Solilokui

Jokowi dan Para Jenderalnya [3-habis]: Tentang Panglima TNI Baru

Menurut “Bapak Intelijen”, Kolonel Zulkifli Lubis, orang yang mempersoalkan agama pemimpin militer justru adalah Presiden Soekarno. Dalam wawancara yang dimuat Tempo (1989), Zulkifli mengungkap bagaimana Bung Karno menolak Kolonel Maludin Simbolon, panglima Teritorium I/Bukit Barisan dan beragama Kristen menjadi kepala staf Angkatan Darat, dan malah memilih kembali Kolonel A.H. Nasution yang Muslim dan sudah mengundurkan diri akibat Peristiwa 17 Oktober 1952. Zulkifli menceritakan, bagaimana ia dan para perwira Angkatan Darat sangat kecewa karena seorang “Bapak Bangsa” seperti Bung Karno justru bersikap berlawanan dengan prinsip Persatuan Indonesia.

Oleh     :  Hanief Adrian*

JERNIH—Jika mengikuti pergiliran jabatan Panglima TNI, maka selanjutnya adalah jatah untuk Angkatan Darat atau Angkatan Udara, walaupun pergiliran ini bukan merupakan keharusan.

Pada saat Jokowi baru menjabat Presiden, ia menggantikan Panglima TNI Moeldoko dengan Gatot Nurmantyo yang mantan KSAD. Setelah Gatot baru ia menjadikan mantan KSAU sebagai panglima TNI. Pengganti Marsekal Hadi Tjahjanto pada bulan November 2021 pun bukan dari Angkatan Laut, melainkan KSAD Jenderal Andika Perkasa yang karena usia hanya menjabat selama satu tahun. Laksamana Yudo Margono yang menurut pergiliran menjadi panglima TNI pada akhir 2021, akhirnya menjadi panglima pada Desember 2022 dan itu pun harus pensiun sesuai aturan pada November 2023.

Hanief Adrian

Beberapa pengamat militer memunculkan kemungkinan pengganti panglima dari Angkatan Darat namun dengan jabatan KSAD yang dipercepat karena Jenderal Dudung juga memasuki usia pensiun. Wakasad, Letjen Agus Subiyanto dari abituren 1991 berpeluang menggantikan Dudung Abdurachman. Peluang tersebut semakin besar mengingat Agus Subiyanto adalah mantan Danpaspampres, Danrem Suryakencana di Bogor pada 2020 dan Dandim Surakarta pada masa Jokowi menjadi wali kota dan juga berasal dari Kopassus.

Panglima Kostrad, Letjen Maruli Simanjuntak, juga digadang-gadang menjadi calon kuat KSAD. Abituren Akmil 1992 ini adalah mantan komandan Grup A/Paspampres yang bertugas dalam pengamanan langsung Presiden, kemudian Komandan Paspampres lalu Panglima Kodam IX/Udayana dan akhirnya panglima Kostrad. Maruli yang juga menantu Menko Maritim Luhut Pandjaitan mungkin akan menghadapi serangan politik dari isu agama. Namun melihat bagaimana seorang Kapolri Listyo Sigit Prabowo yang juga beragama Kristen tidak menghadapi penolakan karena agama, tampaknya Maruli akan lancar-lancar saja jika diangkat menjadi KSAD dan panglima TNI selanjutnya.

Persoalan agama dalam jabatan panglima TNI atau KSAD tidak mendapatkan problem jauh sebelum rezim Jokowi berkuasa. Presiden Soeharto pernah mengangkat Jenderal Maraden Panggabean yang beragama Kristen sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (1967-1969) kemudian Pangkopkamtib (1969-1973) dan panglima ABRI (1973-1978). Jenderal Leonardus Benjamin Moerdani bahkan lancar-lancar saja saat diangkat menjadi panglima ABRI merangkap Pangkopkamtib  periode 1983-1988, kecuali saat menghadapi kerusuhan Tanjung Priok melawan massa penolak Asas Tunggal Pancasila. Saat ia berkeliling mengunjungi kyai-kyai NU Jawa Timur untuk meredakan ketegangan pasca kerusuhan, Benny Moerdani diterima dengan baik.

Menurut “Bapak Intelijen”, Kolonel Zulkifli Lubis, orang yang mempersoalkan agama pemimpin militer justru adalah Presiden Soekarno. Dalam wawancara yang dimuat Tempo (1989), Zulkifli mengungkap bagaimana Bung Karno menolak Kolonel Maludin Simbolon, panglima Teritorium I/Bukit Barisan dan beragama Kristen menjadi kepala staf Angkatan Darat, dan malah memilih kembali Kolonel A.H. Nasution yang Muslim dan sudah mengundurkan diri akibat Peristiwa 17 Oktober 1952.

Zulkifli menceritakan bagaimana ia dan para perwira Angkatan Darat sangat kecewa karena seorang “Bapak Bangsa” seperti Bung Karno justru bersikap berlawanan dengan prinsip Persatuan Indonesia.

Yang menjadi persoalan jika Letjen Agus Subiyanto atau Letjen Maruli Simanjuntak menjadi KSAD adalah persoalan senioritas. KSAD Dudung Abdurachman dari abituren 1988-B (disebut demikian karena masuk pada tahun 1985 dan pendidikan Akmil berjalan tiga tahun) menggantikan Andika Perkasa dari abituren 1987, maka pengganti Jenderal Dudung seharusnya bintang tiga dari angkatan 1989 atau 1990.

