Di Indonesia, jumlah pengusaha mencapai 3,47 persen dari total populasi pada 2023, melampaui standar minimum 2 persen yang ditetapkan Bank Dunia. Namun, tantangan untuk mempertahankan bisnis tetap signifikan. Tercatat sebanyak 60 persen usaha kecil gagal bertahan dalam tiga tahun pertama kiprah mereka.
Oleh : Kemal H. Simanjuntak
JERNIH– Tahun 2025 menjadi momentum penting bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia. Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto meluncurkan program penghapusan utang bagi sejuta pelaku UMKM, yang dimulai Januari ini. Langkah tersebut bisa meringankan beban finansial UMKM sekaligus memberikan ruang tumbuh lebih optimal.
Pemerintah juga menetapkan target ambisius penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR), pada 2025, sebesar Rp300 triliun. Naik dari target 2024 sebesar Rp280 triliun. Kebijakan ini bisa memperluas akses pembiayaan bagi lebih banyak pelaku UMKM, sehingga mereka dapat mengembangkan usaha dan meningkatkan kontribusi terhadap perekonomian nasional.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga memainkan peran strategis dengan menyusun Peraturan OJK (POJK) tentang kemudahan akses keuangan bagi UMKM. Peraturan masih dalam tahap konsultasi dengan DPR. Upaya tersebut menjadi sinyal positif bagi UMKM, terutama dalam menghadapi tantangan keterbatasan pembiayaan dan legalitas usaha.
Namun, perjalanan UMKM Indonesia bukannya tanpa tantangan. Setidaknya ada tiga masalah utama yang harus dihadapi. Pertama, keterbatasan akses pembiayaan dan legalitas usaha; kedua, rendahnya adopsi digitalisasi; dan ketiga, kontribusi ekspor UMKM yang masih minim. Lalu, menurut Global Entrepreneurship Monitor (GEM) 2023, meskipun 15 persen populasi dunia aktif dalam kegiatan wirausaha, hanya sekitar 5 persen yang berhasil mempertahankan bisnisnya dalam jangka panjang.
Di Indonesia sendiri, jumlah pengusaha mencapai 3,47 persen dari total populasi pada 2023, melampaui standar minimum 2 persen yang ditetapkan Bank Dunia. Namun, tantangan untuk mempertahankan bisnis tetap signifikan. Tercatat sebanyak 60 persen usaha kecil gagal bertahan dalam tiga tahun pertama kiprah mereka.
GRC: Mengelola Lingkungan, Peluang, dan Keterampilan
Tantangan semakin relevan jika dikaitkan dengan hasil riset OECD (Organization for Economic Co-operation and Development), yang menunjukkan bahwa kegagalan bisnis sering kali disebabkan oleh lemahnya tata kelola (governance), manajemen risiko yang buruk, dan ketidakpatuhan terhadap regulasi (compliance). Oleh karena itu, penerapan prinsip-prinsip Governance, Risk Management, and Compliance (GRC) menjadi semakin penting dalam pengelolaan UMKM, termasuk di Indonesia.
GRC dapat diintegrasikan ke dalam tiga pilar utama yang mendukung keberhasilan UMKM: dukungan lingkungan, kemampuan menciptakan peluang, serta pengembangan keterampilan dan pengetahuan. Penerapan prinsip GRC ke dalam tiga pilar itu penting untuk kesuksesan wirausaha berkelanjutan.
Di pilar pertama, aspek tata kelola atau governance berfokus pada kemampuan untuk membangun struktur yang mendukung pengambilan keputusan yang tepat. Lingkungan skeptis, seperti keluarga atau komunitas yang mengutamakan stabilitas pekerjaan daripada kewirausahaan, kerap menjadi hambatan. Pelaku UMKM perlu membangun jaringan pendukung melalui komunitas bisnis, program mentoring, atau hubungan dengan sesama pengusaha. Studi Harvard Business Review (2021) menunjukkan bahwa pengusaha dengan jaringan luas memiliki kemungkinan sukses 45% lebih tinggi dibandingkan yang menyendiri.
