SolilokuiVeritas

Guru Sejarah Seharusnya Jadi Motivator

Bayangkan jika di kelas, guru menyampaikan kisah ini bukan dengan gaya datar, melainkan dengan nada yang menggugah: “Anak-anakku, lihatlah pilihan Pangeran Diponegoro. Beliau berani melawan arus bangsawan keraton yang sibuk menjaga kehormatan diri, sementara rakyat terabaikan. Beliau memilih menderita bersama rakyat, demi tegaknya kebenaran. Jika hari ini kalian menghadapi godaan untuk menyerah, untuk ikut-ikutan hal yang salah, ingatlah: keberanian memilih jalan benar adalah warisan Pangeran Diponegoro untuk kalian.”

Oleh     :  Ferdy Moidady*

JERNIH– Mengajar sejarah bukan sekadar menyampaikan kronologi peristiwa. Di balik setiap cerita perjuangan, ada jiwa, ada karakter, ada api semangat yang harus ditransfer dari masa lalu ke hati peserta didik. Seorang guru sejarah sebaiknya tidak hanya hadir sebagai pengajar materi, tetapi juga sebagai penjaga nilai, pembawa teladan, bahkan jembatan antara para pahlawan masa lalu dengan calon-calon pahlawan di masa depan.

Salah satu tujuan mendasar pembelajaran sejarah adalah transfer karakter. Apa arti transfer karakter? Itu berarti setiap kisah pahlawan bukan hanya menjadi catatan, melainkan harus mengalir menjadi inspirasi yang menanamkan nilai-nilai keberanian, kejujuran, keteguhan, dan cinta tanah air dalam diri siswa.

Seorang guru sejarah, seharusnya juga seorang public speaker yang kuat. Yang mampu mengobarkan semangat. Dengan suaranya yang lantang, ia dapat mengguncang hati siswa, menyalakan keberanian, dan membangkitkan kesadaran bahwa sejarah bukan cerita mati, melainkan api hidup yang harus dijaga. Seperti kata Dale Carnegie: “Ada tiga pidato yang setiap orang buat: yang ia siapkan, yang ia ucapkan, dan yang ia harap telah ia ucapkan.” Guru sejarah yang baik harus berlatih agar kata-katanya tepat, suaranya menggetarkan, dan pesannya membekas di hati siswa.

Psikolog sosial Albert Bandura pernah menegaskan: “Sebagian besar pembelajaran manusia diperoleh melalui pengamatan terhadap perilaku orang lain, dan konsekuensi dari perilaku tersebut.” Artinya, siswa tidak hanya belajar dari teks sejarah, tetapi terutama dari cara guru menghadirkan nilai-nilai sejarah dengan keteladanan dan motivasi yang hidup.

Mari kita ambil contoh Pangeran Diponegoro. Dalam ‘Babad Diponegoro’, beliau menggambarkan kekecewaan dan perlawanan batinnya terhadap bangsawan keraton yang terlena dengan kenyamanan kekuasaan, sementara rakyat hidup dalam penderitaan.

Bayangkan jika di kelas, guru menyampaikan kisah ini bukan dengan gaya datar, melainkan dengan nada yang menggugah: “Anak-anakku, lihatlah pilihan Pangeran Diponegoro. Beliau berani melawan arus bangsawan keraton yang sibuk menjaga kehormatan diri, sementara rakyat terabaikan. Beliau memilih menderita bersama rakyat, demi tegaknya kebenaran. Jika hari ini kalian menghadapi godaan untuk menyerah, untuk ikut-ikutan hal yang salah, ingatlah: keberanian memilih jalan benar adalah warisan Pangeran Diponegoro untuk kalian.”

Di sinilah refleksi pentingnya: seorang guru, ketika berdiri di kelas, harus menempatkan dirinya seperti sedang berhadapan dengan calon-calon pahlawan yang akan datang. Anak-anak yang kita ajar hari ini bisa jadi pemimpin besar, ilmuwan, pejuang keadilan, atau pembela kebenaran. Mereka bukan sekadar “siswa,” tetapi “benih sejarah” yang sedang kita rawat.

Maka, pembelajaran sejarah jangan berhenti pada menghafal tahun peristiwa. Guru bisa mengajak siswa menuliskan esai reflektif: “Jika kalian berada di posisi Diponegoro, apa yang akan kalian lakukan?” atau mendiskusikan dilema moral: “Berani melawan arus meski sendirian, apakah kalian siap?” Dengan begitu, nilai-nilai perjuangan akan hidup, bukan hanya di kepala, tetapi juga di hati.

Seperti yang diingatkan psikolog sosial Philip Zimbardo: “Pendidikan sejati adalah tentang membentuk orang untuk berani bertindak benar, bahkan ketika keadaan menekan untuk berbuat salah.”

Di Indonesia, almarhum Fuad Hassan menekankan: “Pendidikan adalah proses humanisasi, memanusiakan manusia.” Sedangkan Jalaluddin Rakhmat mengingatkan: “Tugas pendidikan bukan hanya mencerdaskan pikiran, tetapi juga menghangatkan hati, menumbuhkan empati, dan menyalakan keberanian.”

Sartono Kartodirdjo, sejarawan besar Indonesia, menegaskan bahwa: “Sejarah harus menghadirkan heroisme dan sekaligus memihak.” Artinya, sejarah tidak boleh menjadi kisah dingin yang netral tanpa arah, melainkan harus berpihak pada perjuangan rakyat kecil, menghadirkan semangat perlawanan, dan membangkitkan keberanian generasi muda. Di titik inilah guru sejarah menjadi ujung tombak, memastikan bahwa pelajaran sejarah tidak hanya membicarakan pahlawan, tetapi juga menumbuhkan pahlawan baru di masa depan.

Dan Chris Anderson, kurator TED Talks, menambahkan: “Kekuatan berbicara di depan umum bukanlah soal retorika rumit, melainkan kemampuan untuk menyalakan imajinasi dan emosi orang lain.” Maka guru sejarah, dengan ceritanya, bukan sekadar memberi informasi, tetapi menyalakan api keberanian di dada siswanya.

Sejarah bukan hanya cermin masa lalu, tetapi juga motivasi serta inspirasi anak bangsa di masa depan. Dan kita, para guru, adalah tangan yang menyemai api kepahlawanan ke tanah hati anak-anak kita. Penerus Pahlawan Bangsa. [ ]

*Guru Sejarah Indonesia SMK Atlantis Plus Depok

Back to top button