Hujan Desember
Tak seperti alam yang tahu kapan uap air harus bergerak meninggi menjadi gumpalan awan, dan kapan harus turun menjadi curah hujan, elit negeri ini hanya ingat cara naik, namun lupa rela turun. Bila saatnya turun, hujan jatuh memberi berkah pada segala makhluk tanpa kecuali. Jika terpaksa turun, elit negeri cuma mau memberkati sanak-saudaranya untuk naik.
Oleh : Yudi Latif
JERNIH– Saudaraku, entah mengapa, saat wanci memasuki bulan berakhiran “ber”, terlebih Desember, curah hujan kembali mengguyur. Katanya, alam sudah berubah. Tapi, sekacau balaunya alam, hujan tak pernah lupa turun.
Di bulan Desember ini, mendinginnya cuaca negeri dihangatkan oleh tensi kontestasi. Kembalinya musim pemilihan ini sungguh kontras dengan kosmos alam. Tertib politik di negeri ini baru berjalan beberapa putaran, arus balik centang perenang kembali pasang.
Tak seperti alam yang tahu kapan uap air harus bergerak meninggi menjadi gumpalan awan, dan kapan harus turun menjadi curah hujan, elit negeri ini hanya ingat cara naik, namun lupa rela turun.
Bila saatnya turun, hujan jatuh memberi berkah pada segala makhluk tanpa kecuali. Jika terpaksa turun, elit negeri cuma mau memberkati sanak-saudaranya untuk naik.
Setiap Desember tiba, butir hujan mengingatkanku ke hulu kenangan dan menghanyutkanku ke hilir impian nan jauh. Tertib hukum alam memberi pelajaran bahwa setiap kita adalah penumpang perahu penghubung, yang mengantarkan manusia berjelajah dari hulu masa lalu ke samudera masa depan, melalui aliran sungai masa kini.
Di sepanjang perlintasan sungai sejarah itu, mitra keberadaan kita bukan hanya sesama penumpang perahu saat ini, tetapi juga leluhur di masa lalu dan keturunan di masa datang.
Setiap orang adalah mata rantai penghubung berkah bagi kesinambungan dan penyempurnaan kehidupan. Setiap mata rantai harus ingat bahwa hidup ini pendek, sedang kehidupan itu panjang. Maka, janganlah demi penghidupan, kita korbankan kehidupan. [ ]