SolilokuiVeritas

IKN dan Kisah Baju Baru Kaisar

Seperti halnya para petinggi kerajaan dalam kisah “The Emperor’s New Clothes” HC Andersen yang takut dianggap bodoh, banyak pihak tidak berani mengkritik atau mempertanyakan kelayakan proyek IKN. DPR, yang seharusnya menjadi penyambung lidah rakyat, justru menjadi perpanjangan tangan pemerintah. Kekhawatiran akan konsekuensi politik membuat banyak pihak memilih diam dan “melihat” pakaian yang sebenarnya tidak ada.

Oleh : Rahmat Mulyana
JERNIH– Pada tahun 1837, Hans Christian Andersen menulis sebuah dongeng tentang seorang kaisar yang tertipu oleh dua penipu yang mengaku sebagai penjahit istimewa. Mereka menjanjikan pakaian yang hanya bisa dilihat oleh orang-orang cerdas dan layak menjabat posisinya.

Kaisar yang takut dianggap bodoh, bersama dengan seluruh petinggi kerajaannya, berpura-pura melihat pakaian yang sebenarnya tidak ada. Hingga akhirnya, seorang anak kecil dengan polosnya berteriak bahwa sang kaisar telanjang. Cerita yang dimaksud adalah “Pakaian Baru Sang Kaisar” atau dalam bahasa Inggris disebut “The Emperor’s New Clothes“.

Rahmat Mulyana

Hampir dua abad kemudian, Indonesia mengalami kisah serupa dengan proyek ambisius Ibu Kota Nusantara (IKN). Presiden Joko Widodo, layaknya sang kaisar dalam dongeng, memiliki visi megah tentang sebuah ibu kota baru yang akan dibangun dengan dana 100 persen dari investasi swasta dan asing. SoftBank Jepang bahkan berjanji investasi sebesar US$100 miliar, sebuah angka yang menggiurkan yang membuat semua orang seolah melihat “pakaian indah” yang dijanjikan.

Namun, layaknya pakaian ilusi sang kaisar, janji-janji investasi ini mulai menguap satu per satu. SoftBank mundur, memaksa perubahan komposisi pendanaan menjadi 20 persen APBN dan 80 persen investasi. Selama dua tahun, Presiden Jokowi melakukan roadshow ke berbagai negara – dari Timur Tengah hingga Eropa – namun tidak ada investor yang benar-benar tertarik. Para “penjahit” modern ini, para investor potensial, satu per satu mundur teratur setelah melihat bahwa “pakaian” yang ditawarkan tidak sekuat yang dijanjikan.

Kekhawatiran akan rasa malu karena janji yang telah ditebar membuat Presiden Jokowi akhirnya menggandeng Aguan melalui Konsorsium Nusantara. Layaknya para penjahit dalam dongeng yang berpura-pura menenun, Aguan berjanji investasi sekitar setengah triliun rupiah untuk membangun hotel, mal, dan rumah sakit di IKN. Hotel Nusantara dibangun kilat dalam sembilan bulan dengan biaya Rp 200 miliar, sebuah “pakaian” yang terlihat megah namun kini berdiri kosong dengan tarif Rp 3 juta per malam.

Seperti halnya para petinggi kerajaan dalam kisah “The Emperor’s New Clothes” HC Andersen yang takut dianggap bodoh, banyak pihak tidak berani mengkritik atau mempertanyakan kelayakan proyek IKN. DPR, yang seharusnya menjadi penyambung lidah rakyat, justru menjadi perpanjangan tangan pemerintah. Kekhawatiran akan konsekuensi politik membuat banyak pihak memilih diam dan “melihat” pakaian yang sebenarnya tidak ada.

Namun kini, layaknya teriakan polos sang anak kecil dalam dongeng, mundurnya para investor besar telah membuka mata semua orang. Proyek yang awalnya dijanjikan akan dibiayai sepenuhnya oleh swasta, kini harus bergantung pada APBN. Hotel megah yang dibangun terburu-buru kini berdiri kosong, seperti kaisar yang akhirnya sadar bahwa ia telanjang namun tetap melanjutkan parade dengan angkuh.

Dampak dari “parade kosong” ini tidak hanya sebatas pada citra pemerintah. Status Proyek Strategis Nasional (PSN) yang diberikan telah membuka jalan bagi praktik penguasaan sistematis atas wilayah strategis Indonesia oleh oligarki. Di Kali Malang, Tangerang, sungai selebar 20 meter diratakan sepanjang 23 kilometer, merusak 600 hektar tambak. Pembebasan lahan dilakukan dengan harga jauh di bawah nilai pasar, sementara nelayan kehilangan mata pencaharian mereka akibat pemagaran laut yang dilakukan diam-diam di malam hari.

Ironis bahwa PIK 2, yang mendapat kemudahan berkat investasi di IKN, justru berada di pantai utara Jakarta yang rentan terhadap kenaikan air laut – alasan utama pemindahan ibu kota. Sementara total aset PANI mencapai Rp36,3 triliun dengan ekuitas Rp19,6 triliun, masyarakat lokal justru mengalami kemunduran ekonomi.

Seperti dalam dongeng Andersen di mana kebenaran akhirnya terungkap melalui kejujuran seorang anak kecil, kegagalan investasi IKN telah membuka mata publik tentang realitas proyek ini. Kerusakan sistematis ekosistem, marginalisasi masyarakat pesisir, konsentrasi kekayaan pada segelintir elit, dan pengabaian kepentingan rakyat menjadi “pakaian asli” yang kini terlihat jelas oleh semua orang.

Dongeng Andersen mengajarkan bahwa kebenaran, meski pahit, harus diungkapkan. Kini, setelah para investor mundur teratur dan berbagai dampak negatif mulai terlihat, pertanyaannya adalah: akankah kita, seperti rakyat dalam dongeng yang akhirnya berani bersuara, meminta pertanggungjawaban atas “parade kosong” yang telah membebani keuangan negara dan merugikan rakyat ini?

Layaknya kaisar yang akhirnya harus menghadapi kenyataan bahwa ia telanjang, proyek IKN kini berdiri sebagai monumen ambisi pribadi yang terpapar realitas keras: bahwa “pakaian” megah yang dijanjikan ternyata hanyalah ilusi, meninggalkan warisan kerusakan lingkungan dan ketimpangan sosial yang harus ditanggung oleh generasi mendatang. [ ]

Back to top button