Mayjen (Purn.) TB Hasanuddin, anggota Komisi I DPR-RI dari PDI Perjuangan dan salah satu purnawirawan jenderal kepercayaan mantan Presiden Megawati, secara terang-terangan menilai Letjen Suharyanto yang menjadi Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai sosok yang tepat menjadi KSAD. Abituren Akmil 1989 ini pernah menjadi sekretaris militer presiden (Sesmilpres) sebelum menjadi panglima Kodam V/Brawijaya.

Namun tentu saja profil sebagai mantan Sesmilpres tidak cukup menjadi faktor kepercayaan presiden terhadap perwira tinggi yang menjabat KSAD. Jokowi biasanya memberi kepercayaan kepada mantan komandan Paspampres dan pernah berkarir teritorial di Surakarta, maka yang memenuhi kriteria ini tentu saja Agus Subiyanto dan Maruli Simanjuntak.

Persoalan adalah jika kemudian salah satu dari kedua letnan jenderal itu menjadi KSAD, apakah hanya akan menjabat selama beberapa bulan saja untuk kemudian diangkat sebagai Panglima TNI pada November 2023? Jika mereka berdua setelah menjadi KSAD langsung menjadi Panglima, maka salah satunya mungkin akan memecahkan rekor Jenderal Moeldoko sebagai KSAD definitif tercepat dalam sejarah Angkatan Darat yaitu selama tiga bulan 10 hari.

Rotasi jabatan tanpa mempertimbangkan senioritas tentu akan menurunkan moral para perwira militer yang menempuh jenjang karir normal, baik menjadi staf maupun komando. Tetapi ada persoalan lebih besar, Presiden Jokowi memerlukan perwira yang ia percaya mampu memimpin pasukan untuk menghadapi tensi tinggi politik Pemilu 2024.

Dalam bursa pencalonan presiden dan wapres saja, setidaknya ada dua mantan panglima TNI yang digadang-gadang menjadi calon presiden. Pertama adalah Jenderal TNI (Purn.) Gatot Nurmantyo yang dianggap cocok menjadi calon wapres pendamping capres Anies Baswedan yang diusung Nasdem, Demokrat dan PKS. Kedua adalah Jenderal TNI (Purn.) Andika Perkasa yang diperkirakan menjadi calon wapres pendamping capres Ganjar Pranowo yang diusung PDI Perjuangan. Tentu saja, Andika Perkasa dan Gatot Nurmantyo akan merekrut banyak purnawirawan sebagai tim sukses mereka masing-masing.

Bukan tidak mungkin juga Presiden Jokowi akan mencalonkan Laksamana TNI Muhammad Ali, kepala staf Angkatan Laut dan abituren AAL 1989. Angkatan Laut biasanya netral dalam politik, namun belum pernah ada laksamana yang memegang jabatan Panglima TNI saat diselenggarakannya Pemilihan Umum.

Saat Laksamana Widodo Adi Sucipto menjadi panglima TNI, ia bahkan tidak mampu mencegah manuver Panglima Kostrad Letjen Ryamizard Ryacudu mengarahkan moncong meriam dan tank ke Istana Merdeka, setelah Presiden Abdurrahman Wahid menyatakan Dekrit 23 Juli 2001 tentang pembubaran DPR dan Partai Golkar.

Kemungkinan terkecil adalah mengangkat mantan KSAU sebagai panglima TNI, karena KSAU Marsekal TNI Fadjar Prasetyo akan memasuki usia pensiun pada April 2024. Jika Jokowi mengangkatnya sebagai panglima, maka jabatan tersebut hanya dipegang selama enam bulan. Tentu bukan preseden yang baik bagi sebuah jabatan penting sektor keamanan.

Faktor lain adalah hubungan bilateral sektor keamanan antara Indonesia sebagai salah satu kekuatan regional di Asia Tenggara dan Amerika Serikat sebagai adikuasa global. TNI sudah dua kali menyelenggarakan Latihan Garuda Shield, dan pada tahun ini akan menyelenggarakan Garuda Shield 2023 yang rencananya diikuti 10 negara Asia-Pasifik. Latihan bersama negara-negara sahabat AS di Asia-Pasifik ini penting dalam situasi invasi Rusia ke Ukraina dan peningkatan kekuatan militer Cina.

Hubungan dengan AS ini sering menjadikan pemegang komando tertinggi militer Indonesia ragu untuk mengambil kebijakan otoriter dalam transisi demokrasi, seperti misalnya Wiranto yang saat menjabat Menhankam/Pangab menghitung sikap AS saat mempertimbangkan pengambilalihan kekuasaan bulan Mei 1998.

Faktor pengaruh Amerika dalam politik regional diperhitungkan akan menambah keyakinan Jokowi bahwa panglima TNI yang dia pilih akan menjalankan tugas menjaga stabilitas keamanan. TNI yang sebagai institusi tidak memiliki tradisi mengambil alih kekuasaan, tentu akan berkomitmen mengawal transisi demokrasi, bahkan pada masa Orde Baru menjadikan Golongan Karya sebagai kekuatan sipil yang menjalankan pemerintahan.

Dengan demikian, Presiden Jokowi yang begitu lihai mengambil keputusan-keputusan politik diperkirakan akan mengambil keputusan tepat mengenai siapa yang akan ia tunjuk sebagai panglima TNI yang baru. [Selesai]

*Pengamat Politik IndeSo (Independent Society), mahasiswa S2 Ilmu Politik FISIP UI

**Solilokui adalah ruang opini pribadi para penulis, tak selalu sejalan dengan kebijakan redaksi.

Back to top button