Solilokui

Israel Shahak Versus Lobi Yahudi di Indonesia*

Di luar dugaannya, si Yahudi menolak meminjamkan teleponnya. Orang non-Yahudi itu pun akhirnya tidak tertolong lagi.  Israel Shahak kemudian membawa kasus ini ke Dewan Rabbi Yahudi–semacam majlis ulama Yahudi-–di Jerusalem. Di luar bayangan Dr. Shahak, Dewan Rabbi Yahudi di Jerusalem (The Rabbinical Court of Jerusalem) justru menyetujui tindakan si Yahudi yang mengantarkan orang non-Yahudi ke ujung maut. Bahkan, itu dikatakan sebagai ”tindakan yang mulia”.

Oleh    : Adian Husaini**

Syahdan, beberapa tahun lalu, dalam perjalanan ke Sukabumi, saya ditelepon redaksi TV-One. Saya diminta datang esok harinya. Katanya, ada dialog tentang Israel. Ternyata, mitra dialog saya adalah seorang yang mengaku sebagai pendiri Indonesia-Israel Public Affairs Committee (IIPAC). Kelompok ini mengaku akan merayakan Kemerdekaaan Israel.

Ternyata saat ini, sosok kelompok IIPAC sudah bisa dikenali lebih jelas. Mereka sudah mendeklarasikan dirinya dalam sebuah situs:, yakni https://iipac.-wordpress.com/about/protokol-indonesia-israel/.

Dalam akte pendirian IIPAC disebutkan, tujuan lembaga itu adalah untuk menyelenggarakan kerja sama dengan lembaga-lembaga Israel, Yahudi internasional dan melindungi hak hak warga negara Yahudi dan keturunan Yahudi di Indonesia serta memajukan kerjasama bisnis, investasi, IT dan pendidikan  tinggi dengan  universitas di seluruh dunia.

Adian Husaini

Zaman tampaknya sudah jauh berubah. Dulu, banyak kaum Muslim yang malu jika bekerja sama dengan Yahudi, apalagi dengan negara Zionis Israel. Hingga kini pun, secara resmi, Indonesia masih tetap memandang Israel adalah negara penjajah, sehingga Indonesia tidak membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Tapi, zaman tampaknya sudah berubah.

Membaca sosok lembaga IIPAC di internet, saya teringat saat dialog dengan pendirinya di TV-One itu. Ketika itu saya bawakan satu buku berjudul “Jewish History Jewish Religion”, karya Dr. Israel Shahak.

Guru besar biokimia di Hebrew University ini memang bukan Yahudi biasa. Dia tidak seperti sebagaimana kebanyakan Yahudi lainnya, yang mendukung atau hanya bengong saja menyaksikan kejahatan kaumnya.

Dalam pengantar bukunya ia bercerita, bahwa suatu ketika, saat berada di Jerusalem, pakar biokimia dari Hebrew University ini menjumpai kasus yang mengubah pikiran dan jalan hidupnya. Saat itu, hari Sabtu (Sabath) Shahak berusaha meminjam telepon seorang Yahudi untuk memanggil ambulan, demi menolong seorang non-Yahudi yang sedang dalam kondisi kritis.

Di luar dugaannya, si Yahudi menolak meminjamkan teleponnya. Orang non-Yahudi itu pun akhirnya tidak tertolong lagi.  Israel Shahak kemudian membawa kasus ini ke Dewan Rabbi Yahudi–semacam majlis ulama Yahudi-– di Jerusalem. Dia menanyakan, apakah menurut agama Yahudi, tindakan si Yahudi yang tidak mau menyelamatkan orang non-Yahudi itu dapat dibenarkan oleh agama Yahudi?

Di luar bayangan Dr. Shahak, Dewan Rabbi Yahudi di Jerusalem (The Rabbinical Court of Jerusalem) justru menyetujui tindakan si Yahudi yang mengantarkan orang non-Yahudi ke ujung maut. Bahkan, itu dikatakan sebagai ”tindakan yang mulia”. Israel Shahak menulis: ”The answered that the Jew in question had behaved correctly indeed piously.”

Kasus itulah yang mengantarkan Prof. Shahak untuk melakukan pengkajian lebih jauh tentang agama Yahudi dan realitas negara Israel. Hasilnya, keluar sebuah buku berjudul  “Jewish History, Jewish Religion” (London: Pluto Press, 1994). Dalam penelitiannya, ia  mendapati betapa rasisnya  agama Yahudi dan juga negara Yahudi (Israel). Karena itulah, dia sampai pada kesimpulan, bahwa negara Israel memang merupakan ancaman bagi perdamaian dunia. Katanya, “In my view, Israel as a Jewish state constitutes a danger not only to itself and its inhabitants, but to all Jew and to all other peoples and states in the Middle East and beyond.”   

Sebagai satu ”negara Yahudi” (Jewish state), negara Israel adalah milik eksklusif bagi setiap orang yang dikategorikan sebagai ”Jewish”, tidak peduli di mana pun ia berada. Shahak menulis: “Israel ’belongs’ to persons who are defined bu the Israeli authorities as ‘Jewish’, irrespective of where they live, and to them alone.”  Shahak menggugat, kenapa yang dipersoalkan hanya orang-orang yang bersikap anti-Yahudi. Sementara realitas pemikiran dan sikap Yahudi yang sangat diskriminatif terhadap bangsa lain justru diabaikan.

Kaum Yahudi, misalnya, dilarang memberikan pertolongan kepada orang non-Yahudi yang berada dalam bahaya. Cendekiawan besar Yahudi, Maimonides, memberikan komentar terhadap salah satu ayat Kitab Talmud: “It is forbidden to save them if they are at the point of death; if, for example, one of them is seen falling into the sea, he should not be rescued.”  

Jadi, kata Maimonides, adalah terlarang untuk menolong orang non-Yahudi yang berada di ambang kematian. Jika, misalnya, ada orang non-Yahudi yang tenggelam di laut, maka dia tidak perlu ditolong. Israel Shahak juga menunjukkan keanehan ajaran agama Yahudi yang menerapkan diskriminasi terhadap kasus perzinahan.

Jika ada laki-laki Yahudi yang berzina dengan wanita non-Yahudi, maka wanita itulah yang dihukum mati, bukan laki-laki Yahudi, meskipun wanita itu diperkosa. Tidak banyak orang Yahudi yang berani bersuara keras terhadap agama dan negaranya, seperti halnya Prof. Israel Shahak, sehingga dia memang bisa dikategorikan Yahudi yang ‘aneh’, karena menyimpang dari sifat-sifat bangsa ini pada umumnya.

Pembukaan UUD 1945 kita jelas-jelas menegaskan bahwa bangsa Indonesia menolak segala bentuk penjajahan. Hingga kini, bangsa Indonesia tetap berkomitmen membantu perjuangan kemerdekaan Palestina. Tahun 1955, Bung Karno memelopori Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung. Menurut Menlu RI ketika itu, Roeslan Abdulgani, salah satu jiwa KAA adalah semangat anti-zionisme. Bahkan, zionisme dikatakan sebagai bentuk penjajahan yang paling hitam (the blackest imperialism), di abad ke-20.

Begitulah sikap IIPAC. Begitu pula sikap Dr. Israel Shahak terhadap negara Zionis Israel. Silakan memahami dan berdoalah untuk saudara-saudara kita yang berjuang merebut hak kemerdekaannya! [  ]

*Dimuat ulang atas izin penulis

** Dr. Adian Husaini, ketua umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII)

Back to top button