Keberanian; Hal yang Menonjol dalam Kepemimpinan Anies Baswedan
Tetapi keberanian memang mensyaratkan banyak hal. Yang terutama, tampaknya, tidak adanya pamrih. Karena tanpa adanya pamrih yang membuatnya berani, seorang pemimpin pun tak pernah tersandera. Ia senantiasa bisa melakukan segala hal dengan lugas, ringan melangkah dan mengambil keputusan, nothing to loose. Mungkin, Anies memiliki hal ini.
Oleh : Darmawan Sepriyossa
JERNIH– Penutupan 12 outlet Holywings—café dan bar yang baru saja mengerti makna “bermain api”–di Jakarta oleh Gubernur Anies Baswedan, tak sekadar membuat publik tercengang. Fakta tersebut juga menyebabkan warga masyarakat tersadarkan akan arti kepemimpinan, dan lebih jauh lagi, memantik harapan di dada mereka.
Apa yang dilakukan Anies menyadarkan publik bahwa keberanian adalah keniscayaan seorang pemimpin. Di era yang lebih purba, keberanian bahkan menjadi prasyarat mutlak seseorang tampil memimpin kaumnya. Memangnya apa yang membuat pemuda Temujin bisa menggalang dukungan kaum Mongol menaklukan bangsa-bangsa di dunia hingga mendaku diri sebagai Jenghis Khan, kecuali pada awalnya karena ia sangat pemberani? Bukan karena wajah tampan atau kepala brilian, melainkan keberanian Hannibal yang mampu mewujudkan ambisinya memimpin Kartago menyerang sarang kaum penjajah, hingga hampir masuk kota Roma, jantung kekaisaran Romawi.
Artinya, berani adalah syarat paling purba seseorang untuk menjadi pemimpin. Tentu saja, kian beradab manusia membuat sekadar berani tak lagi mencukupi.
Tetapi syarat purba itu memang masih, dan tampaknya akan tetap berlaku bagi seorang pemimpin. Kita pernah mengalami masa-masa di mana kepemimpinan nasional dipegang seseorang dari dunia yang rigid mensyaratkan keberanian: dunia militer. Dua kali, malah. Pertama Pak Harto, yang kedua Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono.
Namun, berbeda dibandingkan gaya kepemimpinannya saat berdinas militer, di kala menjadi pejabat eksekutif nomor satu di negeri ini, Presiden SBY cenderung memilih pendekatan holistik untuk segala urusan.
Barangkali benar bahwa gaya yang dipilihnya itu efektif, dalam arti hasilnya bagus. Tetapi tampaknya, sisi mangkus alias efisiennya alpa terwujud. SBY sering dianggap publik sebagai presiden paling peragu, karena relatif dinilai lamban merespons persoalan. Tidak sedikit yang mengaitkan lamanya waktu penantian warga untuk datangnya respons itu dengan logistik keberanian yang dimiliki Presiden. Belakangan, kalangan ‘nyinyirin’ (haters)-nya sering memperolok Presiden dengan menyebut negeri ini sebagai ‘negara autopilot’. Boleh jadi, sebagai seorang mantan tokoh militer yang menua dan berubah resi, SBY yang banyak membaca itu bertemu dan mengamalkan ajaran Lao Tze tentang pemimpin, yang mengibaratkan pemimpin laiknya danau yang tenang, hingga ia didominasi keharusan untuk tenang berkedalaman, anggun, dan menampung.
Teori kepemimpinan modern pun sama sekali tidak melupakan unsur ‘berani’ ini. Mahaguru manajemen, Peter Drucker, mengatakan bahwa manakala kita melihat perusahaan-perusahaan besar yang maju dan unggul, jangan pernah lupa bahwa semua tercipta karena keputusan-keputusan berani di belakangnya. Dari dalam negeri, melalui penyair terkemuka almarhum Wahyu Sulaiman Rendra kita mendengar bahwa keberanian itu sejatinya ibarat cakrawala. Semakin berani dia, semakin luaslah horizon pemikirannya. Kian berani, makin mampu ia melihat dunia secara holistik.
Tetapi keberanian memang mensyaratkan banyak hal. Yang terutama, tampaknya, tidak adanya pamrih. Karena tanpa adanya pamrih yang membuatnya berani, seorang pemimpin pun tak pernah tersandera. Ia senantiasa bisa melakukan segala sesuatu dengan lugas, ringan melangkah dan mengambil keputusan, nothing to loose.
Keberanian pemimpin itu juga termasuk tidak gampang takut akan pandangan dan penilaian publik. Pemimpin yang baik sangat menyadari kalau dirinya tak mungkin bisa menyenangkan semua. Paling tidak, hil yang mustahal membuat setiap pihak senantiasa happy. Sudah jadi hukum besi kehidupan, pemimpin itu laiknya Rahwana yang tengah bertiwikrama. Ia punya ’banyak wajah’.
Lihat saja, siapa yang tega membunuh Muammar Qaddafi? Rakyatnya sendiri. Rakyat Libya yang dengan susah payah ia naikkan kesejahteraannya, hingga pada 2010 itu pendapatan per kapita Libya tembus 13.800 dolar AS. Qaddafi pula yang membuat angka melek huruf Libya menjadi 88 persen, yang bersumpah tak akan memberi rumah buat sang ayah sebelum semua keluarga Libya punya rumah. Toh hidupnya berakhir di tangan darah dingin rakyatnya sendiri.