Di pilar kedua, ada aspek manajemen risiko atau risk management yang menekankan pentingnya mengevaluasi peluang dengan pendekatan strategis. Peluang sering muncul dari inovasi, tetapi hanya pengusaha yang mampu menganalisis risiko yang dapat memanfaatkannya secara maksimal. World Economic Forum (2022) mencatat bahwa 70% inovasi bisnis yang berhasil melibatkan analisis risiko mendalam sebelum implementasi.
Di pilar ketiga, ada aspek kepatuhan atau compliance yang menjelaskan cara menjalankan bisnis sesuai hukum, etika, dan standar industri. Dalam era digital, pengusaha dituntut memahami banyak regulasi. Makanya, aspek kepatuhan menuntut peningkatan skill dan kemampuan. Dalam transformasi model bisnis di platform seperti YouTube dan TikTok, misalnya, hanya konten berkualitas tinggi yang dapat bersaing dan lepas dari masalah hukum. Survei McKinsey (2023) menemukan bahwa 85% perusahaan yang berinvestasi dalam pengembangan keterampilan karyawannya mampu bertahan dari gelombang perubahan.
Lebih dari Sekadar Profit
Integrasi GRC dalam pengelolaan UMKM bukan hanya tentang memenuhi kewajiban regulasi, pun menciptakan nilai berkelanjutan. Pelaku UMKM yang mengadopsi pendekatan ini akan lebih adaptif terhadap perubahan, baik dalam konteks lokal maupun global. Muhammad Yunus, penerima Nobel Perdamaian 2006, menekankan bahwa wirausaha harus melihat bisnis sebagai alat untuk menciptakan dampak sosial yang positif, bukan sekadar mencari keuntungan finansial. Michael Porter (2019), dalam Harvard Business Review, menyatakan bahwa bisnis yang berfokus pada penciptaan nilai bersama akan memiliki daya saing lebih tinggi.
Dengan penerapan GRC, UMKM Indonesia memiliki peluang besar untuk mengoptimalkan kinerja mereka. Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan keberlanjutan bisnis, tetapi juga memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian nasional. Berwirausaha bukan hanya soal keuntungan, tetapi tentang menciptakan dampak positif dan nilai berkelanjutan bagi masyarakat dan lingkungan.
Untuk menerapkan GRC bagi UMKM di Indonesia, langkah pertama yang harus diambil adalah inisiasi dari pemerintah. Mulai dengan sosialisasi, pelatihan, dan pendidikan bagi seluruh pelaku UMKM tentang prinsip-prinsip GRC. Libatkan unsur pentahelix (pemerintah, dunia usaha, masyarakat sipil, perguruan tinggi, media) untuk meyakinkan kalangan UMKM bahwa penerapan GRC tidak hanya memastikan kesuksesan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, tetapi juga menjaga kepercayaan mitra dan pelanggan.
Selanjutnya, penting untuk membuat UMKM menerima penerapan GRC dengan menunjukkan manfaatnya secara konkret. Ini bisa dilakukan dengan memberikan contoh-contoh kasus di mana penerapan GRC telah membantu perusahaan lain dalam mengatasi risiko dan meningkatkan efisiensi operasional. Dengan demikian, UMKM dapat melihat dampak positif langsung dari penerapan GRC. Dewi Hanggraeni (2023) menyatakan, penerapan GRC tidak hanya memastikan kesuksesan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, tetapi juga menjaga kepercayaan investor.
Setelah UMKM menerima konsep GRC, dorong mereka melakukan penerapan praktis dalam operasional sehari-hari. Ini melibatkan pembuatan kebijakan, prosedur, dan sistem yang mendukung tata kelola, manajemen risiko, dan kepatuhan. Pengawasan dan evaluasi berkala diperlukan untuk memastikan bahwa GRC diterapkan secara efektif dan sesuai dengan tujuan bisnis. Dengan strategi yang tepat, UMKM Indonesia dapat menjadi pilar utama mewujudkan pertumbuhan ekonomi inklusif dan berkelanjutan pada 2025 dan seterusnya. [ ]
*Dr Kemal H. Simanjuntak, MBA, GRC Specialist, Asesor LSP Tata Kelola, Risiko, Kepatuhan (TRK)