diperoleh dari banyaknya liputan media massa dan media sosial, di mana para seleb mendapat panggung di industri musik dan perfilman. Pada pelaksanaan Pemilu, popularitas itu membantu kandidat selebritas pada saat memasuki masa kampanye. Dengan modal ketenaran itu, mereka bisa mengawali kampanye dengan baik dan mengungguli calon-calon lainnya yang tidak terlalu dikenal masyarakat.
Namun pada saat akhir, menjelang hari pemilihan, para politisi selebritas itu tetap harus melakukan program intervensi pemilih, yang kadang memerlukan strategi konvensional, semacam door to door.
Mengapa? Karena pada akhirnya kontestasi Pemilu (terutama Pileg) tak lain dari semacam upaya pemasaran dari setiap calon. Sementara menurut Professor Nicholas O’Shaughnessy dari Queen Mary’s School of Business and Management, London, Inggris, yang dikutip kedua penulis dalam artikel tersebut, produk politik di saat Pileg adalah partai politik dan kandidat sendiri. Dalam Pemilu legislatif, itu artinya seorang kandidat atau manajer kampanye akan berupaya membuat sinkronisasi antara ideologi dan platform partai, pencitraan dan kapabilitas individu, serta program-program kampanye di lapangan.
Dengan bergesernya sistem pemilu sejak 2009, di mana sejak itu proses penghitungan suara dilakukan berdasarkan sistem proporsional terbuka dengan metode penghitungan suara terbanyak, menurut Edward Aspinall yang dikutip dalam artikel tersebut oleh kedua penulis, memberikan peluang besar bagi para calon anggota legislatif untuk melakukan kampanye bagi diri mereka sendiri daripada untuk partai. Para kandidat dari partai politik yang sama kemudian berlomba satu sama lain untuk membangun tim kampanye personal, yang memanfaatkan sebanyak mungkin faktor, termasuk para tokoh masyarakat atau patron dalam melakukan persuasi dan mobilisasi pemilih.
Struktur model pemasaran politik pada sistem Pemilu saat ini meniscayakan kandidat untuk turun langsung kepada masyarakat dengan program seperti canvassing, bahkan door to door campaign. Itu yang tidak dilakukan para seleb yang akhirnya gagal, seperti Denada, Manohara dan Ahmad Dhani dalam artikel tersebut.
Namun tentu saja, kita mafhum, bagaimanapun kajian hanyalah ikhtisar sederhana dari kompleksnya realitas yang terjadi di lapangan. [INILAH.COM]