Atau yang lebih dekat dengan kita, almarhum Pak Harto. Ketika ajal tiba, Pak Harto tengah dalam sorotan. Media massa domestik dan asing menerungku opini publik dengan menghujatnya untuk tuduhan korupsi yang hingga saat ini pun belum terbuktikan. Ada kalangan yang seolah secara sistematis membuat diri dan keluarganya harus senantiasa dipojokkan. Namun lihatlah pada 28 Januari 2008. Manakala jasadnya dibawa iring-iringan menuju Pemakaman Astana Giribangun, Yogya. Sepanjang jalan, warga berjubel berjejalan di pinggir jalan, melambaikan tangan pada jasad yang tak lagi bisa menjawab itu. Tak sedikit yang haru dan mengucurkan air mata.
Tetapi keberanian sejati seharusnya datang akibat pemahaman akan pandangan dunia (world view) yang dipegang. Dari dien atawa millah yang digenggam erat di hati.
Yang pertama, seorang pemimpin harus percaya bahwa amanah kepemimpinan itu beratnya mendekati maha. Alquran, kitab suci yang dipercaya mayoritas warga Indonesia, dalam Surat Al Ahzab (33) ayat 72 menceritakan, pada awalnya Allah menawarkan amanat kepemimpinan itu kepada langit, bumi, dan gunung-gunung yang menjejak kukuh di permukaannya. Mereka menolak. Hingga manusia pertama, Adam, yang mengambil amanah tersebut.
Dalam riwayat Ibnu Jarir, yang diberi tahu Ibnu Basysyar, yang diberi tahu Muhammad ibnu Jafar, yang diberi tahu Syu’bah, dan seterusnya sampai ke Ibnu ’Abbas, menyatakan,”Hamba terima,”jawab Adam. Kemudian kita tahu, tidak lebih dari jangka antara waktu asar dan malam di hari itu, Adam sudah terkena dosa dan terusir dari Sorga (Tafsir Ibn Katsir, III: 522). Buya Hamka dalam tafsirnya menyetujui interpretasi Al-Qurthubi: “Ini kata majaz (kiasan),” katanya. “Sedangkan langit dan bumi dan gunung-gunung merasa berat memikul, karena itu hendaklah manusia berhati-hati.” (Hamka, XXII: 112).
Yang kedua, agar amanah, seorang pemimpin harus meyakini bahwa pahala, kebaikan bagi pemimpin yang adil pun tak kurang hebat. Sabda Rasulullah yang diriwayatkan Abu Hurairah dan At-Turmudzi menyatakan, Nabi pernah bersabda,” Ada tiga manusia yang doa mereka tidak akan ditolak Allah, yaitu doa orang yang berpuasa sampai ia berbuka, doa pemimpin yang adil, dan doa orang yang teraniaya.”
Dengan meyakini minimal dua hal itu saja, seorang pemimpin berpeluang menjadi imam yang adil dan amanah. Ia akan senantiasa mempertanyakan ke dalam dirinya, untuk apa ia memimpin dan mengemban amanah? Kalau hanya untuk nama, untuk popularitas yang memungkinkan dirinya kaya raya dan mampu menjadi kolektor benda-benda dunia, sejatinya ia tengah melangkah di jalan tanpa harga.
Pemimpin seperti itu tak perlu lagi mencari keyakinan dari pemikiran coba-coba, misalnya dari filsuf politik Niccolo Machiavelli. Ia mengambil kitab ”Illiad” karangan Homerus di masa lalu, yang menceritakan bahwa masa kecil para penguasa negara-kota atau polis selalu diasuh seekor makhluk setengah hewan setengah manusia. Itu, kata Machiavelli, sejatinya kiasan bahwa seorang politisi, seorang penguasa, harus tahu bagaimana mengombinasi kedua sifat itu. “Yang satu tanpa yang lain,” kata Machiavelli,” tak akan menjamin kekuasaan yang lama.” Artinya, Machiavelli mendorong sikap pura-pura sebagai paduan jiwa setengah manusia dan setengah hewan itu. Maka tampaknya benar manakala ada yang berpendapat, seorang politisi yang percaya sungguh akan pencitraan, sejatinya seorang Machiavellian.
Keberanian, akhirnya akan membuat seorang pemimpin terbiasa berpikir sederhana, tidak berbelit-belit, tidak ruwet bin rumit. Ini laiknya tips rahasia alm. Amarzan Lubis yang ia berikan kepada para penulis Majalah TEMPO dalam menulis. KISS: Keep It Simple, Stupid! Bersikap dan berpikir sederhana, pada dasarnya juga menegaskan sikap nothing to loose seorang pemimpin.
Sebegitu idealkah Anies? Tentu saja belum. Tapi dengan modal dasar yang ia miliki saat ini, semoga maqam itu bisa ia raih pada saatnya. Sebagai penulis, saya juga relative lebih tanpa beban menuliskannya hari-hari ini, manakala kompetisi Pilpres masih jauh di depan.
Mencoba terus memperbaiki dan meningkatkan maqam diri, pada hakikatnya adalah mendekati Tuhan. Tuhan pun, di sisi lain, akan mendukung usaha hamba-Nya itu. Sebuah hadits riwayat Ahmad dan Al Thabrani berbunyi,”Barang siapa yang mendekati Allah sesiku, Dia akan mendekatinya sehasta. Barangsiapa mendekati Allah dengan berjalan, Allah akan menyambutnya dengan berlari…”
Anies sendiri tetaplah manusia dengan segudang salah, khilaf dan alpa yang sebagian besar tertutup dari pandangan mata kita. Biarlah urusan itu menjadi rahasia hubungan antara Tuhan dengan dirinya. Sebab, sebagai pengikut, rakyat yang memilih pemimpin pun, kita harus punya sikap dan kesadaran. Di antaranya meyakini bahwa manusia memang gudang kesalahan.
“Al-insānu maḥallul khattha—manusia itu tempat salah,”tulis Abu Hasan al-Harawi dalam kitab “Mirqāt al-Mafātih”, mengambil dari khazanah peribahasa Arab. Itu benar adanya. [dsy]